Agama, Rasisme & Covid-19 Melalui Intuisi Nietzsche

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Siapa yang tidak mengenal Covid-19 yang merupakan salah satu dari keluarga virus corona? Mulai dari anak-anak hingga orang tua mengenal bagaimana ganasnya organisme yang hanya berdiameter 100 hingga 120 nanometer ini dapat mencabut begitu banyak nyawa. Tidak hanya itu, virus ini dapat berimbas pada sektor ekonomi, politik, pendidikan, dan bahkan keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Meskipun demikian, banyak juga di antara mereka yang acuh dengan berkumpul bersama kawanannya tanpa sedikitpun merasa khawatir tersebarnya virus ini. Ada juga yang berani menampar seorang perawat atau mengajak berkelahi petugas keamanan lantaran ditegur tidak menggunakan masker. Entah fenomena ini mungkin terjadi karena menganggap pemahaman orang lain yang berebihan atau karena tingkat kepercayaan dirinya terhadap virus berbahaya ini yang malampaui batas.
Advertisement
Persoalan tersebut tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Ijtima Ulama di Desa Pakatto, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan yang dihadiri tak kurang dari 8000 orang dari 48 Negara. Kendati kegiatan ini pada akhirnya berhasil dibatalkan, Ijtima Ulama tersebut telah menjadi klaster penyebaran Covid-19 yang cukup luas ke beberapa titik seperti Jakarta, Jawa Tengah, NTB, Kalimantan Tengah, Timur dan Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Selatan, Maluku Utara hingga Papua.
Belum lagi jika kita berbicara soal praktek ibadah dalam lingkup yang kecil. Misalnya, tata cara beribadah—khususnya dalam hal ini agama Muslim di Masjid. Sampai hari ini terlihat jelas jika orang masih memiliki pemahaman yang berbeda-beda di dalam menyikapi distansiasi sosial. Ada yang “menutup” sementara rumah ibadah. Ada yang menetapkan jarak satu hingga dua meter, dan tentu saja terlepas dari pemahaman yang dilakukan secara literalistik, masih ada yang tidak menghiraukan sama sekali distansiasi sosial.
Dalam skopa yang lebih luas, kegiatan ritual keagamaan seperti Ijtima Ulama tersebut bukanlah satu-satunya klaster penyebab penyebaran wabah. Pada 19 Maret 2020, meskipun sempat dihimbau untuk ditunda, pentahbisan Uskup Ruteng di Kabupaten Manggarai, NTT tetap diselenggarakan. Bahkan dalam dunia Internasional, di Korea Selatan, aliran Shincheonji—yang sempat dituntut oleh pemerintah setempat—melarang jemaatnya menggunakan masker saat beribadah bersama.
Masih di Korea Selatan, sebanyak 46 orang jemaat Gereja River of Grace terdampak positif Covid-19 setelah menghadiri penyiraman air garam yang diyakini mampu menangkal virus. Ibadah tahunan “Christian Open Door” di kota Mulhouse, Prancis, memakan sebanyak 2500 orang positif Covid-19.
Pertanyaannya kemudian, apakah agama dalam hal ini memiliki tanggung jawab atas penyebaran Covid-19? Pertanyaan tersebut memang menarik untuk ditelusuri. Namun, jawaban dari pertanyaan tersebut lebih terorientasi pada pragmatisme yang memunculkan berbagai pendapat dan lebih terpusat pada ranah pengambilan kebijakan publik.
Untuk keadaan yang cukup genting seperti sekarang ini—dalam perencanaan jangka pendek—jawaban pragmatisme memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Akan tetapi, tulisan ini akan melontarkan rumusan masalah yang mengambil jarak pandang terhadap persoalan tersebut, sehingga dapat melihat celah reflektif yang ada—dalam perencanaan jangka panjang—untuk mendapatkan akar persoalan filosofis.
Oleh sebab itu, pertanyaan yang saya pikir jauh lebih esensial adalah bukan pertanyaan “apakah” (apakah agama yang salah?), melainkan mengawalinya dengan bertanya “mengapa”. Mengapa orang yang ber-agama tersebut melakukan hal tersebut kendati mereka secara sadar mengetahui konsekuensi yang akan terjadi tidak hanya akan menimpa dirinya tetapi juga orang lain? Mengapa “agama” dijadikan satu-satunya benteng penangkal Covid-19 kendati selama hidup mereka dari konsumsi obat-obatan hingga anjuran dokter selama ini, misalnya, selalu dijalankan?
1. Agama & Kebutuhan Untuk Percaya
Tak dapat dipungkiri bahwa Nietzsche adalah seorang pemikir asal Jerman yang cukup kontroversial di dalam dunia religius. Namun, intuisi Nietzsche terhadap orang yang beragama sampai hari ini masih relevan untuk kita jadikan pisau analisis. Di dalam kacamata Nietzsche, persoalan agama dan distansiasi sosial ( social distancing ) tidak serta-merta dapat bertolak dari “isi” kepercayaan agama seseorang.
Ijtima Ulama, Pentahbisan Uskup, maupun “Christian Open Door” bukanlah entitas aktivitasnya yang dipermasalahkan. Dengan kata lain, dogma maupun teologi yang ada di dalam setiap agama keyakinan yang salah satu bentuk manifestasinya adalah kegiatan ritual tersebut tidak dapat disalahkan. Setidaknya filsafat Nietzsche tidak tertarik memasuki wilayah itu.
Lantas, di mana letak persoalannya jika secara faktual sekaligus tak masuk akal agamalah yang dijadikan batu pijakan mereka untuk menentang distansiasi sosial dan bahkan Covid-19 itu sendiri? Genealogi Nietzsche mengajarkan bahwa fanatisme muncul bukan dari kualitas (seberapa paham) ataupun kuantitas (seberapa banyak) pengetahuan tentang agama. Fanatisme itu muncul karena adanya “kebutuhan untuk percaya”.
Manusia, demikian Nietzsche, selama kesadarannya lebih terorientasi pada kesadaran “budak” (lemah dan rapuh) dan bukan kesadaran “tuan” (kuat dan kokoh), selama itu juga dirinya tidak dapat hidup tanpa menyandarkan dirinya (percaya) pada sesuatu. “Sesuatu” di sini bisa menyingkap dalam berbagai bentuk (agama, sains, ideologi, kebudayaan, dst.).
Kata kunci yang dapat dicatat di sini adalah “kebutuhan untuk percaya”. Munculnya “kebutuhan” adalah karena manusia tidak mendapatkan “kepastian” yang membuat dirinya lemah dan rapuh untuk menentukan sikap hidupnya. Dengan kata lain, manusia membutuhkan kepastian demi kepastian—entah yang bersifat transendental seperti agama maupun yang bersifat objektif seperti positivisme sains—untuk menjalani kehidupannya.
Sebab, sekali lagi, manusia itu lemah (bermental budak) yang membutuhkan sesuatu dari luar dirinya untuk besandar. Di tengah mewabahnya Covid-19, ternyata kekehnya untuk menyelenggarakan Ijtima Ulama, Pentahbisan Uskup serta pagelaran ritualitas religius lainnya merupakan salah satu bentuk manifestasi lemahnya manusia di dalam menghadapi pendemi yang mewabah ini.
Kepastian akan obat penyembuh virus ini secara faktual memang belum ditemukan hingga hari ini, sehingga pelariannya adalah sesuatu yang dapat membawa kepastian, yaitu: agama. Dan, ketika kepastian—dalam praktek ritual keagamaan—tersebut diterapkan, maka segala bentuk yang ada di luar ketidakpastian itu (seperti solusi distansiasi sosial, penggunaan masker, dst.) kendati dapat dijelaskan manfaatnya secara rasional akan diabaikan begitu saja.
Akan tetapi, kebutuhan akan sebuah kepastian ini bukanlah satu-satunya akar masalah yang perlu kita telusuri lebih dalam. “Kebutuhan untuk percaya”, seperti yang telah disinggung, adalah merupakan dimensi manusiawi yang menjadi pertanyaan besar di dalam dunia eksistensialisme.
Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh A. Setyo Wibowo bahwa fanatisme agama dalam hal ini adalah seperti seseorang yang menggunakan kacamata kuda yang hanya mampu melihat satu titik (kepastian) di depannya dan menolak apa yang tidak dapat dilihatnya (kepastian-kepastian lainnya yang sesungguhnya lebih nyata). Kacamata kuda itu ibarat dimensi “kebutuhan untuk percaya”. Percaya terhadap hal-hal yang dapat memastikan hidupnya.
Kacamata kuda ini bergantung dari kualitas “kehendak” seseorang. “Kehendak” di sini dalam perspektif Nietzsche bukanlah fakultas yang terpisah dari rasionalitas, melainkan menjadi satu kesatuan yang memiliki multidimensi seperti rasionalitas (pemikiran), hawa nafsu, hasrat, kebertubuhan, afeksi, dst.
Kualitas kehendak yang lemah akan jatuh pada kesadaran “kebutuhan untuk percaya” dan begitu juga sebaliknya. Rasionalitasnya begitu dangkal dan sempit di dalam memahami apa yang ada di luar dirinya—dalam hal ini adalah agama. Afeksinya begitu lemah dan rapuh sehingga dirinya tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan sandaran, bantuan penopang, dan tanpa bantuan pegangan.
Oleh sebab itu, orang yang fanatik menganggap bahwa distansiasi sosial itu sia-sia, karena dirinya tidak dapat berpikir secara jauh dan jernih, intuisinya lemah, dirinya tidak dapat memimpin dirinya sendiri untuk menentukan mana yang secara kontekstual tepat dan tidak tepat. Orang yang fanatik adalah orang yang membutuhkan kepastian, membutuhkan suatu pegangan, suatu sandaran agar dirinya yang “kehendaknya” lemah dan rapuh itu dapat berdiri.
Orang yang fanatik butuh pegangan, butuh sandaran, butuh percaya. Apapun “isi” kepercayaannya—baik itu jenis agamanya, paradigma sains, dan ideologinya—akan dilahapnya selama dia mendapatkan kepastian untuk membantunya menjalankan hidup. Dengan kata lain, jika yang dibutuhkan adalah “percaya” maka benar-salah dan baik-buruk bukanlah menjadi prioritasnya.
Dalam hal ini, orang yang memiliki kelemahan “kehendak” memandang distansiasi sosial bukanlah solusi yang tepat untuk memberantas Covid-19. Distansiasi sosial hanya akan menghentikan penyebaran virus tetapi tidak menangkal apalagi membunuh virus. Orang yang memiliki kelemahan “kehendak” akan membutuhkan suatu kepastian. Dan, “kebutuhan untuk percaya” menjadi satu-satunya jalan yang ditempuh tanpa peduli implikasi logis yang terjadi terhadap orang disekitarnya.
2. Rasisme & Kehendak Kebenaran Absolut
Persoalan pandemi Covid-19 yang cukup mendasar tidak hanya berkutat di dalam ranah agama saja, tetapi juga merembet pada persoalan identitas. Dalam hal ini kita berbicara soal rasisme. Beberapa kasus rasis dari cacian hingga pemukulan akibat Covid-19 terjadi di beberapa wilayah.
Media ABC Australia merilis berita terkait rasisme dengan mengutip penjelasan Dr. Michael Thai, seorang psikolog dari University of Queensland, bahwa pernyataan pemimpin politik soal virus corona baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi munculnya tindakan rasisme. Misalnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump kerap mengucapkan “virus Cina” di depan media.
Pelecehan verbal terkait dengan Covid-19 kerap dapat kita simak di video yang berbedar di media-media sosial. Tidak hanya berupa kekerasan verbal, tetapi juga kekerasan non-verbal seperti menampar, menjambak, dan memukul. Di London, Inggris, seorang mahasiswa asal Singapura juga menjadi korban perundungan ( bully ) yang dikaitkan dengan penyebaran Covid-19.
Rasisme tidak hanya dilakukan kepada etnis Asia—khususnya orang yang (secara fisik nampak) berasal dari Tionghoa—tetapi juga bahkan dilakukan oleh (oknum) masyarakat Tionghoa itu sendiri. Kabarnya, di Tiongkok Selatan, pada masa menghadapi gelombang kedua serangan Covid-19, ada orang yang berasal dari Afrika diusir dari hotel dan dibiarkan tanpa tempat tinggal.
Dalam intuisi Nietzsche terhadap persoalan rasisme Covid-19 ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan persoalan agama pada pembahasan sebelumnya. Ini adalah persoalan “kehendak” yang mampu memanifestasikan apa yang Nietzsche sebut dengan idée fixe atau suatu paradigma/ide yang final ( fixed ) tak dapat diubah maupun diganggu-gugat karena kepastian akan kebenarannya. Dengan kata lain, idée fixe merupakan “kehendak kebenaran absolut”.
Di dalam konteks rasisme yang berada di dalam persoalan pandemi Covid-19, “kehendak kebenaran absolut” berada di tangan ras yang merasa dirinya adalah korban penyebaran dari ras lain yang berbeda. Covid-19 pertama kali muncul di Tiongkok di mana orang-orang Tiongkok dan bahkan keturunan Tiongkok yang berada di luar Tiongkok dengan sendirinya mengalami rasisme.
Begitu juga sebaliknya, di dalam gelombang kedua serangan Covid-19 di Tiongkok, orang asing yang menetap di sana mendapatkan stigma negatif akibat “impor” Covid-19 yang memakan korban ribuan jiwa. Rumusan masalah yang dapat kita angkat adalah mengapa rasisme dan Covid-19 itu bisa saling terhubung satu dengan yang lainnya?
Di dalam filsafat Nietzsche terdapat dua dimensi “kehendak kebenaran absolut”. Dimensi pertama adalah “kehendak tidak mau salah”. Dimensi ini masih memiliki kecenderungan bersifat altruis (peduli dengan yang lain) karena masih melibatkan orang lain agar tidak terjerumus pada sesuatu yang sama-sama tidak diharapkan maupun diinginkan. Dengan demikian, dimensi “kehendak tidak mau salah” masih dapat kita tolerir.
Rasisme berada di dalam dimensi kedua, yaitu “kehendak tidak mau membiarkan diri salah”. Dimensi inilah yang menjadi persoalan absolutisme kebenaran yang bersifat egois. Maksudnya, tidak ada sama sekali moral altruis yang melekat didalamnya. Melainkan yang terdapat di dalamnya hanyalah moralitas ego yang sedemikian kokoh dan kekeh tak dapat dibongkar bahkan oleh pengetahuan baru sekalipun.
Dalam konteks pandemi Covid-19, menggunakan intuisi Nietzsche, rasisme terjadi akibat pengedepanan “kehendak tidak mau membiarkan diri salah”. Orang yang rasis—terhadap ras lain yang dianggap sebagai penyebar Covid-19—menempatkan dirinya sebagai “korban”. Pertama, disposisi “korban” tersebut dianggapnya sebagai kebenaran absolut. Implikasinya, ras lain yang dianggap sebagai pengimpor virus adalah pelaku kriminal. Kedua, sikap generalisasi dan stereotip membantu “kehendak kebenaran absolut” untuk semakin kuat menyerang ras lain yang berada di luar kebenarannya.
Dengan demikian, khususnya dalam konteks pandemi Covid-19, “kehendak kebenaran absolut” diam-diam memiliki kehendak untuk memusuhi identitas yang berbeda. Mengapa memusuhi identitas yang berbeda? Sebab, pengalaman disposisi menjadi korban dan hal-hal lainnya—misalnya seperti pengaruh pernyataan pimpinan politik, dst.—memunculkan kebenaran identitas yang bersifat mutlak terhadap dirinya. Konsekuensinya, di luar kebenaran identitas yang absolut itu perlu minimal diremehkan dan perlu maksimal dimusnahkan agar tidak berjatuhan korban-korban selanjutnya dari kalangan rasnya sendiri.
Pertanyaan mendasar selanjutnya, mengapa memilih untuk memiliki disposisi menjadi korban? Di sini “isi” dari alasan kausalitas—keyakinan ras Tiongkok sebagai asal usul virus ini lahir—bukanlah merupakan akar persoalannya. Seperti yang telah disinggung, dasar persoalannya terletak pada “kehendak” yang lemah dan rapuh, sehingga membutuhan kepastian. “Kepastian” dalam konteks rasisme Covid-19 ini adalah rasnya yang menjadi korban.
Dengan demikian, agar kelemahan dan kerapuhan “kehendaknya” dapat diatasi, maka dirinya membutuhkan suatu pegangan, penopang, sandaran untuk dipegang. Pegangan tersebut dalam hal ini tak lain adalah rasnya yang menjadi korban. Sekali lagi, titik tekan di dalam akar masalah yang hendak dikemukakan di sini bukanlah fakta menjadi korban, melainkan kelemahan dan kerapuhan “kehendak” itu sendiri.
3. Kebebasan Dalam Kehendak
Disinilah kualitas “kehendak” yang dalam kacamata Nietzsche sangat lemah baik mereka yang memprioritaskan untuk berkumpul melaksanakan ritual ibadah (menghiraukan distansiasi sosial) maupun mereka yang rasis terhadap orang lain. “Kehendak” yang dimiliki sangat bermasalah karena tidak dapat menunjukkan afeksi memerintah dan memimpin dirinya sendiri. Kebutuhan untuk percaya ditunjukkan di dalam fenomena Ijtima Ulama, Pentahbisan Uskup, maupun “Christian Open Door”. Kebutuhan akan suatu pegangan juga dengan sendirinya disingkapkan di dalam fenomena rasisme dalam konteks penyebaran Covid-19.
Dalam rangka menekan penyebaran Covid-19, suatu bentuk pertahanan yang dilakukan adalah dengan cara mempertahankan kebenaran identitas yang absolut itu melalui rasisme. Tanpa suatu kepercayaan atau pegangan rasisme, dirinya—dalam hal ini rasnya—akan terombang-ambing dan hanyut termakan oleh besarnya ancaman ombak yang ada pada ras yang berbeda.
Dengan demikian, sekali lagi, kedua macam fenomena tersebut dapat diterangkan secara mendalam oleh intuisi Nietzsche bahwa akar persoalannya berada pada kualitas “kehendak”. Filsafat Nietzsche tentu tidak berhenti pada penemuan filosofis persoalan eksistensi manusia yang menitikberatkan pada masalah kemerosotan (dekadensi) kehendak. Seperti yang telah disinggung, “kehendak” yang tidak dapat memerintah atau mengatasi dirinya sendiri akan berimplikasi pada hidupnya, sehingga dapat terombang-ambing oleh kepercayaan (fanatisme agama dan kebenaran ras sebagai korban) yang didapatnya dari luar dirinya.
Dekadensi (kemerosotan) “kehendak” ini dapat diilustrasikan dengan jelas di dalam fenomena radikalisme agama. Anak-anak muda yang keluarganya retak, ekonominya lemah, memiliki jiwa yang rapuh, dan begitu juga dengan anak-anak muda yang pintar, kaya, tetapi bermasalah di dalam mencari makna kehidupannya, pada akhirnya melahirkan kelemahan dan kerapuhan atau kecacatan “kehendak”. Mereka pada akhirnya bergabung ke dalam suatu organisasi agama yang radikal untuk mendapatkan suatu pegangan hidup kendati “isi” kepercayaannya adalah menghalalkan kekerasan dan bahkan membenarkan pembunuhan sekalipun.
Lantas, dalam konteks kecacatan “kehendak”, apa yang ditawarkan oleh Nietzsche untuk dapat menyembuhkannya? Obatnya adalah menjadi jiwa atau roh yang bebas menari diujung jurang. Maksudnya, seseorang hendaknya memberanikan diri untuk dapat memahami apa adanya realitas yang dihadapinya dengan tidak terjerumus ke jurang yang dalam tetapi di saat yang bersamaan juga tidak terjerumus ke dalam zona kenyamanan kolektif.
Bagaimana kita dapat berdiri di tengah wilayah seperti demikian? Di satu sisi, kita sebagai manusia Indonesia adalah makhluk religius yang tak dapat meninggalkan religiusitas kita begitu saja, tetapi juga tak dapat menghiraukan realitas kehidupan yang—sejauh pemahaman awam manusia—tidak masuk dalam ranah agama. Dengan kata lain, kita perlu beribadah tetapi juga di saat yang bersamaan harus meninggalkan ritualitas rutin jika tidak berharap terpapar oleh Covid-19.
Kata kuncinya adalah “kebebasan”. Apakah kebebasan itu? Cukup banyak definisi kebebasan yang dihasilkan dari permenungan mendalam para filsuf. Misalnya, Jean-Paul Sartre, seorang filsuf asal Prancis, pernah mengatakan bahwa manusia sejatinya tidak dapat bebas karena hidup itu telah terbelenggu oleh kebebasan itu sendiri. Bagaimanapun juga, dalam hal ini, saya akan membatasi diri untuk tidak terjebak pada kompleksitas pemaknaan seperti demikian dan lebih mengarahkan makna kebebasan di dalam konteks kehidupan sosial (kolektif seperti di Indonesia) agar kita dapat memahaminya secara konkrit.
Kebebasan, secara praksis, sama sekali tidak mengandaikan ketakterbatasan. Kebebasan tidak dapat bersifat liar (sebebas-bebasnya) melakukan apa saja yang dikehendaki. Kebebasan dengan sendirinya memiliki suatu batasan. Batasan kebebasan diri adalah kebebasan orang lain. Dalam konteks pandemi Covid-19, distansiasi sosial sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting di dalam membatasi kebebasan seseorang untuk dapat menghargai dan menghormati kebebasan orang lain agar tidak terpapar Covid-19.
Hal ini juga berlaku dalam kasus rasisme. Absolutisme dalam konsep “kehendak kebenaran absolut” dengan sendirinya tidak kompatibel dengan konsep kebebasan yang telah kita bicarakan. Absolutisme atau paham kemutlakan sama sekali tidak dirumuskan di atas fondasi kebebasan. Justru sebaliknya, ia dirumuskan dengan mengedepankan asas pemaksaan dan itu artinya merampas kebebasan ras lain.
Dalam konteks “kebutuhan untuk percaya”, kebebasan merupakan salah satu jalan untuk keluar dari paradigma “kebutuhan” untuk bersandar maupun percaya secara mutlak dan berlebihan. Manusia yang tidak bebas dengan sendirinya membutuhkan suatu sandaran agar dirinya tidak jatuh tersungkur di dalam kerangka ketidakpastian. Membebaskan diri dari kerangkeng “kebutuhan untuk percaya” mengandaikan adanya keberanian untuk berdiri di atas kaki sendiri tanpa terjerumus ke dalam jurang (ketidakpastian) yang dalam.
Dari penjelasan tersebut, maka “kehendak” dengan sendirinya tidak dapat menjadi lemah dan rapuh jika ia dapat membebaskan dirinya dari belenggu “kebutuhan untuk percaya” dan “kehendak kebenaran absolut”. Dengan kata lain, kebebasan dapat meningkatkan (ascenden) kualitas nilai “kehendak” untuk meraih kekuatannya. Artinya, dengan penerapan kebebasan yang tepat, maka “kehendak” menjadi kuat.
Kualitas “kehendak” yang kuat, dengan demikian, dapat menjadikan seseorang untuk tetap beragama tanpa tergelincir di dalam kubangan fanatisme, tetapi di saat yang sama tetap memiliki kesadaran penuh (mengedepankan kritisisme) untuk memahami dan menerapkan prinsip distansiasi sosial. Dengan kualitas “kehendak” yang kuat seseorang dapat melihat (ras) dirinya sebagai korban tetapi juga dapat menyadari (ras) orang lain sebagai korban yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Kebebasan dalam “kehendak” dengan demikian juga mensyaratkan adanya konsistensi diri untuk terus tanpa henti menemukan sesuatu yang dapat mengarahkan hidupnya tanpa pernah merasa puas oleh apa yang ditemukannya. Sebab, seperti apa yang pernah diingatkan oleh Arthur Schopenhauer, seorang filsuf Jerman, bahwa kepuasan yang telah ditemukan hanya akan dapat mengembalikannya pada wilayah ketidakpuasan berikutnya. Dan, ketidakpuasan tersebut dalam kamus Nietzsche adalah “kebutuhan untuk percaya” dan “kehendak kebenaran absolut”.
Korban manusia yang terpapar virus corona sampai hari ini terus kian bertambah. Jika menggunakan intuisi Nietzsche terhadap pandemi Covid-19, sikap kehati-hatian dan kewaspadaan dengan mengedepankan kualitas “kehendak” yang kuat dan kokoh di dalam masa mewabahnya virus sangat dibutuhkan. Sikap keberanian diri untuk terus belajar mengembangkan diri terhadap berbagai macam ilmu dan perspektif dapat meminimalisir munculnya “kebutuhan untuk percaya” dan “kehendak kebenaran absolut”. Dengan demikian, kita dapat berdiri di atas kaki sendiri tanpa disertai dengan kepercayaan diri yang berlebihan di dalam menghadapi pandemi Covid-19.
***
*) Penulis: Antono Wahyudi, Alumni Magister Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, Pengelola & Penagajar Mata Kuliah Umum (MKU) Universitas Ma Chung, Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |