Kesehatan Mental Laki-Laki yang Jarang Dibicarakan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sejak masih kanak-kanak, laki-laki dituntut untuk tidak menangis dan memiliki karakteristik yang kuat serta tangguh, karena orang tua menanamkan kepada anak laki-lakinya bahwa menangis itu hanya dilakukan oleh anak perempuan.
Beranjak dewasa, laki-laki menjadi sosok yang tidak mudah meluapkan emosinya dan seiring berjalannya waktu, masyarakat mengidentikan laki-laki dengan perasaan yang datar, tanpa ekspresi, ketiadaan emosi, dan tidak boleh menangis.
Advertisement
Sayangnya, hal ini merupakan stigma sosial yang telah dibangun selama berabad-abad. Hal ini yang membuat laki-laki dianggap tabu dalam menyuarakan perasaan yang sedang dirasakannya.
Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2016 diperkirakan ada 793.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia. Sebagian besar adalah laki-laki.
Di Inggris, tingkat bunuh diri laki-laki masih menjadi penyebab kematian terbesar bagi laki-laki di bawah usia 45 tahun. Hal serupa ditemukan di banyak negara lain.
Dibandingkan dengan wanita, pria tiga kali lebih mungkin meninggal karena bunuh diri di Australia, 3,5 kali lebih mungkin di AS dan lebih dari empat kali lebih mungkin di Rusia dan Argentina.
Sekitar setiap 40 menit, satu orang meninggal dunia karena bunuh diri di dunia ini. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, yang tidak membicarakan masalah-masalah mereka atau mencari pertolongan.
"Kita membiasakan laki-laki sejak sangat muda untuk tidak mengekspresikan emosi mereka karena hal itu dianggap 'lemah,' kata Colman O'Driscoll, mantan direktur Lifeline, sebuah lembaga Australia yang menyediakan bantuan terhadap krisis dan pencegahan bunuh diri, dilansir dari bbc.com.
Di Indonesia sendiri, kasus bunuh diri yang kebanyakan korbannya adalah laki-laki masih terjadi. Salah satunya kasus Co-Pilot Wings Air tewas gantung diri yang diduga bunuh diri pada bulan November 2019 lalu.
Diduga korban mengalami depresi karena dipecat oleh tempat di mana dia bekerja. Korban dipecat akibat melakukan tindakan indisipliner sehingga dijatuhi sanksi oleh perusahaan dan harus membayar denda Rp 7 miliar. Diduga sanksi ini yang membuatnya mengakhiri hidup.
Kasus bunuh diri serupa juga terjadi di bulan Agustus 2019, pemuda yang tinggal di Bekasi tersebut nekat membakar diri diduga karena putus asa dengan penyakit yang tak kunjung sembuh. Meski begitu, Kepolisian enggan menyebutkan riwayat penyakit korban.
Mundur ke tahun 2016 silam, tepatnya di bulan Maret, mahasiswa Universitas Indonesia ditemukan tewas di kamar kosnya. Polisi memastikan kematian pemuda 22 tahun itu karena bunuh diri. Kesimpulan awal, korban melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri. Banyak spekulasi yang berkembang atas meninggalnya mahasiswa semester delapan yang pada saat itu tengah menyusun skripsi. Diduga korban nekat mengakhiri hidupnya karena depresi dengan nilainya yang anjlok, ada pula yang beranggapan bahwa korban nekat bunuh diri lantaran skripsinya ditolak.
Berdasarkan ketiga kasus bunuh diri tersebut, ini membuktikan bahwa laki-laki sama rentannya mengalami gangguan kesehatan mental sama seperti perempuan.
Menurut Arum, alumni lulusan jurusan Psikologi Universitas Sebelas Maret, mengatakan bahwa gangguan mental itu terbagi menjadi dua, yaitu psikotik dan neurotik.
Nah, kalau psikotik itu gangguan yang ada wahamnya, waham itu keyakinan yang tidak realistik. Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan, yang tetap dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran yang tidak terkontrol. Intinya pasien meyakini sesuatu yang tidak sesuai realita sedangkan Neurotik itu gangguan yang tidak ada wahamnya.
Secara umum, menurut Arum, penderita psikotik dipicu oleh ketidakmampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah yang diterima oleh seorang manusia. Nah kebanyakan pria itu mengalami psikotik, sedangkan perempuan mengalami neurotik.
Arum menambahkan bahwa penderita psikotik ini cukup banyak ditemukan dalam masyarakat modern. Kasus psikotik ini sangat individual, sehingga diperlukan penganan yang sangat spesifik pula. Dari segi jumlah penderita, kaum laki-laki lebih rentan menderita psikotik ketimbang wanita.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh penulis kepada 54 orang laki-laki berusia 18 tahun hingga 26 tahun, 88,9% mengaku pernah mengalami gangguan kesehatan mental dan responden terbanyak yang mengalami gangguan kesehatan mental berusia 21 hingga 24 tahun.
Berdasarkan polling yang dilakukan, penyebab para responden mengalami gangguan kesehatan mental adalah pencapaian diri, lalu diperingkat kedua penyebab utamanya yaitu lingkungan kuliah dan lingkungan kantor yang tidak mendukung, dan diperingkat ketiga yaitu pendidikan.
“Waktu merasa depresi, penyebab utamanya muncul perasaan bahwa pencapaian selama kuliah ngga ada apa-apanya. Jadi merasa minder karena belum bisa memaksimalkan peluang selama kuliah sehingga bingung menentukan tujuan kedepan karena merasa tidak capable,” ujar salah satu responden perempuan lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Lampungi.
“Waktu merasa lagi mental down banget, cara mengatasinya saya mencoba menenangkan diri dan banyak merenung. Yang bikin tetap struggle, dukungan dari orangtua,” tambahnya.
Respondel lain, seorang mahasiswa lelaki co-ass Fakultas Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Semarang bercerita bahwa hal yang membuatnya depresi ketika masa studinya harus tertunda setahun dan mengalami kesulitan ketika proses skripsi.
“Saya awalnya adalah mahasiswa yang sinis dengan kakak kelas yang kuliahnya telat, saya sebut mereka veteran. Bukan manusia namanya kalau tidak kena batunya sendiri. Saya pun akhirnya tertunda satu tahun sehingga saya menjelma menjadi orang saya benci, yaitu veteran. Teman-teman wisuda, saya tidak datang. Malu, tertekan, jadi satu. Tekanan wisuda teman satu angkatan belum selesai, kemudian pada waktu yang berurutan, datang masalah skripsi.”
Dia mengaku, ketika dia merasa depresi dengan keadaannya tersebut, sampai mengganggu aktivitas kesehariannya. “Saya adalah orang yang menuntut kesempurnaan, jadilah saya bertekad membuat skripsi yang sempurna. Malah jadinya molor dan sangat membebani mental. Misal orang lain punya 50 halaman, saya 150 halaman untuk topik yang sama.” timpalnya.
Responden ini mengaku, dia tidak menceritakan kondisinya sama sekali ke orang-orang terdekat dan tidak mencoba untuk mengkonsultasikan diri ke psikolog. “Kos saya sampai didatangi kepala program studi untuk tahu masalah dan kondisi saya bagaimana,” tambahnya.
Berdasarkan penelitian dari lembaga College of Family Physicians of Canada, laki-laki tidak biasa pergi ke psikiater untuk membicarakan perasaan sedih mereka ataupun perasaan tertekan yang sedang mereka alami.
Bahkan apabila mereka pergi ke psikiater ataupun ke psikolog, mereka jarang akan menyebutkan setiap kesulitan emosional atau perilaku mereka secara rinci. Laki-laki pada umumnya menggunakan istilah stres dibanding menyebut dirinya depresi ataupun sedang sedih meskipun pada kenyataannya mereka secara sadar sedang depresi.
Daripada berkomunikasi secara verbal membicarakan masalah emosional, laki-laki cenderung melampiaskannya ke alkohol dan obat-obatan terlarang. Sedangkan, berdasarkan 54 responden yang diteliti oleh penulis, rata-rata responden laki-laki mengaku untuk mengalihkan perhatian dari rasa depresinya dengan pelarian ke kegiatan postif dan bersosialisasi bersama teman-teman.
“Saya punya dua orang teman yang sangat suportif di kos, walaupun mereka tidak tahu diagnosa saya, akan tetapi berbicara dan bercanda dengan mereka menolong meringankan gejala saya. Saya tidak bisa membayangkan kalau tidak ada mereka, mungkin saya jadi mahasiswa abadi yang berlarut-larut dalam kedepresian,” ujarnya.
Jadi, terlepas dari gangguan kesehatan mental yang dialami oleh laki-laki intinya meskipun itu hanya sakit fisik, sakit psikis, semua pengidap gangguan kesehatan mental harus diperlakukan dengan sama tidak dibeda-bedakan.
Kita sebagai masyarakat sosial yang tidak bisa hidup sendiri, harus peka dengan keadaan sekitar terkhusus keadaan orang-orang sekitar. Terlepas laki-laki dianggap sebagai kaum maskulin dan kaum yang dianggap kuat, tetapi mereka juga memiliki perasaan seperti perempuan. “Sama saja seperti kita memperlakukan orang yang sedang rawat inap di rumah sakit, menjenguk, memberi support, ajak ngobrol,” ujar Arum.
*) Penulis: Widya Zhafirah Dezani, Mahasiswi The London School of Public Relations
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |