
TIMESINDONESIA, MALANG – PADA tanggal 21 April kemarin, diperingati sebagai hari kartini. Peringatan hari Kartini seakan sudah menjadi rutinitas wajib di negeri bernama Indonesia. Peringatan terhadap hari kartini tidak hanya dilakukan oleh “emak-emak” melainkan bapak-bapak juga ikut merayakannya. Berbagai ucapan selamat hari Kartini disertasi berbagai ucapan dengan kata-kata indah disematkan dan dikirim untuk seorang perempuan termasuk ucapan dari seorang laki-laki kepada perempuan yang dikaguminya.
Peringatan hari Kartini yang berlaku setiap tahun di Indenesia tersebut merupakan bentuk penghormatan atas spirit dan motivasi dari ibu Kartini dan merupakan bentuk betapa mulianya posisi perempuan di Indonesia. Diakui atau tidak, di negeri Indonesia, perempuan mendapatkan posisi yang sangat istimewa. Buktinya, di Indonesia sampai dibentuk Kementerian khusus perempuan yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Di Indonesia, perempuan pernah menjadi Presiden dan wakil Presiden. Di Indonesia, perempuan menjabat ketua DPR. Hal ini merupakan fakta yang tidak pernah terjadi di negeri adidaya seperti Amerika Serikat. Di Amerika, belum pernah ada perempuan menjadi Presiden.
Advertisement
Tidak hanya itu, perlakuan istimewa terhadap kaum hawa juga melalui hukum. Dalam Hukum Pemilu misalnya, perempuan mendapatkan affirmative action (diskriminasi positif), dimana dalam aturan tentang pencalonan anggota legislative, diatur bahwa diantara tiga daftar nama dalam urutan daftar calon legislatif partai politik pada satu daerah pemilihan (Dapil) harus terdiri dari seorang perempuan. Apabila tidak mencamtumkan nama perempuan diantara nomer urut tersebut maka partai politik bersangkutan akan didiskualifikasi dari suatu Dapil.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Namun, berbagai keistimewaan terhadap perempuan tersebut tidak mampu dimanfaatkan dengan baik. Buktinya, dalam Pemilu tahun 2019 kemarin, hanya 118 kursi (21%) dari 575 kursi DPR RI yang berhasil diraih oleh perempuan.
Oleh karenanya, perempuan hari ini haruslah menjadi Kartini milenial. Yakni, perempuan muda yang berjiwa ibu Kartini. Jiwa ibu Kartini di masa kini adalah jiwa dimana perempuan harus menjadi penerus perjuangan ibu Kartini. Beberapa spirit yang perlu diteladani dan perlu dipertahankan oleh kaum hawa adalah spirit akan penddidikan. Kesadaran akan pendidikan ini penting bagi kaum hawa karena dengan pendidikan yang tinggi maka posisi kaum hawa tidak akan dinilai lebih rendah dari kaum adam bahkan bisa melampaui kaum adam.
Perempuan harus benar-benar lepas dari stigma bahwa pendidikan mereka tidak dapat setara dengan kaum laki-laki. Perempuan atau Kartini hari ini harus mampu menyelesainkan pendidikan sampai jenjang tertinggi. Yakni sampai level Doktor. Angin segar bahwa Kartini hari ini harus berpendidikan tinggi telah berhasil ditorehkan oleh banyak perempuan di Indonesia seperti Nastiti Intan Permatasari. Perempuan asal Madiun ini berhasil memperoleh gelar tertinggi dalam dunia akademik dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlannga Surabaya. Ada pula Doktor Dewi Cahyandari dan Rizky Yuniansari yang memperoleh gelar doktor di dibawah usia 30 tahun dari Fakultas Hukum paling favorit se Indonesia.
Kedua, Kartini hari ini harus lebih mengedepankan life skill ketimbang life style. Diakui atau tidak, perempuan hari ini banyak yang lebih tertarik untuk mempercantik tampilan fisik namun kurang tertarik untuk menguatkan skill. Buktinya, perempuan hari ini, khususnya mahasiswi lebih sering berada di mall, café, restaurant dan tempat-tempat sejenis yang nikmat untuk “bergosip ria”. Padahal, Kartini sejati adalah perempuan yang menyadari bahwa life skill merupakan suatu keharusan untuk menjamin bahwa mereka memiliki masa depan yang lebih cerah dan mampu bertarung dalam menghadapi kompetisi kehidupan yang semakin “ganas”. Life skill harus diutamakan ketimbang life style. Bukankah dipuja karena cantik itu hanya membahagiakan sedangkan dipuji karena kepintaran itu jauh lebih mengangumkan.
Ketiga, mandiri. Menurut Dina Supeno, Kartini milineal adalah Kartini yang mandiri. Mandiri dalam konteks ini ialah bagaimana seorang perempuan tidak menggantungkan dirinya kepada orang lain termasuk kepada laki-laki. Selama ini, perempuan seakan selalu berada dalam belenggu atau dominasi laki-laki dalam berbagai urusan. Dengan kemandiran dalam diri perempuan ini maka dapat membuktikan bahwa pada hakikatnya perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Lewat kemandirian dalam dirinya maka perempuan dapat menunjukkan pada dunia bahwa mereka dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara serta pada peradaban dunia.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Keempat, Kartini milenial adalah perempuan yang mampu memadukan rasio dan rasa. Disadari atau tidak, perempuan seringkali mengutamakan rasa dalam berbagai urusan ketimbanng rasio sehingga seringkali perempuan terlihat lebih lemah dibanding laki-laki. Tatkala Rasa yang bermain dalam diri perempuan maka seringkali menyebabkan perempuan menjadi korban permainan kata dan sikap laki-laki. Dalam urusan asmara misalnya, perempuan yang selalu mengedepankan rasa dan mengesampingkan rasio acapkali percaya pada “bualan busuk” seorang laki-laki crocodile.
Oleh karenanya, perempuan harus mampu memadukan rasa dan rasio secara seirama sehingga penilaian perempuan terhadap orang lain akan obyektif dan tidak berdasarkan emosi. Apabila perempuan mampu mengelaborasi rasa dan rasio secara proporsional maka apa yang menjadi perkataan dan perbuatan kaum hawa akan menyejukkan suasana dan membuat orang yang diperintah bergerak tanpa protes. Seorang perempuan yang mampu memadukan rasa dan rasio dalam dirinya maka menyebabkan segala kebijakan dan perintah yang datang dari dirinya menjadi perintah yang datang bukan atas nama otoritas semata melainkan juga atas dasar hati.
Namun, Kartini milenial tetaplah perempuan yang tidak sepenuhnya melepaskan dirinya dari “belenggu” kodratnya sebagai perempuan. Kartini sebagai seorang perempuan harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang perempuan. Dalam urusan rumah tangga misalnya, seorang istri harus tetap menjadi makmum suaminya dalam sholat meskipun secara akademik pendidikan dirinya (istri) lebih tinggi daripada suaminya. Seorang istri harus tetap menyambut suaminya yang pulang kerja dengan senyuman manis walaupun pendapatan dirinya jauh lebh tinggi dari sang suami. Seorang istri harus mampu mengikat rambut suaminya yang panjang seperti Aisyah yang mengikat rambut Rasulullah.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H, Dosen Pascasarjana Unisma Dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |