
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ada yang berbeda dengan suasana menjelang Ramadan tahun ini. Ya, Pandemi Covid 19 memberikan aura berbeda; nuansa penuh ketakutan bagi sebagian orang, berkebalikan dengan nuansa yang semestinya penuh dengan kebahagiaan menyambut bulan suci Ramadan. Jika ada yang paling menyedihkan dari Ramadan tahun ini, mungkin salah satunya adalah sambutan kita terhadapnya yang kurang semeriah tahun-tahun sebelumnya.
Tentu tidak elok menyalahkan keadaan. Toh, Allah juga yang menakdirkan. Yang paling tepat saat ini kita lakukan adalah meneguhkan sikap sabar menerima semuanya sebagai satu garis kehidupan. Tentu dengan keyakinan dan harapan, Allah segera menghilangkan wabah ini.
Advertisement
Untuk alasan ini juga, tidak bijak juga mereduksi kehidupan saat ini sebatas hanya soal Corona. Kita wajib tetap waspada, sekaligus mempersiapkan apa yang diperlukan secara medis untuk menghadapi virus ini; penguatan imunitas tubuh, kebersihan diri serta penjarakan fisik (physical distancing) dan seterusnya. Akan tetapi, kita tidak boleh abai, ada bulan yang selama setahun lamanya kita tunggu dengan penuh kerinduan, dan kini saat sebentar lagi tiba, kita campakkan tanpa sambutan yang semestinya.
Menjelang Ramadan tiba, hadits “Barang siapa yang bahagia dengan datangnya bulan Ramadan, maka Allah haramkan api neraka menyentuh jasadnya” seolah memiliki daya magisnya sendiri. Terlepas dari sisi kritik silsilah (naqd al-sanad) hadits tersebut yang dianggap bermasalah oleh sebagian pihak, tetap saja tidak mengurangi spirit kebahagiaan sebagian besar muslim menyambut Ramadan menjelang tiba.
Kini, rasa bahagia ini semoga tersisa di tengah ketakutan akan wabah Covid yang secara matematis grafiknya senantiasa eksponensial setiap hari. Sebenarnya, kebahagiaan menyambut Ramadan semestinya semakin menebal berkali lipat di tengah situasi saat ini. Karena bahagia, seperti pendapat para pakar psiko neuro imunologi (psychoneuroimmunology), adalah obat mujarab untuk menangkal penyakit.
Penelitian Cohen dkk. (2003) berjudul Emotional style and susceptibility to the common cold sebagaimana diterbitkan dalam jurnal Psychosomatic Medicine, meneliti bagaimana pikiran dan emosi positif dapat meningkatkan sistem imun yang resisten terhadap bakteri atau virus perusak dalam tubuh. Artinya, manusia sebetulnya dikaruniai sistem penolak penyakit dalam bentuk sistem imun yang akan responsif terhadap segala bentuk penyakit manakala mendapatkan pasokan emosi positif.
Mungkin sebagian orang menyebut hal ini sebagai sugesti; yakinlah bahwa itu baik, maka itu akan benar-benar baik. Sebaliknya, jika kamu menyakininya buruk, maka itupun benar-benar buruk. Dalam bahasa Islam, sugesti ini sebetulnya adalah dhon, lebih tepatnya husn al-dhon (pikiran positif).
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman: “Saya tergantung apa yang diyakini hamba-Ku terhadap-Ku… (ana inda dhonni abdi bi)”.
Ramadan di tengah wabah saat ini adalah momentum tepat untuk menyisakan kebahagiaan - selain karena nilai eskatologisnya, juga- karena fungsionalitasnya memperkuat daya tahan tubuh melawan penyakit. Tentu ini berat ketika lingkungan sosial, daring maupun luring, menyuplai banyak ‘informasi’ yang sebagian diantaranya cukup menakutkan bagi kita.
Bahagia dan Optimis
Pada Perang Dunia II, Jerman yang baru saja menaklukkan Polandia dalam perang kilat (blitzkrieg), melancarkan serangan berikutnya kepada Belanda. Yang luar biasa, negeri Kincir Angin itu berhasil ditaklukkan tidak lebih dari seminggu. Kemenangan Jerman yang begitu cepat ternyata bukan semata karena strategi perang maupun alutsista yang digunakannya.
Konon, sebelum perang benar-benar meletus, Belanda sudah dibuat panik oleh aneka informasi- lebih tepatnya dongeng- yang menceritakan ‘kesaktian’ pasukan Hitler. Menyaru sebagai kawan, meracuni air minuman, hingga permen dan rokok yang dicampuri racun adalah sekian informasi yang menyebar sehingga menciptakan kepanikan dalam masyarakat Belanda.
Kepanikan ini terbukti ampuh membuat Belanda takluk sekejap, bahkan sebelum benar-benar berperang dengan Jerman. Kata Ojong (2003), “Belanda kalah oleh Jendral Kabar Angin bikinan rakyat yang diserang itu sendiri”.
Kini, saat kita berperang melawan virus, jangan sampai kepanikan ini yang mengalahkan kita lebih dahulu. Caranya adalah dengan memperkuat optimisme bahwa kita sanggup melalui ujian ini. Untuk menebalkan optimisme, salah satu caranya adalah dengan berbahagia, setidaknya bahagia karena Ramadan tiba.
Dalam perang, kita perlu memperkuat imun kita. Hanya dengan cara ini, kita betul-betul siap maju ke palagan melawan Corona. Tanpa imun kuat, maka kita seperti halnya memasuki medan laga tanpa senjata.
Optimis bahwa kita sanggup melalui semua ini penting diikrarkan. Optimisme ini tentu tidak akan lahir saat lingkungan memberikan input pengetahuan yang justru sarat nuansa penuh ketakutan. Subjektivitas seseorang, termasuk bagaimana dia menyikapi situasi dan kejadian di sekitarnya, sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang dialami (lived experience) yang terbentuk melalui proses penyerapan pengetahuan, termasuk informasi, yang berlangsung terus setiap hari.
Oleh karena itu, Ramadan sejatinya dapat menjadi alert untuk memulai menebarkan informasi yang dapat menumbuhkan kebahagiaan sekaligus optimisme di tengah situasi pelik saat ini. Pembatasan fisik (physical distancing) yang diperlakukan pemerintah tentu berpengaruh menciptakan sedikit kekalutan terutama bagi kita yang sebelumnya belum pernah mengalami situasi semacam ini.
Kita tidak perlu meratapinya, mengikuti prosedur tersebut jauh lebih bijak rasanya. Bagaimanapun juga, virus ini benar-benar nyata dengan pola penyebaran yang begitu cepat sehingga kita perlu mengikuti arahan pemerintah guna memutus mata rantai penyebarannya.
Hanya saja, karena ruang siber menjadi ruang sosial baru, akan sangat baik jika ruang ini juga tidak semakin membuat kalut suasana hati masyarakat. Media sosial harus diisi dengan pesan-pesan yang membuat kita bahagia dan optimis, tanpa menegasikan perlunya berbagi informasi dan himbauan yang berkenaan dengan pencegahan Covid 19.
Selain doa, kita wajib mengikuti himbauan pemerintah sebagai salah satu ikhtiar fisik. Sementara secara psikis, menebarkan kebahagiaan dan optimisme dapat menjadi salah satu ikhtiar membangun mental positif.
Ramadan adalah saat tepat untuk mulai menebarkan pesan-pesan yang menumbuhkan kebahagiaan dan optimisme. Bahagia bukan semata karena besarnya pahala berbahagia menyambut Ramadan, tetapi juga karena secara fungsional kita betul-betul membutuhkan kebahagiaan itu guna menumbuhkan daya tahan tubuh di tengah perjuangan menghadapi wabah panyakit. Marhaban ya Ramadan (*)
***
*)Penuis Adalah Dodik Harnadi
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |