Kopi TIMES

Mengenyam Pendidikan Masa Pendudukan Jepang

Jumat, 13 Maret 2020 - 16:19 | 486.10k
Dina Stevany Ernayasari, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlanga Surabaya.
Dina Stevany Ernayasari, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlanga Surabaya.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Tepat 1 Maret 1942 untuk pertama kalinya pasukan Jepang sampai di Pulau Jawa. Segera setelahnya, Jepang menyadari betul pendidikan merupakan salah satu alat indoktrinasi dan propoganda untuk memobilisasi massa dalam rangka keperluan perang. Meskipun pada awalnya sejumlah sekolah yang beroperasi masa Hindia Belanda ditutup, secara berangsur-angsur Jepang membukanya kembali.

Kebijakan pendidikan masa pendudukan Jepang adalah penerapan sistem pendidikan militer. Siswa wajib mengikuti latihan dasar kemiliteran, menghafal lagu kebangsaan Jepang, mengibarkan bendera Jepang dan pengadaan upacara-upacara untuk menyebarkan propogandanya agar mencintai Jepang.

Advertisement

Bahkan murid diwajibkan masuk organisasi murid yang disebut Gakutotai dan melakukan kerja bhakti (kinrohosy), dengan tugas antara lain mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk perang, misalnya menanam pohon jarak, menyiangi sawah, membasmi hama. Tidak hanya murid yang dijadikan alat indoktrinasi, para guru pun diwajibkan untuk mengikuti latihan dasar kemiliteran dan mengikuti kursus bahasa Jepang.

Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat) memiliki lama studi 6 tahun. Termasuk Sekolah Rakyat adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. Pendidikan lanjutan terdiri atas Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.

Terdapat opsi lain untuk melanjutkan sekolah menengah tingkat tinggi yaitu pendidikan kejuruan, semacam SMK dalam era sekarang. Pendidikan kejuruan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. Lembaga pendidikan terakhir ialah Pendidikan Tinggi yang setingkat dengan universitas.

Hal Positif

Pertama dan paling menonjol dalam pengadaan pendidikan oleh Jepang ialah  dihilangkannya diskriminasi pendidikan pada masa Hindia Belanda, karena Jepang membawa pandangan bahwa bangsa Eropa kedudukannya sama dengan bangsa lain. Pemerintah Jepang saat itu mengeluarkan kebijakan pada sekolah yang ada sebelumnya untuk dihapuskan dualisme pengajaran, yang artinya sekolah-sekolah yang sejenis disamaratakan tanpa ada diskriminasi menurut golongan penduduk, keturunan dan agama ditiadakan.

Selanjutnya Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda. Mulailah bahasa Indonesia mengalami perkembangan pesat. Terjadi revolusi sosial di mana budaya Belanda dijungkalkan oleh budaya Jepang dan Indonesia. Atas desakan tokoh-tokoh Indonesia, tahun 1943 Jepang mengizinkan berdirinya Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia yang pada akhirnya berhasil mengkodifikasi 7.000 istilah bahasa Indonesia modern (saat itu). Usaha lain yang dilakukan Jepang dalam pendidikan di Indonesia ini adalah memperhatikan penyempurnakan bahasa Indonesia yang tidak berkembang pada masa pemerintahan Belanda. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian rakyat Indonesia.

Untuk penyempurnaan bahasa Indonesia ini, Jepang membentuk Indonesia Goseibi Iinkai yaitu komisi untuk penyempurnakan bahasa Indonesia. Komisi ini bertempat di gedung perpustakaan Islam di Tanah Abang Bukut, Jakarta. Komisi ini memiliki  pimpinan harian yaitu Ichiki, Mr Rd. Soewandi dan St. Takdir Alisyahbana. Bahkan nama kota yang menggunakan bahasa asing diganti dengan nama yang ada dalam bahasa Indonesia, misalnya Batavia diganti dengan nama Jakarta.

Meskipun terdapat hal-hal positif dari pendudukan Jepang, hal tersebut tidak luput dari faktor kepentingan. Penggunaan bahasa Indonesia semata-mata untuk menarik simpati masyarakat setelah pengekangan pengguaan bahasa Indonesia masa Hindia Belanda. Diskriminasi pendidikan pun bukan tindakan yang benar-benar mewujudkan diskriminasi, toh orang-orang Jepang melakukan diskriminasi pada orang-orang Eropa yang dikirim ke kamp-kamp konsentrasi.

Nasib Siswa Pada Akhirnya

Sebagian besar aktivitas murid dihabiskan untuk melakukan penghormatan pada Kaisar Jepang, Dai Toa (bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya), dan Taiso (senam Jepang) setiap pagi. Taiso dilakukan untuk kesehatan dan kebugaraan fisik agar dapat bertahan dan siap diterjurkan di medan perang. Akibatnya prose belajar terhambat karena terlalu banyak waktu dihabiskan untuk pendidikan kemiliteran, kerja bakti dan Taiso.

Terhambatnya proses belajar juga diakibatkan siswa masih belum cakap dalam menerima pelajaran yang berbahasa Jepang. Pada akhirnya selepas pendudukan Jepang, mayoritas siswa sekolah menengah tak hanya berlatih kemiliteran, melainkan terjun langsung menjadi militer.

***

*) Penulis adalah Dina Stevany Ernayasari, Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlanga Surabaya.

*)Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES