Paradoks Corona: Tuhan tidak Bermain Dadu

TIMESINDONESIA, ACEH – Alkisah tahun 1927, Fisikawan dunia berkumpul di Solvay, sebuah institut penelitian Fisika dan Kimia yang berlokasi di Brussels, Belgia. Pertemuan ini begitu terkenal karena 17 dari 29 peserta yang hadir adalah para peraih Nobel. Mereka membahas karakteristik fenomena subatomik yang baru ditemukan.
Ada tiga tokoh yang paling vokal berdiskusi. Mereka adalah Niels Bohr, Werner Heisenberg dan Albert Einstein.
Advertisement
Tahun 1900, Max Planck mencetuskan teori bahwa energi terpancar putus-putus (diskrit) yang disebut kuantum (partikel untuk subatom tunggal) alih alih kontinu dalam wujud gelombang untuk menjelaskan fenomena di level subatomik yang gagal didekati oleh Fisika Klasik.
Untuk mendukung teori ini, Bohr dan Heisenberg mengajukan prinsip ketidakpastian. Karuan saja, Einstein sang pencetus Teori Relativitas, sebuah teori berbasis hukum Newton yang menjadi dasar Fisika Klasik, tidak setuju.
Einstein berargumen kalau sesuatu yang tidak pasti tidak bisa diterima dalam sains. Heisenberg merespons kalau ketidakpastian justru menjadi dasar dari pengamatan subatomik ini. Maka dari itu, prinsip ketidakpastian menjadi suatu yang objektif dan mutlak. Einstein terus menolak pendapat Heisenberg dan Bohr. Saking kesalnya, Einstein melontarkan pernyataan “Tuhan tidak bermain dadu!”.
Teori kuantum terus berkembang. Salah satu penggagasnya yang terkenal adalah Schroedinger yang mengajukan percobaan imajinasi lewat kucing khayalan pada 1935. Prinsip ketidakpastian dinyatakan lewat probabilitas (peluang), yang disebut superposisi.
Untuk contoh ekstrim kita ambil kasus hidup dan mati sehingga hipotesis yang ingin diajukan apakah kucing hidup atau mati atau hidup dan mati secara bersamaan. Untuk itu, kita tempatkan zat radioaktif, sebotol racun, pencacah Geiger dalam kandang kucing yang kita tutup rapat. Antara botol racun dan pencacah kita gantungkan batu yang kita ikat antara mulut botol dan pencacah. Jika zat radioaktif memancarkan radiasi maka pencacah akan bereaksi dan batu akan jatuh, menumpahkan botol berisi racun.
Intuisi klasik kita mengatakan kucing mati seketika menjilat cairan racun. Namun, teori kuantum mengatakan kondisi kucing hidup sekaligus mati!. Inilah paradoks yang ditimbulkan oleh teori ini. Kapan kita mengetahui kondisi ini berakhir? Tunggu sampai kita membuka kandang. Namun, jika kandang dibuka, kondisi kuantum yang bermain dengan peluang-peluang akan runtuh karena sensitifitasnya terhadap lingkungan luar.
Nah pernyataan terakhir menyiratkan petunjuk kalau sesuatu yang mengandung ketidakpastian dan peluang dapat berakhir jika diambil tindakan. Einstein benar Tuhan tidak bermain dadu. Sudah empat bulan dunia menghadapi paradoks Corona layaknya teori kuantum, kebetulan keduanya berwujud mikroskopik tak kasat mata.
Kapan wabah ini berakhir? Kita tidak pernah tahu. Apakah vaksin sudah tersedia? Kita juga belum tahu. Studi mengenai karakteristik virus ini masih berseliweran di tengah ketidakpastian. WHO memeriksa dengan ketat riset-riset ilmiah yang menjadi dasar mereka merilis kebijakan terkait Corona ini.
Situasi terbaru menyebutkan orang berpeluang terinfeksi tanpa gejala. Masa inkubasinya menjadi lebih cepat. Di luar rumah kita berpeluang terpapar, di dalam rumah kita berpeluang menularkannya ke orang lain. Manusia benar-benar berada dalam dua keadaan sekaligus baik hidup serta mati.
Dalam kasus Kucing Schroedinger, keadaan si kucing baru dapat diketahui kalau kandangnya kita buka. Saat kandang dibuka kondisi kuantum dengan probabilitasnya akan kolaps seiring pengaruh lingkungan sekitar. Ini artinya si kucing masih hidup kalau kita intervensi dengan membuka kandangnya.
Lockdown atau karantina total yang dirasa menjadi langkah tepat guna menanggulangi Corona sebenarnya mengandung paradoks. Teori kuantum lewat eksperimen imajinasi Kucing Schrodinger di atas menggambarkan kondisi ini. Di satu sisi baik guna membatasi mobilitas warga dalam menyebarkan virus namun di sisi lain berimbas terhadap perekonomian rakyat. Resesi ekonomi mulai dirasakan negara-negara maju akibat lockdown ini. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, kondisi yang lebih tidak pasti lagi dapat muncul dari kebijakan lockdown ini.
Ada yang mengatakan ekonomi masih bisa dihidupkan sementara orang tidak. Ini paradoks juga. Saat negara tidak punya apa-apa lagi, rakyatnya mau dikasih makan apa? bukankah akan mati juga?, Saya berpikir bagaimana ekonomi masih bisa tumbuh sementara korban minim.
WHO menghimbau physical dan social distancing berjarak 2 meter. Ada baiknya himbauan ini benar-benar kita taati berikut tindakan pencegahan lainnya.
Pada daerah-daerah yang menjadi episentrum Corona, saya berpikir kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah tepat dan ini mengisi ruang ketidakpastian yang kita hadapi selama ini. Tinggal sekarang kita disiplin mematuhi protokol-protokol pencegahan Corona di semua daerah di Indonesia tanpa terkecuali. Dengan demikian aktivitas di daerah tetap jalan, bisnis tetap tumbuh. Mampukah kita mewujudkan kedisplinan ini?
Negara seperti Korea tidak menerapkan lockdown, namun kedisplinan warganya mampu menekan penggandaan wabah Corona. Demikian juga Jepang yang menuntut kesadaran warganya tanpa lockdown. Warga Jepang yang sedari lahir sudah disiplin tidak sulit untuk diminta pengertiannya. Perlahan-lahan mereka memitigasi penularan virus Corona.
Asupan makanan bergizi serta suplemen vitamin baik obat maupun herbal guna menjaga imunitas tubuh sangat dibutuhkan kala beraktivitas di tengah pandemi Corona. Selain lewat rezeki yang kita peroleh, pemerintah (daerah) telah menyiagakan kebutuhan pokok. Selalu memakai masker kain serta sesering mungkin mencuci tangan dengan sabun kala beraktivitas. Olah raga teratur dapat memproduksi antibodi yang berguna meningkatkan imun tubuh.
Studi mengatakan bahwa imunitas tubuh yang baik dapat melawan Corona dan sejatinya ini menjadi obat Corona itu sendiri. Kalau setiap tubuh memiliki imun yang bagus, penyakit yang ditimbulkan virus Corona akan tereleminasi dengan sendirinya.
Hal penting lainnya yang perlu dibangun adalah sugesti, tetap berpikir positif di tengah kecemasan. Sugesti bukan berarti meremehkan, ini berbeda. Sugesti yang baik berpengaruh terhadap kejiwaan serta membangun optimisme di tengah ketidakpastian. Bukahkah jiwa yang sehat mengindikasikan tubuh yang sehat pula.
Kenapa Einstein mengatakan “Tuhan tidak bermain dadu” untuk memupus argumen ketidakpastian yang mengandung probabilitas?. Ini karena Einstein ingin menatap masa depan yang lebih baik dengan dengan sikap optimis.
Einstein yang memimpin Program Nuklir Amerika Serikat kala Perang Dunia II melesat jauh dibanding Program Nuklir Jerman yang dimotori Heisenberg. Rumus di balik bom atomnya adalah E=mc kuadrat yang dikembangkan dari hukum Newton F=ma, dasar Fisika Klasik yang bermakna sama baik gerak dalam skala makroskopik maupun mikroskopik sementara Heisenberg masih berkutat dengan peluang-peluang kuantum yang baru ditemukannya. Ini artinya, kita butuh kepastian. Protokol yang telah lazim berlaku kita terapkan. Mencoba-coba berarti gagal.
Manusia adalah makhluk sosial nan dinamis hanya kedisplinan tinggi yang membatasi ruang gerak kita. Tetap jaga jarak dan imunitas tubuh, ikuti anjuran pemerintah, inilah bentuk intervensi individu di tengah paradoks Corona, mampukah kita?.
***
*)Oleh: Yopi Ilhamsyah, Dosen Fisika Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Rizal Dani |