
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tidak ada sesuatu yang paling mengagetkan di dalam negara yang menganut sistem politik demokrasi, selain berita mengenai partai oposisi yang sudah menjadi partai pendukung pemerintah. Dan ternyata berita yang mengagetkan itu berada di dalam negara kita sendiri, di mana kini publik disuguhkan dengan manuver politik Prabowo Subianto yang sangat berhasil.
Pasalnya manuver politik tersebut, telah menjadikan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, belum lama ini Presiden Joko Widodo sempat mengatakan bahwa, kini negara sudah tidak ada oposisi, dan yang ada hanya gotong royong.
Advertisement
Pernyataan Presiden tersebut, justru membuat keanehan baru di dalam demokrasi, karena baru kali ini Presiden yang berada di negara demokrasi tidak mendukung adanya oposisi. Dan ketika Prabowo Subianto selaku Ketua Umum dari partai Gerindra sudah masuk ke dalam kabinet, praktis partai yang menjadi oposisi hanya menyisakan partai Demokrat dan partai PKS.
Sedangkan kita sebagai rakyat, tentu saja tidak bisa berharap besar kepada kedua partai tersebut, karena di dalam politik itu semua bisa berubah tanpa kita kehendaki. Walaupun saat ini kedua partai tersebut masih menolak untuk bergabung ke dalam kabinet, namun bisa jadi suatu saat nanti kedua partai tersebut masuk ke dalam kabinet.
Semua itu bisa terjadi, bukan? Pada hakikatnya, yang diutamakan oleh partai politik itu adalah pragmatismenya, bukan justru mengutamakan untuk membela kepentingan rakyat. Kalaupun mereka mengatakan bahwa mereka selalu membela kepentingan rakyat, maka itu hanyalah sebuah klaim yang sangat usang sekali, karena mereka akan membela kepentingan rakyat untuk mendapatkan kekuasaan. Setelah mendapat kekuasaan, mereka pun akan melupakan rakyat. Kalau sudah seperti ini, lantas siapa yang akan menjadi oposisi yang sebenarnya?
Oposisi adalah sebuah fenomena yang terjadi dalam berbagai bidang. Oposisi dalam makna umum kerap diartikan sebagai “bersebrangan” atau “sesuatu yang memiliki posisi yang tidak sama pada sesuatu yang lain”.
Oposisi juga diartikan sebagai lawan atau perlawanan terhadap sesuatu (Rooney, 2001: 1020; Noor, 2016: 5). Berdasarkan definisi tersebut, oposisi tentu bukan hanya berlaku kepada partai-partai politik yang bersebrangan dengan pemerintah, tetapi oposisi juga bisa berlaku bagi rakyat yang ada di negara kita. Apabila partai politik sudah tidak bisa menjadi oposisi, maka biarkanlah rakyat yang menjadi oposisi untuk mengontrol pemerintah agar membuat kebijakan yang pro rakyat.
Rakyat Harus Cerdas
Modal utama untuk rakyat agar menjadi oposisi yang benar adalah kecerdasan, rakyat harus berani untuk menjadi oposisi yang tidak mudah terpancing oleh sensasi-sensasi yang dilakukan oleh pemerintah. Apabila pemerintah membuat kebijakan yang tidak pro rakyat, maka rakyat pun harus berani untuk selalu mengritisi kebijakan tersebut. Selain itu juga, rakyat jangan pernah dihasut untuk mengkultuskan pemerintah, sehingga seolah-olah pemerintah adalah pihak yang benar-benar harus dianggap seperti tuhan.
Di dalam negara demokrasi, rakyat lah yang harus proaktif terhadap permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kepentingan rakyat, dan jangan ada lagi rakyat yang hanya menjadi pengagum pemerintah, sehingga ketika bertemu dengan presiden, gubernur, maupun tokoh yang lain justru rakyat hanya melakukan swafoto yang sangat konyol itu.
Peran partai oposisi di dalam negara demokrasi bukan hanya sebagai penentang saja, tetapi juga sebagai penyeimbang. Namun demikian, nampaknya kita tidak boleh terlalu berharap banyak terhadap partai politik yang selalu mengaku-ngaku sebagai oposisi itu, karena mereka pun bisa saja tetiba masuk ke dalam kabinet, dengan alasan untuk kepentingan NKRI.
Maka dari itu, pada saat ini sudah sepatutnya rakyat lah yang akan menjadi oposisi yang sebenarnya. Rakyat jangan hanya menjadi pihak yang pasif terhadap semua peristiwa politik yang ada di negara kita. Rakyat juga harus semakin cerdas untuk menjadi oposisi yang tidak mudah terpancing dengan berita bohong yang sering berkeliaran di media sosial. Memang tidak mudah untuk menjadi oposisi yang benar, namun bukan berarti suatu hal yang tidak mungkin juga, apabila rakyat akan menjadi oposisi yang paling kuat daripada partai politik yang sebelumnya pernah mengaku-ngaku sebagai oposisi itu.
Pemerintah Jangan Terlalu Otoriter
Beberapa bulan belakangan ini, rakyat selalu dibuat sebagai pihak yang selalu salah di mata pemerintah. Karena setiap kritik yang dilakukan oleh rakyat selalu dianggap melanggar hukum, dianggap sebagai provokator, dan lain sebagainya. Bahkan setiap demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat selalu dipandang sebagai demonstrasi yang ditunggangi oleh kepentingan politik.
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah justru pada akhirnya memperlihatkan bahwa pemerintah terlalu otoriter terhadap rakyat. Pemerintah justru tidak pernah memperlihatkan bahwa pemerintah adalah pihak yang selalu terbuka terhadap aspirasi yang disampaikan oleh rakyat.
Apabila pemerintah terus-menerus seperti ini, maka ruang untuk menyampaikan aspirasi dari rakyat akan semakin sempit, karena ketika rakyat menyampaikan kritik di media sosial, pemerintah justru menjerumuskan rakyat ke dalam jeruji besi. Ketika rakyat menyampaikan demonstrasi, pemerintah justru menganggap bahwa demonstrasi tersebut ditunggangi oleh kepentingan politik.
Lantas bagaimana aspirasi rakyat akan didengar, apabila pemerintah terlalu otoriter terhadap rakyat? Dan siapa lagi yang akan mengutamakan rakyat, selain pemerintah itu sendiri? Maka dari itu, sebaiknya pemerintah jangan terlalu otoriter terhadap protes yang dilakukan oleh rakyat di manapun itu. Apabila rakyat menyampaikan protes di media sosial, maka janganlah disebut sebagai provokator.
Sebaiknya pemerintah melihat dulu, apa yang menjadi substansi dari protes tersebut, dan jangan langsung menyeret rakyat ke dalam jerusi besi. Dan ketika rakyat melakukan demonstrasi, janganlah selalu dianggap sebagai demonstrasi yang ditunggangi oleh kepentingan politik.
Oleh karena itu, apabila nanti di negara ini sudah tidak ada lagi partai yang menjadi oposisi, maka pemerintah harus membiarkan rakyat yang menjadi oposisi untuk mengontrol pemerintah agar membuat kebijakan yang pro rakyat. Tetapi apabila pemerintah tidak ingin rakyat yang menjadi oposisinya, maka pemerintah harus selalu membuat rakyat senang. (*)
*) Ilham Akbar, Esais dan Pemerhati Sosial
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Rizal Dani |