Kopi TIMES

Kartini di Mata Perempuan Agnostik, Kontemplasi Hak Berfikir Soal Agama dan Kepercayaan

Rabu, 22 April 2020 - 22:40 | 273.05k
Widya Amalia, Jurnalis TIMES Indonesia Malang Raya
Widya Amalia, Jurnalis TIMES Indonesia Malang Raya
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANGSAYA menjadi seorang agnostik semenjak tahun 2016 silam. Sebagai seorang perempuan agnostik, dan memilih untuk tetap di jalan tersebut, saya tertarik untuk turut andil di Hari Kartini tahun ini. Kebanyakan, perempuan menyerukan hak gender berdasarkan pemikiran Kartini. Kurang lebih, isu yang diangkat selalu seputar poligami, pendidikan, dan yang paling ngetrend adalah poligami. Saya pikir, momen hari Kartini kali ini, saya anggap sudah cukup mengatasnamakan gender masing - masing. Karena sejatinya makna perempuan dan laki - laki melebihi onderdil, sifat, dan hak pula kewajiban.

Urusan "Habis gelap terbitlah terang" sudah melampaui konflik patriarki, kesenjangan wawasan, dan jajaran fenomena lain. Saya rasa, Kartini mencoba menyampaikan, bahwa ini lebih dari urusan posisi perempuan. Dalam surat - suratnya, saya memahami benar, dirinya menuntut kaumnya untuk berfikir dan berproses. Belajar dan berfikir. Kuncinya, berpikir. Lebih dari urusan pilihan apakah kaum perempuan mau asyik di dapur atau berkarir suka ria. Ini soal berpikir, pertimbangan, dan memahami posisi. Ini soal memahami jati diri. Bukan gender. Termasuk urusan memilih agama, kepercayaan, dan tidak memilih keduanya.

Advertisement

Hemat saya, perempuan memiliki sense emosional yang baik untuk memahami kepercayaan dan ideologi religi tertentu. Religi dan kepercayaan mengandung berbagai unsur emosional dan logika. Seperti yang diungkapkan Karen Amstrong, bahwa kepercayaan memerlukan proses. Peralihannya dari seorang biarawati menjadi “monoteis freelance” melahirkan babak pertaruhan. Hal ini juga sama saya rasakan dalam proses memutuskan untuk mencuci kolom berkas kepercayaan saya, dan mulai menatanya dengan berbagai indeks informasi baru soal kepercayaan. Bagaimana saya bergumul mati - matian dengan mitos dan dongeng liturgi, sains dan Ketuhanan. Saya mengerti benar gambaran yang disampaikan Karen Amstrong dalam bukunya “Menerobos Cahaya Kegelapan”. Sebuah rasa membenci diri sendiri akibat perasaan keimanan yang sebatas kebiasaan. Dan kebiasaan itu menimbulkan pertanyaan, kebingungan, dan pintu yang di cap “kesesatan:

Saya pikir, Kartini membuka lebar jalan berfikir dan pacuan gairah ingin tahu melalui gerilyanya. Meski dirinya terbentur adat, dan harus dipingit serta menghadapi pernikahan dini, Kartini tetap “meliarkan” gagasannya, dan semangatnya. Bisanya dia tidak menjadi “Kartini” di masa kini apabila penyerahan dia sambut erat dan mengikuti arus zaman. Saya pun, terbentur pada adat. Menurut saya, tetap diam dan tidak mengkritisi “agama keturunan” adalah adat yang memang bisa jadi pilihan tiap orang, namun bisa jadi pilihan pula untuk tetap menerjangnya.

Saya pun belajar bagaimana Kartini mengolah emosinya dengan baik ketika mengetahui Ibunya harus dipoligami karena kepentingan politik. Saya menghadapi tekanan emosi yang buruk usai mencoba memberi tahu pilihan saya sebagai seorang agnostik. Terlebih sebagai perempuan yang diidam - idamkan melahirkan anak  yang lucu dan pendidikan yang sholehah (keluarga saya muslim). Dalam kepala mereka, ketika saya menjadi seorang agnostik, saya telah tersesat dan tidak berperikemanusiaan. Konstruksi adat dalam kepala di keluarga saya inilah yang membentuk berbagai tekanan secara emosional. Terlebih, stigma lainnya. Saya pikir, Kartini tidak mendapatkan apresiasi sebesar ini ketika dirinya masih mendirikan sekolah kecil. Berbagai stigma pun harus dirinya terima ketika memperjuangkan hak perempuan. Dan hemat saya, sekali lagi, hak tersebut salah satunya adalah memilih menjadi seorang agnostik. memilih untuk tidak beragama.

Saya rasa akan sangat bahaya apabila pemahaman soal hak perempuan dipahami setengah - setengah dan aplikasinya tidak to the point, apalagi berlebihan. Ini sudah lebih dari soal persepsi dan perspektif. Ini soal membangun, bukan mendominasi. Gitu, lho. Terima kasih, Kartini. Atas perjuanganmu untuk hak berfikir perempuan.

 

***

* Penulis adalah Widya Amalia, Jurnalis TIMES Indonesia Malang Raya

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Satria Bagus

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES