Shalawat Nariyah dan Tafsir ‘Uqdah Kiai Ahmad Sufyan Miftahul Arifin

TIMESINDONESIA, JAKARTA – DI antara sekian banyak versi bacaan shalawat, shalawat Nariyah bisa jadi salah satu yang paling populer. Khususnya bagi warga Nahdlatul Ulama (NU) dan Pondok Pesantren. KH Ahmad Sufyan Miftahul Arifin adalah sosok ulama yang merupakan salah satu dari rijalus sanad shalawat Nariyah dengan bilangan 4444 kali di Indonesia.
Kata Nariyah bermakna api. Filosofinya, seperti keterangan dalam kitab khazinat al-asrar, Allah dengan cepat mengabulkan doa orang yang membacanya secepat api membakar benda-benda di sekitarnya. Selain nama nariyah, shalawat ini juga bernama tafrijiyah.
Advertisement
Tafrijiyah artinya kelapangan. Kelapangan terkait dengan salah satu teleologi shalawat ini, yaitu kelapangan hidup, kemudahan, dan solusi atas segala persoalan.
Bagi warga NU, shalawat ini diyakini mujarab. Apalagi bila dibaca hingga 4444 kali. Bisa dipahami bila Nahdlatul Ulama sejak peringatan hari santri tahun 2016 silam mentradisikan pembacaan shalawat 4444 hingga 1 miliar bagi warga NU di seluruh dunia.
Amalan ini merupakan ikhtiar rohani, karena tidak setiap persoalan bisa diselesaikan semata mengandalkan kekuatan jasmani. Dalam tradisi NU dan pesantren, ikhtiar jasadi dan rohani adalah kombinasi rumus mangkus meraih tujuan.
Dalam konteks keindonesiaan, pertolongan Allah untuk kejayaan dan keselamatan bangsa Indonesia diharapkan bisa terkabul dengan barokah pembacaan shalawat ini.
Jauh sebelum pembacaan shalawat nariyah 4444 kali menasional, secara sporadis namun masif, tradisi shalawatan telah menggema di pelbagai pelosok negeri. Terutama di kantong-kantong nahdliyyin.
Situbondo, salah satu kabupaten di ujung timur Jawa Timur, bahkan menasbihkan identitas diri sebagai bumi shalawat nariyah. Identitas ini mencerminkan masifnya shalawat nariyah membudaya di kalangan masyarakat kota santri.
Dalam konteks masifikasi shalawat nariyah, peran almarhum Kiai Ahmad Sufyan sangat besar. Beliau merupakan salah satu dari rijalus sanad shalawat nariyah dengan bilangan 4444 kali.
Kiai Ahmad Sufyan adalah kiai khos yang sangat dihormati di kalangan Nahdliyin. Syahdan Gus Dur pernah berucap, bahwa ada beberapa kiai di Jawa Timur yang petuahnya tidak bisa beliau tolak, salah satunya adalah Kiai Ahmad Sufyan.
Sebagai mursyid thoriqat naqsyabandiyah, jamaah Kiai Ahmad Sufyan tersebar di pelbagai kawasan tanah air. Berstatus mursyid dengan ribuan jama’ah, Kiai Ahmad Sufyan masyhur sebagai kiai sederhana yang dekat dengan umat.
Aktivitas beliau lebih banyak dipenuhi dengan melayani umat. Tidak hanya dengan menerima kunjungan mereka di kediaman, beliau juga sering turun langsung mendatangi mereka. Tidaklah mengejutkan jika haul beliau setiap tahun selalu dipadati puluhan ribu orang.
Energi perjuangan Kiai Ahmad Sufyan begitu besar. Hampir tidak ada waktu bagi beliau untuk berhenti berjuang mengurus umat. Sepak terjang beliau adalah kristalisasi dari kedalaman spiritual sekaligus kecerdasan intelektual.
Nilai-nilai kebangsaan begitu tampak dalam polah Kiai Ahmad Sufyan. Di tengah usia yang semakin sepuh, tidak jarang beliau terlihat memaksakan bangun dari kursi roda untuk menghormati kumandang lagu Indonesia Raya.
Kekaguman beliau kepada Pancasila adalah hal lain. Pengajian rutin lailiyaan setiap malam Selasa, acapkali menjadi forum beliau mendaras Pancasila.
Di luar semua itu, kegemaran beliau kepada shalawat nariyah dengan bilangan 4444 kali juga menjadi yang paling benderang. Bilangan ini bagi beliau harus pas. Kiai yang wafat di Makkah tersebut membuat tamsil, bilangan shalawat ini seperti gerigi kunci.
Gerigi kunci yang jumlahnya melebihi semestinya jelas tidak bisa masuk ke lubang kunci. Jika bilangan geriginya kurang, ujung kunci bisa masuk ke lubang, namun tidak bisa membuka pintu.
Oleh sebab itu dalam setiap pembacaan shalawat nariyah, masyarakat lumrahnya menyertakan bitongan (hitungan) yang terdiri dari ragam biji-bijian seperti biji saga, biji asam, dan seterusnya. Setiap satu shalawat dibaca, satu biji diambil sebagai hitungan sehingga jumlah bilangan akhir tidak kurang maupun lebih dari yang ditentukan.
Kiai Ahmad Sufyan menjadi penggerak utama tradisi keagamaan ini. Begitu gemarnya beliau kepada shalawat ini, hingga dalam setiap kesempatan selalu mewasiatkan dua hal utama, pembacaan shalawat nariyah 4444, dan proliferasi para huffadh atau penghafal Al Quran.
Shalawat Pelepas Belenggu
Legacy Kiai Ahmad Sufyan tidak hanya dalam bentuk masifnya pembacaan shalawat nariyah. Syarah (penjelasan) beliau terhadap shalawat ini juga menjadi salah satu warisan berharga. Beliau, misalnya, memberikan interpretasi terhadap kata al-uqad dalam kalimat tanhallu bihi al uqad (segala ikatan terlepas).
Al uqad adalah bentuk plural dari kata uqdat; bermakna ikatan atau belenggu. Tanhallu bihi al uqad sebetulnya menunjukkan sisi emansipatoris Rasulullah; beliau adalah pembebas. Pembebas dari segala macam belenggu kehidupan.
Kiai Ahmad Sufyan menjelaskan empat konsep belenggu (uqdah) yang terlepas berkat kehadiran Rasulullah. Pertama, belenggu tauhid (al uqdat attauhidiyah), yakni belenggu teologis baik dalam rupa paganisme maupun segala bentuk keberpalingan dari Allah.
Belenggu ini membuat masyarakat jahiliyah pra Islam berpaling dari Allah dan hukum hukumNya. Hukum rimba berlaku menggantikan hukum Tuhan. Fanatisme kesukuan menjadi justifikasi segala tindakan lacur yang dilakukan.
Rasulullah SAW datang memperkenalkan Allah SWT, satu-satunya tuhan yang harus disembah. Hukum Tuhan yang berasaskan kasih sayang menggantikan hukum kesukuan yang penuh dengan kebencian dan permusuhan.
Kedua, belenggu sosial (al uqdat al ijtima’iyyah). Masyarakat jahiliyah, karena pondasi teologisnya rapuh, jatuh ke dalam perilaku sosial yang jauh dari cahaya ketuhanan seperti cinta dan kasih sayang.
Pertikaian adalah fenomena lumrah sebagai akibat dari menguatnya solidaritas in group yang berlebihan, disertai rasa benci dan permusuhan terhadap mereka yang berada di luar golongan (out group). Nilai nilai kemanusian tertutupi oleh perilaku kebinatangan yang tampak dari kebiasaan membunuh hidup-hidup bayi perempuan.
Ketiga, belenggu ekonomi (al uqdat al iqtishadiyah). Belenggu ini mewujud dalam praktik perekonomian penuh tipu daya serta jauh dari prinsip-prinsip keadilan.
Sementara yang keempat, uqdat siyasiyah (belenggu politik), tercermin dalam perilaku politik yang jauh dari nilai-nilai keadaban, sekterianisme yang kebablasan, hingga politik primordial yang membuka lebih lanjut pintu pertikaian. Meski Kiai Ahmad Sufyan menjadikan fenomena jahiliyah sebagai pijakan interpretasi, namun secara kontekstual konsep uqdat ini masih relevan merefleksikan fenomena kekinian.
Misalnya, bagaimana belenggu teologis saat ini mewujud dalam bentuk penuhanan terhadap materi yang memprihatinkan, serta penyalahgunaan nama tuhan oleh sekelompok orang untuk tujuan-tujuan yang justru menjauhkan agama dari mareka. Individualisme, hilangnya kepekaan sosial, rusaknya relasi sosial oleh perilaku segelintir oknum yang mudah menebar ketakutan dan kebencian, adalah manifestasi dari belenggu sosial.
Di bidang ekonomi, cengkraman kapitalisme global, penguasaan aset-aset vital negara oleh asing yang kebablasan, serta praktik perekonomian yang jauh dari prinsip keadilan dan kekeluargaan, adalah cermin dari masih adanya belenggu ekonomi. Politik transaksional, pragmatisme dan popululisme agama sebagai belenggu politik, melengkapi cermin akan masih kuatnya pelbagai uqdah tersebut membelenggu pelbagai dimensi kehidupan.
Ala kulli hal, konsep belenggu Kiai Ahmad Sufyan sangat relevan menggambarkan pelbagai fenomena ekonomi sosial politik bangsa Indonesia saat ini. Atas dasar itu pula, pembacaan shalawat Nariyah sebilangan 4444 semakin signifikan untuk terus digalakkan. Dengan begitu keempat belenggu tersebut bisa terlepas dengan barokah Nabi Muhammad shallallauhi alaihi wa sallam.(*)
*)Penulis Adalah Dodik Harnadi, santri Nahdlatul Ulama (NU), yang saat ini tinggal di Bondowoso, Jawa Timur
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |
Sumber | : TIMES Jakarta |