Pendidikan Etis: Menilik Degradasi Moral

TIMESINDONESIA, MALANG – Pendidikan yang mengutamakan etika merupakan pondasi urgen bagi kondisi Indonesia saat ini. Pendidikan etis dapat menjadi telaga di tengah pada pasir devaluasi nilai moral generasi muda bangsa Indonesia. Mengingat betapa permasalahan adab, budaya, dan moral merupakan hal yang sangat sensitif dalam masyarak kita. Ketiganya sudah menjadi bentuk kesepakatan masyarakat mengenai apa yang layak dan apa yang tidak layak dilakukan, serta mempunyai sistem hukum sendiri.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Advertisement
Masyarakat dalam segala lapisannya mempunyai suatu tatanan masing-masing, bahkan komunitas terkecil masyarakat mempunyai moral atau etika tersendiri dengan sistemnya sendiri. Tidak jarang hukuman bagi mereka yang melanggar moralitas, lebih kejam daripada hukuman yang dijatuhkan oleh institusi formal. Hukuman terberat dari seorang yang melanggar moralitas adalah beban psikologis yang terus menghantui, pengucilan dan pembatasan dari kehidupan yang normal.
Berbicara mengenai moral, pasti lekat kaitannya dengan budaya dan adab yang sudah berkembang turun temurun di negara ini. Para leluhur kita menjaga budaya dan adab ini untuk menjadi indentitas bangsa ini, bahkan dunia pun sudah mengenal kita sebagai negara yang ramah dan santun.
Di era yang mengutamakan arus serba cepat ini, Indonesia mencoba ikut-ikutan. Sehingga percobaan tersebut berimbas pada lunturnya budaya, adab, dan moral. Akibat terus digenjot untuk bergerak cepat, seolah yang tercepat adalah yang terbaik dengan mengenyampingkan faktor-faktor lain. Siswa di kelas saling berlomba untuk mendapat predikat juara kelas meskipun hasil yang didapat bukan murni pekerjaan sendiri.
Moral bukan lagi acuan seseorang dianggap baik dan prestasi. Nilai, seolah lebih berharga dari segalanya. Budaya, adab, dan moral tidak lagi dijunjung tinggi, perbuatan-perbuatan negatif di kehidupan masyarakat kian merebah.
Akibatnya berimbas pada dunia pendidikan, terjadi banyak kasus kekerasan terhadap guru bahkan ada satu kasus yang menyebabkan kematian. Percek-cokan antara guru dan siswa seolah biasa, sebab Pendidikan etis untuk menertibkan tidak dapat diterapkan dan dipahami.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Pada tahun 2019 di Gowa, Sulsel-misalnya. Terjadi penganiayaan terhadap guru siswa SD yang sedang berada di kelas. Kedua pelaku awalnya datang ke sekolah terkait atas adanya kasus perkelahian adiknya. Diduga R dan kedua pelaku tak terima penanganan perkelahian anaknya oleh guru sekolah.
Pertengkaran adiknya direspons secara tidak etis dengan mendatangi sekolah dan salah satu perempuan lainnya menjewer lawan adiknya menuju ruang guru yang mengakibatkan keributan di ruang guru sampai ke ruang kelas.
Selain fakta tersebut, kasus yang lebih miris terjadi di Madura pada tahun 2018. Seorang guru SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Madura, Jawa Timur, meninggal dunia. Diduga tewasnya guru tersebut karena dianiaya oleh siswanya sendiri. Sang murid tak terima dan keduanya terlibat cek-cok. Saat keributan itu, seorang siswa dengan inisial MH disebut menganiaya Ahmad. (Dilansir dari news.detik.com).
Tentu kondisi ini mengkhawatirkan, melihat sajian realita yang terjadi. Sebagai mahasiswa pendidikan, calon pendidik masa depan saya merasa ada yang perlu lebih diperjelas dari penerapan pendidikan karakter. Pendidikan karakter tidak hanya selesai pada konsep Pemerintah, namun semua guru juga harus memahami cara dan penerapannya.
Penulis menyebutnya sebagai pendidikan etis. Suatu cara mendidik yang dilakukan saling bahu membahu antara Pemerintah, guru, dan keluarga. Ketiganya merupakan suri tauladan yang perlu memberi contoh yang baik. Karena bagaimanapun dikonsep jika tidak ada contoh nyata, dapat dipastikan akan berakhir percuma.
Selain itu, peran guru dalam mencerdaskan generasi masa depan bangsa sudah seharusnya mendapat perlindungan dari negara. Sebenarnya sudah ada undang-undang yang mengaturnya, pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hanya saja, saat ini profesi guru juga dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks, seiring dengan adanya perubahan cara pandang masyarakat yang secara sadar terpengaruh oleh doktrin perlindungan hukum terhadap anak, termasuk anak didik.
Nadiem Makarin, Sebagai Harapan Baru
Beberapa hari lalu Menteri Pendidikan kita Nadiem Makarin menyampaikan tentang lima kebijakan. Salah satunya yang paling diprioritaskan adalah pendidikan karakter dan pengamalan Pancasila. Pendidikan karakter dan pengamalan pancasila tidak hanya selesai di dalam kelas lewat mata pelajaran keagaaman, atau pendidikan kewarganegaraan. Bahkan, saya rasa dalam setiap pelajaran guru harus memasukkan pendekatan karakter.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Penulis lalu menaruh harapan besar tentang sistem pendidikan karakter. Pertama, aspek keteladanan, dimana harus ada peran Pemerintah dan pihak sekolah harus dalam memberi teladan baik terkait arah pendidikan. Keteladan menjadi penting mengingat aspek itu kian luntur, yang dipertontonkan cenderung keteladanan minus pekerti dan jauh dari susila sehingga output pendidikan kian destruktif.
Kedua, aspek inspirasi. Pemerintah dan pihak sekolah harus senantiasa menjadi sumber inspirasi bagi anak didiknya. Inspirasi inilah yang akan menghidupkembangkan pendidikan bangsa. Tanpa inspirasi yang dibarengi imajinasi, dunia pendidikan akan kering. Sementara itu, insan pendidikan laksana robot-robot yang digerakkan motoriknya.
Ketiga, aspek motivasi atau dorongan. Pemerintah dan pihak sekolah seyogianya tidak pernah lelah memotivasi anak didiknya. Motivasi dan dorongan ini menjadi penting ketika pendidikan dihempas cobaan dahsyat. Ketika Pemerintah dan Guru mampu menjadi motivator, dunia pendidikan akan tumbuh dinamis, sehingga output-nya akan menjadi generasi yang penuh semangat dan bermental.
Keempat, mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Sekalipun pendidikan karakter yang diterapkan selama orientasi akhirnya adalah nilai. Siswa akan terus berpacu untuk saling menempatkan dirinya menjadi yang terbaik dan tercepat. Sehingga, perilaku ceroboh kecil seperti mencontek seperti hal yang lumrah. Sebagai alumni pondok satu hal yang terus tertanam dalam benak saya bahwa "Yang lebih tinggi dari ilmu pengetahuan akhlak".
Dalam kenyataanya, seseorang yang lebih mementingkan ilmu dan tidak memiliki landasan akhlak yang kuat akan berakhir dibalik jeruji-koruptor misalnya. Mereka bukan orang serampangan yang tidak memiliki ilmu, justru karena ilmunya mereka jatuh pada lubang kenaifan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Jika pendidikan karakter menerapkan keempat konsep; keteladanan, inspirasi, motivasi, dan pengutamaan kualitas. Didulang dengan konsistensi, maka pendidikan karakter akan menjadi jawaban untuk memperbarui kembali moral yang telah terdegradasi.
*) Penulis: Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Islam Malang (Unisma), anggota redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Aktif sebagai pelapak di perpustakaan jalanan gerilya literasi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Publisher | : Rochmat Shobirin |