
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pidato politik refleksi akhir tahun Presiden RI Ke-6 yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono pada Minggu lalu (11/12/2019) menghadirkan nuansa baru dalam kepemimpinan Partai Demokrat (PD). SBY yang tampak telah bangkit dari rasa duka dan kembali tampil sebagai pusat kekuatan PD, memunculkan spekulasi tentang masa depan kepemimpinan PD di tengah ajang sukses kepemimpinan partai-partai politik nasional.
Di awal debutnya, PD mengawali perolehan suaranya di angka 7 persen pada Pemilu 2004. Angka itu didasarkan pada basis pemilih loyal yang berada di angka sekitar 3 hingga 4 persen, ditambah basis kekuatan swing voters yang mulai mendukung performa politik SBY. Selanjutnya, Pemilu 2009 menjadi tanda puncak kejayaan PD yang memperoleh suara 20.85 persen, hingga masih tercatat sebagai perolehan suara partai tertinggi dalam sejarah Pemilu pasca reformasi.
Advertisement
Saat itu, PD menikmati efek ekor jas (coat tail effect) dari tingginya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden SBY periode pertama (2004-2009). Namun pasca pemerintahan SBY, Demokrat dihadapkan pada dinamika elektabilitas yang ditandai menyusutnya suara partai hingga menyentuh 10 persen pada Pemilu 2014 dan 7,7 persen pada Pemilu 2019.
Realitas politik tersebut harus menjadi cermin bagi PD untuk merefleksikan soliditas kekuatan partainya. PD memang tidak bisa lepas dari figur SBY, tetapi jajaran pengurus dan kader PD harus mulai belajar “disapih” dari kekuatannya induknya. Kesadaran itu harus ditanamkan mengingat konstalasi politik dan perilaku politik pemilih kontemporer telah mengalami pergeseran signifikan.
Perubahan itu disebabkan oleh menguatnya basis pemilih milenial, hadirnya revolusi teknologi informasi dan komunikasi, hingga mengerasnya politik identitas yang terus menggerus ‘kekuatan politik tengah’ yang mengendepankan nilai-nilai progresif, inklusif dan moderat.
Menghadapi hal itu, PD dihadapkan pada tantangan transformasi untuk meyakinkan agar kekuatan mesin politiknya tetap sehat, adaptif dan lebih gesit dalam menghadapi perubahan-perubahan yang tidak pasti. Ke depan, PD juga harus menyadari bahwa kebesaran figur SBY selaku Presiden ke-6 RI tidak boleh ‘direduksi’ hanya menjadi milik kader PD semata.
Ke depan, SBY harus mampu tampil dan berdiri di atas semua golongan. Karena Presiden RI ke-6 itu milik semua, tidak boleh hanya terisolasi menjadi milik partainya.
Karena itu, transformasi kepemimpinan PD merupakan keniscayaan. Ketidaksiapan untuk lepas dari ketergantungan hanya akan mendekatkan diri pada kekalahan.
Tentu banyak kader muda PD yang memiliki visi dan integritas yang memadai untuk mempercepat transformasi PD menjadi lebih kuat dan modern. Salah satunya adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Mengapa Harus AHY?
Urgensi menghadirkan figur AHY tidak semata-mata disebabkan oleh realitas dirinya sebagai putra biologis sekaligus anak ideologis SBY. Pemimpin ‘bukan dilahirkan’ (leadership by nature), tetapi dibentuk oleh berbagai tempaan lingkungan di sekitarnya (nurtured by socio-political environment). Tidak sedikit anak para pemimpin besar tidak mampu membuktikan kapasitas leadership-nya.
Para kader PD sendiri telah membuktikan kualitas kepemimpinan AHY pada Pemilu 2019 lalu. Saat itu, simpul-simpul kekuatan inti politik PD berhalangan menjalankan tugas pokok dan fungsinya selama masa kampanye nasional, akibat situasi tak terduga di mana mantan Ibu Negara Ani Yudhoyono harus menjalani perawatan intensif di Singapura.
Situasi itu juga memaksa Ketum PD SBY harus menemani dan menguatkan sang istri. Pada saat yang sama, seluruh jajaran elit pengurus DPP PD harus fokus pada kampanye dan kerja politik di Daerah Pemilihan masing-masing.
Sehingga, kekosongan itu diisi oleh AHY yang menjalankan fungsinya sebagai Ketua Tim Pemenangan Pemilu 2019 DPP PD. Peran AHY itu sangat sentral mengingat kemenangan para kader di masing-masing Dapil tidak akan berarti apapun jika di tingkat nasional partainya tidak mampu menembus parliamentary threshold 4 persen.
Sementara itu, selama hampir 8 bulan masa kampanye Pemilu 2019, berbagai lembaga survei politik nasional memprediksi bahwa elektabilitas PD berpotensi terjebak dalam penguasaan captive market-nya di angka 3 hingga 4 persen saja.
Tantangan itu dijawab oleh AHY dengan bergerak secara simultan dengan seluruh jajaran pengurus, kader, simpatisan dan relawan PD di akar rumput. Komunikasi politik yang intensif, penentuan langkah taktis maupun strategis dijalankan secara cepat dan kampanye di ratusan kota dan kebupaten dijalankan secara simultan untuk mengkonsolidasikan basis pemilih loyal dan meyakinkan swing voters yang saat itu masih labil bergerak.
Alhasil, PD tetap mampu meraih 7,7 persen suara nasional, yang jika dikonversi ke jumlah kursi parlemen menjadi 9,7 persen kursi parlemen nasional. Jika dibandingkan dengan temuan-temuan sejumlah survey sebelum Pemilu 2019, perolehan suara itu merupakan lonjakan dua kali lipatnya.
Lompatan elektabilitas itu besar kemungkinan dipengaruhi oleh “AHY effects”. Hal itu dikonfirmasi oleh hasil temuan Litbang Kompas (Mei 2019) yang mengkonfirmasi bahwa dari angka 7,7 persen itu, sekitar 50 persennya didominasi oleh pemilih muda milenial yang memiliki korelasi positif dengan manuver dan kerja-kerja politik AHY.
Capaian itu juga berkorelasi dengan mesin politik baru yang diciptakan AHY, bernama Akademi Demokrat (Akdem) Melalui tempaan kekuatan fisik, mental dan intelektual (Trisakti Wiratama), para Taruna Akdem yang didominasi oleh kalangan milenial itu dioptimalkan untuk meningkatkan mesin politik PD di berbagai Dapil.
Pasca Pemilu 2019, mesin politik itu masih terus dirawat AHY sebagai media kaderisasi yang sistematis, menciptakan kader loyal dan regenerasi yang berkelanjutan.
Semua langkah taktis yang bermakna strategis itu semakin meningkatkan sentimen positif publik terhadap AHY. Figur AHY dipersepsikan oleh publik sebagai figur muda yang cerdas, bijak, visioner dan berintegritas. Sehingga keberadaannya sebagai ‘panglima’ dalam kompetisi politik 2019 layak diapresiasi Bahkan, nama AHY selalu konsisten menjadi satu-satunya figur representasi PD yang selalu masuk di dalam bursa dan survei-survei kepemimpinan politik nasional.
Memang aspek popularitas, ketersukaan (likability) dan elektabilitas itu bisa bentuk melalui kerja-kerja politik dan strategi kampanye yang intensif. Tetapi umumnya, sentimen positif itu terbentuk karena didasari oleh ‘faktor-faktor abstrak’ yang melekat pada individu.
Alhasil, sentimen positif publik cenderung menjadi fenomena yang genuine dan tidak mudah manipulasi. Terbukti, banyak sekali elit dan pimpinan partai politik yang menghabiskan sumber daya dan logistiknya untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya, tapi terpaksa harus gigit jari karena tetap saja “mentok” di ranking buncit.
Karena itu, para kader dan jajaran fungsionaris PD patut memahami bahwa AHY merupakan modal sosial-politik (socio-political capital) yang besar dan menjanjikan bagi masa depan PD. Terlebih lagi, perilaku politik pemilih Indonesia cenderung dipengaruhi oleh figur politik (figure-based political behaviour), ketimbang preferensi terhadap partai politik.
Di tengah situasi dan kebutuhan itu, PD akan sangat membutuhkan AHY. Figur AHY berpotensi besar menjadi magnet kekuatan politik baru yang meningkatkan fleksibilitas manuver, menyegarkan semangat kader, dan mengefektifkan konsolidasi mesin politik partai.
Para kader PD akan memiliki kesempatan untuk memanfaatkan momentum perubahan itu dalam Kongres PD pada Mei 2020 mendatang. Kesalahan mengambil keputusan akan berdampak serius terhadap nasib dan keberlanjutan PD di masa depan. AHY merupakan alternatif figur yang paling memungkinkan untuk menjawab tantangan transformasi kepemimpinan untuk mengembalikan kejayaan PD di masa depan. (*)
*) Penulis adalah M. Oki Isnaini, Peneliti Senior Romeo Strategic & Political Consulting, Jakarta & Alumni King’s College University, London
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |
Sumber | : TIMES Jakarta |