
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pada awalnya media massa hanya berisikan informasi mengenai berita, hanya terbatas yang berisikan iklan. Pada masa sekarang sebagian besar media massa berkompetisi meningkatan iklannya.
Periklanan di Indonesia sudah meningkat pesat seiring perkembangan media massa di Indonesia. Penggunaan media massa dinilai sangat efisien dan mudah dipahami karena karakteristik media massa seperti radio mempunyai potensi penyebaran yang sangat luas dalam waktu yang tidak terlalu lama. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang memanfaatkan iklan di radio untuk memenangkan persaingan melalui komunikasi yang persuasif kepada konsumen.
Advertisement
Radio merupakan salah satu media yang digemari oleh masyarakat. Media radio sangat akrab dengan masyarakat, karena radio mampu menjadi media yang komunikatif, edukatif, dan menghibur yang hanya membutuhkan indra pendengaran sehingga dapat didengar dimana saja ataupun sambil melakukan segala aktivitas. Produksi media iklan di radio mempunyai ciri khas, dan mempunyai tantangan sendiri, karena karakternya yang berbeda dengan iklan televisi maupun iklan cetak (Muktaf, 2015:121).
Menurut Schulberg (seperti dikutip oleh Prayudha, 2004:184) mengatakan bahwa radio merupakan suatu media yang paling pribadi dan merupakan media yang jauh lebih besar dari hidup ini, karena layarnya otak sendiri. Albert Einsten pernah sekali menyatakan bahwa fantasi merupakan suatu karunia yang sangat berarti bagi dirinya dari semua bakat yang dia miliki untuk bisa dengan cepat dan lugas menyerap pengetahuan yang positif.
Radio merupakan arena fantasi, suatu teater dalam benak kita, dengan jumlah pertunjukan yang tidak terbatas yang tercipta dari kata-kata dan gambaran-gambaran yang selalu kita bayangkan. Iklan radio mempunyai karakter dibandingkan dengan iklan di media lain, karena di radio pendengar diajak berimajinasi dan berfantasi tentang suatu produk yang ditawarkan tanpa tahu bentuknya secara nyata.
Semakin berkembangnya periklanan pada media radio, menyebabkan semakin banyak kompetisi antar industri periklanan untuk mendapatkan respon positif dari masyarakat. Dengan perkembangan teknologi di media radio, semakin memungkinkan dibuatnya iklan yang memikat dan menarik. Namun masih banyak pengiklan yang mengabaikan Etika Pariwara Indonesia (EPI). Hal ini mengakibatkan iklan di radio yang tujuan utama untuk memperkenalkan, lebih dari sekedar memperkenalkan karena kalangan produsen mulai agresif dalam membujuk konsumen. Oleh karena itu persuasif dalam iklan saat ini mulai melanggar etika periklanan dan lebih memberikan kesan yang melebih-lebihkan dan tidak sesuai dengan informasi yang benar.
Pihak produsen khusunya produsen obat yang sering kali diuntungkan dengan kegiatan periklanan yang mereka lakukan. Fenomena ini hadir apabila iklan tidak seharusnya memaparkan informasi yang benar, iklan obat yang menjanjikan penyembuhan. Sering kali iklan tidak dibuat dengan jujur, dan menginterpretasikan sifat-sifat sebenarnya dari produk yag diiklankan (Durianto, Widjajan, Supratikno, 2003:9). Maka dari itu dapat disimpulkan iklan harus memberikan informasi yang sebenarnya, sesuai EPI, pasal 2.3.4 bahwa iklan tidak boleh menggunakan kata-kata, ungkapan, penggambaran, atau pencitraan yang menjanjikan penyembuhan, melainkan hanya untuk membantu menghilangkan gejala dari sesuatu penyakit.
Hasil observasi saya menemukan dua iklan di radio yang melanggar Etika Pariwara. Pertama, iklan yang saya temukan di Radio Swadesi 107.8 FM pada tanggal 3 Maret 2020 jam 16.48, terdapat iklan obat herbal Moringa King (M-king) dengan iklan yang mengatakan bahwa, “Dengan M-king selamat tinggal penyakit selamat tinggal ungkris-ungkrisen rasah aeng-aeng rasah kakean pertengseng jika punya penyakit yang sembuhnya sulit, minum saja M-king sebelum jeleding'.
Pada iklan tersebut bisa kita dengar jika penyakit yang sembuhnya sulit minum obat tersebut padahal obat sendiri difungsikan hanya untuk membatu penyembuhan saja. Pada iklan obat M-king ini melanggar EPI, pasal 2.3.4 bahwa iklan tidak boleh menggunakan kata, ungkapan, penggambaran, atau pencitraan yang menjanjikan penyembuhan, melainkan hanya membantu menghilangkan gejala dari sesuatu penyakit. Penayangan iklan obat alternatif di radio tampaknya masih harus dicermati dan diperbaiki oleh para pengiklan agar tidak melanggar berbagai ketentuan yang mengatur tentang iklan khususnya mengenai iklan obat-obatan.
Kedua, iklan yang saya temukan di Radio Persatuan 94.2 FM pada tanggal 5 Maret 2020 pukul 13:47, terdapat iklan sirup Nikisari yang menyatakan bahwa, “Nikisari sirup menyegarkan, rasa jeruk, vanilla, frambos. Semua suka sirup Nikisari. Semua pilih sirup nikisari, bahanya murni, prosesnya alami. Nikisari sirupnya keluarga. Semua suka sirup Nikisari'.
Dalam iklan sirup Nikisari tersebut juga melanggar etika periklanan karena dalam iklan tersebut menyatakan bahwa memiliki bahan yang “murni', kata ini bisa dimaknai bahwa keseluruhan bahan dari sirup adalah buah, sedangkan tidak ada bukti yang menyatakan bahwa bahan dari sirup tersebut memang benar-benar murni dan bisa dipertanggungjawabkan kepada konsumen. Oleh karena itu iklan tersebut melanggar EPI, pasal 1.2.3 bahwa Penggunaan kata '100 %', 'murni', 'asli' atau yang bermakna sama untuk menyatakan sesuatu kandungan, kadar, bobot, tingkat mutu, dan sebagainya, kecuali jika disertai dengan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan tanggung jawab memiliki arti kemampuan manusia yang menyadari bahwa seluruh tindakannya selalu mempunyai konsekuensi. Perbuatan tidak bertanggung jawab adalah perbuatan yang didasarkan pada pengetahuan dan kesadaran yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan juga. Kebebasan ini harus dikelola dengan sebuah norma supaya tidak terjadi kekacauan, yaitu tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial ini penting bagi media untuk memfasilitasi kebebasan media dalam berkarya, tapi jika media berperilaku terlalu bebas dan berdampak negatif bagi publik maka pemerintah akan mengontrol media dengan menetapkan berbagai peraturan (Astuti, Jurnal Cakrawala, 2013: 538-539).
Konsumen adalah pihak yang berhak mengetahui kebenaran sebuah produk, iklan yang membuat pernyataan yang menyebabkan mereka salah menarik kesimpulan tentang produk itu tetap dianggap menipu dan dikutuk secara moral kendati tidak ada maksud memperdaya. EPI tidak secara mutlak melarang menggunakan kata superlatif sepanjang keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang autentik (Junaedi, 2019:130).
Hendaknya hal-hal tentang pelanggaran dalam etika periklanan perlu diperhatikan lagi oleh para pengiklan agar kualitas media penyiaran dan pariwara di Indonesia dapat menuju ke arah yang lebih baik dan berbobot. Keunikan dan kreativitas dalam periklanan memang sangat diperlukan namun juga harus tetap berpedoman pada peraturan. Sehingga menjadi aman untuk dikonsumsi masyarakat dan tidak melanggar Etika Pariwara Indonesia. (*)
***
*)Oleh: Mujahidin Subkhi, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |