
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Puluhan karya peneliti, cendekiawan, sejarawan dan pemerhati lainnya telah banyak mengungkap fakta di balik peristiwa sejarah tokoh para pejuang kemerdekaan dari seluruh Nusantara. Para pahlawan yang telah gugur mendahului kita, berjuang melawan penjajahan selama tiga abad lamanya.
Sekian tahun lamanya, para wanita pejuang kemerdekaan itu rela mendarmabaktikan jiwa dan raga, dan menitiskan tumpah darah membela kedaulatan negara kita.
Advertisement
Pasca kemerdekaan, Pemerintah telah menobatkan sedikitnya 15 Pahlawan Nasional dari perjuangan para wanita dari seluruh penjuru nusantara, baik yang lahir era tahun 1600 an sampai tahun 1900 an.
Seperti perjuangan Laksamana Malahayati kelahiran Aceh, generasi awal masa perjuangan memimpin sekitar dua ribu orang pasukan pada tahun 11 September 1599 melawan Belanda.
Sebelum proklamasi kemerdekaan lahirlah dua wanita Pahlawan pada tahun 1923, yaitu ibu Fatmawati (Fatimah) yang meninggal tahun 1980 dan ibu Siti Hartinah meninggal tahun 1996. Keduanya memiliki peran cukup penting dalam perjuangan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
Nama mereka harum semerbak bunga mawar merah, yang menyejukkan setiap mata memandang. nama mereka ibarat melodi yang terus menggema di telinga. Titisan perjuangan mereka ibarat suara suara ‘burung Garuda’ yang selalu siap mencengkeram siapa saja yang ingin menyakitinya.
Mereka adalah wanita teladan, tangguh, kuat pendirian, dan tidak pernah mengenal ‘putus asa’. Pengorbanan jasmani dan rohani yang tulus dan tidak sia-sia.
Dalam buku karya Julinar Said berjudul ‘Enksiklopedia Pahlawan Nasional’ dikisahkan tentang para Pahlawan wanita yang gugur dalam perjuangan melawan penjajah. Kisah-kisah perjuangan para wanita Pahlawan itu adalah nyata adanya.
Nyai Ageng Serang yang lahir tahun 1752, pada usia cukup matang (lansia) 70 an tahun, berperang melawan penjajah hingga wafatnya tahun 1828, lalu dimakamkan di Yogyakarta. Martha Khristina Tiahahu yang lahir di Maluku tahun 1800 ini pada usia 17 tahun mengikuti ayahnya berjuang melawan Belanda hingga titik darah penghabisan, Nyonya Martha wafat pada 2 Januari 1818.
Cut Nyak Meutia lahir di Perlak Aceh tahun 1870, memimpin perlawanan terhadap belanda bersama sang suami Pang Pangru di Pata Ciciem pedalaman Aceh 26 September 1910. Setelah itu, Cut Meutia meneruskan perjuangan dengan memimpin pasukan berjumlah 45 orang, hingga titik darah penghabisan hingga meninggal pada tahun 1910.
Keteladanan Raden Ajeng Kartini yang lahir pada 21 April 1879 dan meninggal 17 September 1904 dalam usia 25 tahun, hidup pada masa dimana stabilitas ekonomi, politik, dan pendidikan penuh dengan harapan dan impian.
Masa kecil, masa remaja dan dewasa awal diwarnai dengan tekanan yang tidak menentu, penuh kenangan pahit dan manis yang di alami. Namun, dengan pemikiran berani ‘Merah’ dan keteguhan hati yang suci ‘Putih’ menjalani kehidupan dengan penuh spirit dan spiritual.
Spirit dan spiritual R A Kartini beserta para Wanita Pahlawan lintas generasi itu adalah ‘peluru’ bagi para wanita era milenial saat ini agar bisa membidik ke arah masa depan Bangsa yang lebih baik.
Spirit dan spiritual mereka adalah ‘cermin’ masa lalu sekaligus masa depan bagi seluruh wanita yang terlahir tanah air kita nan sakti ini. Karena di tanah Nusantara inilah spirit dan tetesan darah para wanita Pahlawan itu dititiskan kepada setiap generasi ke generasi.
Titisan para wanita Pahlawan itu, saat ini masih terus berjuang mengenali jati dirinya, mengenali para pahlawannya, mengeli masa depannya, karena mereka sedang hidup di tengah era disrupsi media, disrupsi sosial.
Atau titisan wanita Pahlawan itu kini masih berusia 25 tahun atau lebih, namun memiliki ‘semangat 45’ melanjutkan perjuangan pemikiran pendidikan Raden Ajeng Kartini sebagai wanita Pembebasan, wanita pejuang emansipasi’ di masa mendatang.
Titisan wanita Pahlawan itu bisa saja tahun ini sedang merayakan selesainya pendidikan Sarjana. Atau titisan itu kini masih menjalani pendidikan jenjang Magister dan atau jenjang Doktor, bahkan menunggu penyebatan sebagai Guru Besar. Yang pasti, wanita Pahlawan itu ada dalam setiap sanubari generasi masa kini.
Sekali lagi, para wanita Pahlawan itu adalah ‘cermin’ masa lalu dan masa depan para wanita kita saat ini. Terutama para wanita yang masih belum tahu ‘jati diri’ dalam diri naluri kewanitaannya. Bahwa mereka adalah ‘Ibu pertiwi’; tanah tumpah darah, dimana kita terlahir dan bersemayam dengan ketentraman.
Wanita lintas generasi yang pemikiran dan keberperanannya bisa diteladani para wanita manapun yang mau menekuni sejarah kehidupannya. Dari semua aspek wanita Pahlawan itu sejatinya mampu menggetarkan hati setiap wanita yang sedang ‘krisis identitas’, kenyang oleh menu media sosial yang disruptif.
Identitas para wanita Pahlawan itu adalah obat bagi mereka yang sedang mengalami krisis identitas. Identitas lokal ‘jangan pernah mau’ tergantikan oleh identitas lain, di tengah merebaknya identitas interlokal dan transnasional.
***
*)Oleh: Farhan, dosen Universitas Nurul Jadid Probolinggo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |