Jangan Berhenti Mencintaiku

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam kondisi apapun, termasuk ketika sedang diuji oleh petaka bernama wabah Covid-19, setiap manusia, apapun agama, latarbelakng ekonomi, politik, budaya, dan sosialnya punya kewajiban untuk tidak berhenti mencintai sesamanya.
Panggilan cinta untuk dilabuhkan demi kepentingan sesama haruslah dikedepankan. Jika hal ini bisa dilakukan dan dikembnagkan setiap subyek sosial, bangsa, dan dunia, maka kehidupan tidak akan pernah mati. Dunia menjadi terasa sepi dan mati karena rasa cinta yang tidak “dihidupkan” dalam faktanya.
Advertisement
Senyapnya dan menakutkannya atmosfir di dunia, baik dunia maya maupun dunia nyata disebabkan cinta yang tidak ditunjukkan sebenar-benarnya dan sebesar-besarnya. Akibat lanjutannya, yang terlihat di depan mata hanya fatamorgana dan neraka yang sepertinya ada dimana-mana.
Tujuh abad lalu, Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar asal Balakh, dalam karya monumentalnya Matsnawi mengungkapkan “tanpa cinta, dunia akan membeku”. Cinta ibarat lautan luas nan dalam. Cintalah yang semestinya menjadi pilar utama bagi bangunan hubungan antar manusia, antar bangsa, antar kebudayaan, dan antar sistem hidup yang berbeda.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Kalimat bersayap yang dilontarkan penyair itu menekankan pada kata “cinta”. Cintalah yang menentukan makna hidup manusia diantara pergaulan dengan sesama, dalam lingkaran budaya, lintas bangsa, relasi etnis, bangunan politik dan agama, atau dalam kondisi apapun, apalagi ketika sesama sedang menghadapi akumulasi kesulitan, cintalah yang bisa menjembataninya.
Cintalah yang menjadikan kita bisa menikmati pluralitas dengan jiwa kearifan, kesantunan, dan keadaban. Kita akhirnya bisa menjadi “mesin” yang aktif dalam membaca dan menggerakkan diri untuk dan demi membedah ragam kesulitan (kemadaratan) yang menimpa umat (sesame).
Prinsip “persaudaraan dalam pluralitas dan pluralitas dalam persaudaraam” senyatanya bisa menjadi modal moral yang mampu membingkai bangunan kehidupan kemasyarakatan secara inklusif dan humanistik bilamana persaudaraan itu disejarahkan dengan dan melalui dorongan cinta.
Covid-19 tidak mengenal subyek sosial berlatarbelakang apapun. Ia tetap menyerang dan mencari korban. Dengan kondisi demikian, tidak bisa tidak, hanya subyek yang dalam dirinya menghidupkan dan menyalakan cintalah yang bisa menjadi kekuatan penolong, pembebas, atau “saudara” yang kuat mendampingi dalam pembumian nilai-nilai kemanusiaan.
Melalui cahaya cinta, seseorang yang jadi “penasbihnya”, akan mampu menyelami ragam kesulitan atau derita orang lain, dan harmoni kehidupan sesama, pasalnya dalam dirinya muncul dan membara kuat panggilan pengabdian universalitas kalau dirinya bukan hanya milik dirinya sendiri, tetapi juga menjadi “milik” orang lain.
Memahami filosofi itu, benar sekali, bahwatanpa cinta, dunia akan benar-benar membeku, pasalnya kalau dalam diri kita tidak bersemai rasa cinta, berarti akan ada kebekuan sistem, stagnasi budaya, represi politik, arogansi kelompok, dan kematian relasi antar manusia yang berbasis saling memanusiakan (memartabatkan). Kalau sudah demikian, logis jika seserang atau sejumlah orang mengalami kehampaan psikologis dan teralinasikan ke kantong-kantong ketidakberdayaan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Sudah banyak kita temukan korban penderitaan fisik, psikologis dan lainnya yang berelasi dengan berbagai bentuk petaka sosial, tragedi bangsa, praktik kekejaman atau kebiadaban baik pelakunya individual maupun kelompok yang memanfaatkan menyebarnya virus (apapun, termasuk Covid-19), yang mencerminkan kondisi riil kalau “dunia sedang membeku” yang kesemuan ini terjadi akibat kematian cinta di dalam dirinya.
Kritik kalau diantara kita ini gampang jadi “produsen” yang menghadirkan petaka, dan bukan cina dimana-mana juga pernah dilontarkan J.E. Sahetapy (2002) mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur, ramah, tamah, beradab, santun, religius, tolong menolong, dan gotong royong ini bisa berubah menjadi bangsa atau masyarakat yang dan biadab.
Covid-19 dapat disebut sebagai sampel dari instrumen kematian cinta universalitas dalam diri subyek sosial yang memanfaatkannya untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Petaka sosial atau kebiadaban dapat berelasi dengan Covid-19 manakala pandemi ini diposisikannya sebagai ‘proyek” serius dan misteriusnya.
Kalau subyek sosial betul-betul menghormati hak ataskesehatan dan kehidupan, serta keselamatan, tentulah mereka itu sangat mencintai obyeknya, tidak perlu memproduk ketakutan publik, tidak membahaskaan “kebinatangan” (keserakahan) sebagai opsi logis, atau tidak membiarkan tangannya dikotori dengan menjarah (hak) kepentingan manusia lainnya
Doktrin berbasis saling mengasihi dan memanusiakan merupakan doktrin ajaran Islam bercorak inklusif humanistik, yang memperlakukan orang lain dalam ranah sosial sama-sama sebagai subyek, atau memposisikan setiap elemen bangsa sebagai konstruksi kekuatan keadaban dan hidup berdampingan dalam keragaman dalam kondisi apapun, apalagi dalam kondisi bangsa sedang berelasi dengan banyak keprihatinan akibat Covid-19.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakutas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan Agama.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |