Kopi TIMES

Ekspor Sawit: Antara Duit dan Pailit

Senin, 16 Maret 2020 - 10:48 | 141.86k
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si, Koordinator LENTERA.
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si, Koordinator LENTERA.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Detik ini, minyak goreng adalah salah satu komoditas pangan yang tengah naik harga. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional mencatat kenaikan harga minyak goreng kemasan, yakni Rp14.100 per kg. Harga minyak goreng kemasan bermerk ini naik 1,44 persen bila dibandingkan akhir pekan lalu (cnnindonesia.com, (9/3/2020).

Fakta ini tentu agak janggal, jika mengingat bahwa Januari 2020 lalu, volume ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO) Indonesia ke India, mengalami peningkatan hingga 51 persen. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Kanya Lakshmi Sidarta bahkan mengatakan, potensi pangsa ekspor yang bisa diraup Indonesia lebih dari 50 persen terhadap total konsumsi India.

Advertisement

India saat ini merupakan pengimpor minyak sawit terbesar di dunia. Berdasarkan data GAPKI, India memilki porsi sekitar 16 persen dari pangsa pasar perdagangan sawit dunia. Pada 2018, konsumsi minyak nabati India dari sawit sekitar 8,8 juta ton atau setara 37 persen. Selain itu, India menjadi pasar utama minyak sawit Indonesia sebesar 6,7 juta ton pada 2018. Sedangkan tahun 2020 ini, GAPKI menargetkan ekspor produk sawit ke India mencapai 7,6 juta ton.

Ini artinya, tidak ada masalah dengan volume produksi komoditi sawit di dalam negeri Indonesia.

Tingginya ekspor komoditi minyak sawit mentah ke India memang membuat Indonesia bagai ketiban durian. Pasalnya, importir minyak sawit India telah menghentikan seluruh pembelian dari Malaysia yang sebelumnya menjadi negara pemasok utama. 

Di samping itu, tahun 2019 lalu diklaim sebagai momentum peringatan 70 tahun persahabatan India-Indonesia. Apalagi kedua negara juga sama-sama anggota G20. Maka sudah barang tentu, ada kepentingan yang ingin diraih bersama secara bilateral. Kerjasama kemanfaatan ekonomi tentu lebih menggiurkan.

Menilik hal ini, apakah kemudian keuntungan ekspor minyak sawit mentah juga terdistribusi secara merata bagi rakyat? Nyatanya tidak.

Buktinya, Kalimantan Barat sebagai provinsi dengan lahan perkebunan kelapa sawit terluas ketiga di Tanah Air, ternyata masih paling miskin dibanding wilayah lain di Kalimantan. Dikutip dari katadata.co.id (03/12/2019), Keberadaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dimulai sejak 1980-an. Melalui PT Perkebunan Nasional (PTPN XIII), perusahaan pelat merah ini ditugasi pemerintah untuk mengembangkan lahan kelapa sawit dengan pola kerja sama dengan masyarakat lewat pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Pola PIR berarti persiapan perkebunan mulai dari pembibitan hingga panen dilakukan oleh PTPN.

Memasuki tahun ketiga, pengelolaan lahan sawit diberikan kepada masing-masing kepala keluarga. Hubungan masyarakat dengan perusahaan tetap terjalin karena hasil panen kelapa sawit harus dijual ke perusahaan.

Namun dalam perjalanannya, perkebunan rakyat atau yang dikenal dengan istilah plasma menghadapi permasalahan, antara lain konflik lahan dengan komunitas adat, perubahan pola hidup masyarakat adat yang komunal menjadi individual, hingga kehilangan hak mengelola hutan adat. Investasi swasta yang masuk pada 1990-an membuat skema pemberian lahan semakin rumit.

Ekspansi lahan yang dilakukan juga menimbulkan konflik dengan warga. Skema PIR tidak lagi menjadi obat mujarab pemberi kesejahteraan masyarakat Kalimantan Barat.

Hampir tiga dekade berlalu, perkebunan kelapa sawit masih belum berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat Kalimantan Barat. Alih-alih untung, petani sawit swadaya di Kalimantan Barat kini tersandung berbagai masalah seperti kawasan kebun dalam hutan, legalitas lahan, dan rendahnya produktivitas.

Selain itu, konflik antara petani plasma dan perusahaan, harga jual sawit yang anjlok, hingga perbedaan harga jual antara petani mandiri dan plasma membuat situasi semakin pelik.

Sengkarut sawit di Kalimantan Barat ini juga disoroti oleh Hendrikus Adam, Kepala Divisi Kajian, Dokumentasi, dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.  Perkembangan sawit di Kalimantan Barat menurut Hendrikus juga menyalahi rencana tata ruang. Perencanaan perkebunan kelapa sawit di Kalbar yang tercantum pada rencana tata ruang wilayah 2005 hanya mengalokasikan 1,5 juta hektare hingga 2025. Namun saat ini izin yang diberikan sudah mencapai 4-5 juta hektare.

Data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2019) menyebutkan, Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan lahan perkebunan kelapa sawit terluas ketiga di Tanah Air. Dengan luas lahan 1,8 juta hektare, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat hanya kalah luas dari Riau (3,4 juta hektare) dan Sumatera Utara (2,1 juta hektare). Meski unggul di luasan perkebunan kelapa sawit, Kalimantan Barat tidak dapat dikatakan daerah kaya. Provinsi ini justru merupakan yang paling miskin dibanding wilayah lain di Kalimantan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2019, Kalimantan Barat memiliki angka kemiskinan mencapai 7,49 persen. Sementara Kalimantan Utara hanya sebesar 6,63 persen, Kalimantan Timur sebesar 5,94 persen, Kalimantan Tengah sebesar 4,98 persen, dan Kalimantan Selatan sebesar 4,55 persen.

Ironi kemiskinan di wilayah kaya sawit ini disoroti oleh Sutarmidji, Gubernur Kalimantan Barat (12/09/2019). Sutarmidji menyatakan, Kalimantan Barat merupakan salah satu penghasil CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah) terbesar di Indonesia. Namun perkebunan sawit di Kalimantan Barat tidak berimbas langsung pada kesejahteraan masyarakat.

Sutarmidji juga menyoroti perkebunan kelapa sawit tidak berkontribusi dalam pendapatan asli daerah. Selain itu, Sutarmidji menyatakan selama ini perkebunan kelapa sawit hanya menyumbang pajak bumi dan bangunan untuk daerah tingkat dua. Selebihnya, perkebunan kelapa sawit tidak memberi kontribusi langsung dan justru menjadi beban bagi pemerintah daerah. Bahkan pemerintah provinsi membiayai perbaikan jalan yang rusak akibat angkutan sawit, yang jumlahnya mencapai ratusan miliar.

Sutarmidji sendiri memang telah berupaya semaksimal mungkin untuk mengatasi kemiskinan warganya. Ia menekankan perlunya pemberian corporate social responsibility (CSR) oleh perusahaan sawit berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia seperti pelatihan kerja, perbaikan ruang kelas, dan peningkatan kualitas posyandu.

Menanggapi hal ini, Idwar Hanis, Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Barat, menyatakan pemerintah dan perusahaan perlu duduk bersama untuk merumuskan program yang tepat. Salah satu cara meningkatkan pendapatan dari sektor sawit di Kalimantan Barat adalah hilirisasi. Menurut Hanis, pengembangan hilirisasi akan meningkatkan nilai tambah dan otomatis akan menaikkan pemasukan daerah.

Pada dasarnya, bukan itu masalahnya. Melainkan adanya gurita sistem ekonomi liberal yang telah digunakan untuk mengelola komoditi sawit. Padahal, sistem ekonomi liberal pastinya berpihak kepada para pemodal. Sama sekali tidak memihak rakyat. Terlebih, adanya reputasi Indonesia sebagai sesama anggota G20 dengan India, semakin menjauhkan keberpihakan itu dari rakyat. Politik sawit ini lagi-lagi hanya untuk yang berduit. Perlindungan ekonomi untuk petani sawit saja minimalis ala recehan CSR; jika tak ingin dikatakan nol besar. Alih-alih jaminan kesejahteraan ekonomi yang mumpuni.

Tak heran jika rakyat Indonesia, khususnya Kalimantan Barat, masih hidup dalam ironi pailit di tengah melambungnya volume ekspor sawit. Mereka tak ubahnya tikus yang mati di lumbung padi. Pundi-pundi komoditi yang seharusnya dikembalikan bagi kesejahteraan mereka, terlanjur diserobot oleh pilar-pilar kekuasaan oligarki. Kekuasaan yang sifatnya dalam rangka memperkaya diri penguasa sendiri. Semua untuk duit dan apa pun demi duit. 

Lihatlah, borok ekonomi neoliberal mana lagi yang hendak kita tutupi? Keniscayaannya makin nyata melindungi para pejuang kapital. Kesejahteraan warga daerah lumbung sawit pun dikorbankan demi seonggok devisa. Bagaimana kita hendak menjalani proyeksi sebagai negara maju? Kepemimpinan berpikir saja masih membebek pada negara importir.

***

*) Penulis adalah Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si, Koordinator LENTERA.

*)Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

___________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES