Kopi TIMES

Perlukah Pendekatan Kekuatan Militer atas Klaim Kadaulatan China di Natuna?

Kamis, 09 Januari 2020 - 15:25 | 155.16k
Asra Bulla Junga Jara, Mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang.
Asra Bulla Junga Jara, Mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANGKONFLIK perebutan wilayah di Laut China Selatan bukan hal yang baru bagi negara-negara yang ada di seputaran wilayah laut tersebut. Belum selesai masalah pertikaian antara China dan Vietnam–Taiwan terkait Kepulauan Paracel atau pertikaian China dan Filipina, Brunei, Malaysia Taiwan dan Vietnam terkait dengan kepulauan Spratly, kini China mengklaim bahwa wilayah Laut Natuna Utara merupakan bagian wilayah China yang ada pada Nine Dash Line peta warisan mereka.

Negara China mengklaim Laut Natuna Utara sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, karena menurut sejarahnya bahwa nelayan tradisional mereka sejak dulu telah beraktivitas pada perairan tersebut. Namun hal ini tidak bisa dibenarkan karena wilayah perairan pada suatu negara sudah ditetapkan pada konvensi hukum laut PBB (UNCLOS).

Advertisement

Memanasnya pemberitaan ini berawal dari surat protes yang dilayangkan Pemerintah RI kepada Pemerintah China pada Senin (30/12/2019) dan Kamis (2/1/2020) karena pelanggaran  Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI di perairan Natuna melalui Patrol KRI Tjiptadi – 381 pada posisi 05 06 20 U 109 15 80 T di mana mendeteksi 1 kontak kapal di radar pada posisi 05 14 14 U 109 22 44 T jakart 11.5 NM menuju selatan dengan kecepatan 3 knots.

Pelanggaran tersebut termasuk pelanggaran kegiatan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing dan kedaulatan oleh coast guard atau penjaga pantai China di perairan Natuna.

Dengan masuknya kapal coast guard China dengan nomor lambung 4301 (CCG 4301) yang mengawal kapal nelayan China di wilayah Natuna secara ilegal pada perairan wilayah Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa China melakukan pelanggaran wilayah.

Melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri China–Geng Shuang menjawab protes dari Kementerian Luar Negeri Indonesia dan bersikukuh bahwa negaranya tidak melanggar hukum Internasional yang ditetapkan melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Geng Shuang mengklaim bahwa perairan Natuna masuk dalam Nine Dash Line China. Akan tetapi pemerintah Indonesia dengan tegas menolak atas klaim sepihak dari China.

Disadari atau tidak disadari, kasus ini bisa mengarah pada konflik yang mendalam dengan China yang tentunya akan mempengaruhi hubungan diplomatik Indonesia–China yang selama ini telah terbangun dengan baik. Seperti halnya Vietnam dan Philipina yang sudah melibatkan penggunaan kekuatan militer, tidak menutup kemungkinan bila China mengabaikan nota protes yang dilayangkan Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI untuk tindakan selanjutnya adalah mengerahkan lebih banyak kekuatan militer Indonesia ke Laut Natuna Utara.

Namun menurut hemat saya, dalam menjaga wilayah perbatasan di Laut Natuna Utara memang harus menggunakan kekuatan militer yang optimal. Apalagi sumber kekayaan laut di Natuna Utara menjadi cadangan sumber daya alam Indonesia dan tentunya diincar oleh banyak negara di sekitarnya.

Pemerintah Indonesia juga perlu waspada dengan proyek reklamasi pulau buatan yang sudah dijalankan China di sekitaran Pulau Spratlys antara tahun 2013 dan 2016 dengan memperluas wilayah karang dan bebatuan pulau seluas 558 hektar (dikutip dari kompas.com 3 Januari 2019). Hal ini bisa saja menjadi dasar bagi China atas klaim ZEE mereka sehingga dengan seenaknya bisa mengklaim bahwa wilayah Laut Natuna Utara menjadi bagian wilayah mereka.

Meskipun Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) di tahun 2016 telah mengeluarkan keputusan bahwa China tak memiliki hak sejarah atas perairan Laut China Selatan (LCS) dan pada putusan tersebut bahwa China telah melanggar hak-hak kedaulatan wilayah negara Filipina dengan aksi-aksinya yang dilakukannya.

Putusan tersebut membuat negara China marah dan memboikot dengar pendapat di PCA–Den Haag serta berjanji tidak akan mematuhi keputusan tersebut. Bahkan China menyatakan angkatan bersenjatanya akan pertahankan kedaulatan dan kepentingan maritimnya.

Dengan adanya referensi kepastian hukum dari kasus sengketa LCS antara China dan Filipina, bisa menjadi masukan bagi pemerintah Indonesia untuk ke depannya. Yang jelas, untuk peristiwa saat ini dengan mengerahkan kekuatan militer Indonesia di Laut Natuna Utara dalam segi Pertahanan Negara dapat menunjukkan pada China bahwa kedaulatan wilayah negara Indonesia di Laut Natuna Utara adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.

Meskipun China menjadi salah satu investor di Indonesia, bukan berarti China bisa bertindak sesuka hati, dengan melakukan tindak pelanggaran wilayah. Dengan klaim sepihak menunjukkan bahwa China mempunyai kepentingan ekonomi maritimnya.

Ditambah pada pulau reklamasi China di kepulauan Spratly saat ini telah membangun kekuatan armada militer dan pertahanan China. Kasus ini bukan hal yang sepele, karena dalam jangka pendek maupun panjang akan berdampak pada Ketahanan Nasional Indonesia.

Proses diplomatik dan pendekatan politik bisa dilakukan namun tetap tidak ada kompromi bagi negara yang melanggar batas wilayah negara lain apabila peringatan tidak direspons dengan niat baik.

Dalam menjaga perairan laut Indonesia hendaknya memaksimalkan militer di wilayah perbatasan laut tersebut. Indonesia sebagai negara maritim, sudah saatnya untuk mengoptimalkan kekuatan militer dalam menjaga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya di wilayah laut perbatasan antar negara.

Konflik perebutan wilayah di Laut China Selatan bukan hal yang baru bagi negara-negara yang ada di seputaran wilayah laut tersebut. Belum selesai masalah pertikaian antara China dan Vietnam–Taiwan terkait Kepulauan Paracel atau pertikaian China dan Filipina, Brunei, Malaysia Taiwan dan Vietnam terkait dengan kepulauan Spratly, kini China mengklaim bahwa wilayah Laut Natuna Utara merupakan bagian wilayah China yang ada pada Nine Dash Line peta warisan mereka.

Negara China mengklaim Laut Natuna Utara sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, karena menurut sejarahnya bahwa nelayan tradisional mereka sejak dulu telah beraktivitas pada perairan tersebut. Namun hal ini tidak bisa dibenarkan karena wilayah perairan pada suatu negara sudah ditetapkan pada konvensi hukum laut PBB (UNCLOS).

Pengerahan, kekuatan militer Indonesia ke tapal batas, mungkin kelihatan gagah dan heroik. Namun hal tersebut memiliki keterbatasan baik dari segi biaya, respons dan kekuatan alutsista. Seperti jarak ke pangkalan skuadron, jangkauan radar gugus tugas kapal laut, dukungan logistic maupun personil.

Itu sangat mahal, tidak efektif, atau mungkin bahkan tidak sependan. Atau worsely, meningkatkan suhu eskalasi gelar pasukan antarnegara. Ingat, negara lain juga menganggap mereka memiliki kedaulatan atasnya. Juga memiliki kekuatan militer.

Pendekatan lunak secara diplomasi dan hukum dapat saja di lakukan, namun hasilnya sangat tergantung kepada kelincahan dan kekuatan posisi tawar Indonesia.pendekatan ekonomi dengan menawarkan pengembangaan bersama (joint development area) seperti yang pernah Indonesia lakukan dengan Australia di lepas laut Timor Timur (ketika masih bagian dari Indonesia) memerlukan pertimbangan yang matang dan komprhensif. (Baca: Sengketa Natuna dengan Tiongkok, Bakamla Tambah Pasukan Pengaman).

Indonesia Juga Harus Memperhatikan Daerah Perbatasan dan Sumber Daya Alamnya

Pendekatan terbaik adalah dengan menguasai dan tidak menelantarkannya. Indonesia memiliki beberapa wilayah kerja migrasi yang telah berproduksi di kawasan Natuna, seperti yang dikerjasamakan dengan Conoco Philips, Premier, dan Lundin Petroleum. Wilayah kerja migas yang berproduksi tersebut ada disisi dalam (inner waters) yang tidak terkena klaim tumpang tindih.

Wilayah kerja migas yang berada di tapal batas zona teritoral gugus kepulauan Natuna, sebagian telah ditanda tangani kontraknya, namun relatif belum ada aktivitas nyata di lapangan (mirip kasus di Sebatik).

Menurut para ahli geologi sebagian sumber hidrokarbon (kitchen) berdasarkan petroleum system berlampar di bawah laut antarnegara di perbatasan (baik dengan Vietnam dan Malaysia di bagian Barat maupun Timur). Dengan demikian, titik kordinat dan garis imajiner di atas peta laut pada dasarnya tidak selalu sama dengan sumber hidrokarbon di bawahnya.

Mengingat terpencilnya lokasi-lokasi itu dari daratan besar gugus Natuna Besar dan Kepulauan Anambas (sebagian pangkalan logistik), agar dimungkinkan secara ekonomis pengusahaan wilayah kerja migas di perbatasan memerlukan fiscal terms dan kemudahan khusus. Jangan sampai aktivitas migas di sisi seberang-Vietnam dan Malaysia-menjadi lebih rama dibandingkan sisi Indonesia.

Undang-Undang Pertambangan Migas terdahulu, yaitu Undang-Undang Nomor 44 tahun 1960 telah mengamanatkan itu. Dalam undang-undang itu jelas dan eksplisit dinyatakan, migas adalah alat pertahanan negara. Paradigma mengelola wilayah perbatasan negara adalah analog menugaskan satpam di sisi pagar luar rumah. Mereka harus digaji, bukan dibebani untuk mencari tambahan penghasilan bagi pemilik rumah. 

Sudah saatnya, secara komprehensif integral dan holistik, pengelolaan migas dikelola dengan baik, antara lain sebagai alat pertahanan negara menjadi tonggak terdepan dalam menjaga kedaulatan teritorial Indonesia, yang dikelola secara sinergis terpadu dengan komponen kekuatan bangsa lainnya. Wilayah kerja migas di perbatasan harus dapat difungsikan sekaligus sebagai value chain logistik serta instrumen keamanan dan pengamanan wilayah. 

Bagaimana dengan di zona ekonomi eksklusif? Sepanjang kita ikuti di pemberitaan media massa, nelayan-nelayan negara tetangga dengan dikawal oleh pasukan pengawal pantainya sering masuk dan mencari ikan di ZEE. Sesekali pihak Indonesia mengerahkan kapal badan keamanan laut maupun Kapal Patroli Angkatan Laut untuk mengusirnya. Kapal-kapal nelayan asing itu pergi namun muncul lagi beberapa waktu kemudian. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan nelayan Indonesia. Sudahkan wilayah ZEE itu dieksploitasi dan diramaikan dengan aktivitas penangkapan ikan? Apakah di sekitar itu sudah ada industri pengawetan perikanan, pemrosesan air tawar, penyediaan BBM atau posko keamanan? Apakah nelayan dan kapal kapal Indonesia sudah banyak dan berkelanjutan meramaikan kawasan tersebut? 

Kalau belum, tidak heran kapal-kapal nelayan asing tergiur berburu di sana. Di laut lepas, tidak seperti di daratan ada benda benda fisik, kultur, atau bangunan sebagai penanda wilayah. Di laut hanya ada titik-titik imajiner yang disebut koordinat. 

Pelajaran pahit yang Indonesia telan ketika kalah dari Malaysia dalam perebutan Sipadan – Ligitan, karena abai dalam mengusahakannya hendaknya tidak boleh terulang di Natuna. Pemerintah perlu membangun industri perikanan terpadu di sekitar kawasan itu. Kegiatan kebaharian dan kepelautan harus dikembangkan untuk menunjukkan penguasaan dan pengurusan efektif terhadap kawasan yang luas itu. 

Memperhatikan hal hal tersebut di atas, paradigma pengelolaan wilayah perbatasan harus berubah. Pertimbangan ekonomi dalam mengelola wilayah perbatasan harus dinomorduakan. Nomor satu adalah untuk menjaga integritas wilayah. 

Pendekatan pembangunan di kawasan perbatasan harus dengan perlakuan khusus. Juga penting memadukan pengembangan wilayah kerja pertambangan dengan pengelolaan pulau pulau terluar yang berada di bawah tugas fungsi Kementerian Kelautan maupun Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Rencana pengembangan tata ruang pembangunan daerah harus menyesuaikan dan selaras dengan narasi besar menjaga kedaulatan di tapal batas. 

* Penulis, Asra Bulla Junga Jara, Mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES