Niti Cinta Rabiah dalam Syair Ibadah

TIMESINDONESIA, MALANG – Apabila ada seorang hamba yang rela menghabiskan waktu siang pada Tuannya dan menghabiskan sepanjang malam pada Tuhannya, hamba itu ada Rabiah al-Adawiyah. Setelah kemerdekaannya, siang dan malam dijadikan sebagai waktu terindah untuk bermesra bersama Tuhannya. Sosoknya adalah seorang perempuan sufi yang menjadikan malam-malamnya seperti malam pertama pernikahan sepasang kekasih.
Tidak ada sedetik waktupun yang dihabiskan Rabiah, kecuali bermesra dengan Rabbul Izzati. Begitu indahnya ibadah Rabiah sehingga tak ada jarak lagi antara dirinya dengan Tuhannya. Baginya malam adalah saksi yang tak terelakkan antara romantisme dirinya dengan Tuhannya. ‘Sang kekasih Tuhan’, itulah sematan yang dapat diberikan pada Rabiah, meskipun hal itu tidaklah cukup mengingat cintanya pada Rabb tak dapat dibahasakan oleh kata-kata yang sangat romantis.
Advertisement
Demikian dengan diri kita yang tengah masuk pada bulan Suci Ramadhan. Apakah kita akan menjadi orang yang hanya pura-pura masuk ke bulan Suci ini, orang yang ragu-ragu masuk ke bulan Suci, atau kita akan menjadi orang-orang yang betul-betul masuk ke bulan Suci Ramadhan secara kaffah. Semuanya bergantung niat dan antusias kita sendiri pada saat mendapatkan perintah dari Rabb. Apakah kita akan melaksanakannya dengan sekedar perintah, ataukah kita melaksanakannya dengan sepenuh tanggung jawab bahkan dengan perasaan mahabbah terhadap-Nya.
Rasanya masih sangat berat untuk kita kerjakan ibadah secara total karena belenggu kecintaan kita kepada dunia yang tak dapat terelakkan. Kesenangan kita terhadap hal yang ‘mutta’ul urur’ ini masih sebesar yang kita lihat dan yang kita dengar. Maka, puasa yang kita lakukan pada kesempatan ini merupakan upaya untuk mengurangi kecintaan kita kepada dunia menuju cinta sejati Tuhan.
Rasulullah telah menunjukkan hal tersebut kepada seluruh umatnya yang diteruskan oleh para sahabat, tabiin, para ulama, dan orang-orang sufi. Rabiah seorang kekasih sejati Tuhan yang cintanya bukan karena perintah melainkan kerena ketulusannya. Meskipun Rabiah pernah meninggalkan kota Basrah karena kekeringan yang malanda Kota Basrah, sehingga anak keempat dari Ismail ini diculik para penyamun dan dijual pada seorang Saudagar bahkan diperlakukan secara tidak manusiawi. Semuanya tidak menyurutkan kecintaan kepada Tuhannya dan ibadahnya tak pernah pudar karena ujian-Nya.
Dalam syair-syair Rabiah yang sering kita dengar dalam berbagai kesempatan. Rabiah selalu berkata pada Rabb-nya. “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di dalam neraka, dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surge, tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu, yang Abadi kepadaku” (al-Adawiyah:12).
Begitulah cinta dan ibadah Rabiah pada Rabb-nya. Tak ada satupun penafsir yang dapat menyempurnakan dari maskud kata-katanya, kecuali menjadi pencari sekaligus pecinta seperti dirinya. Keikhlassanya pada tujuannya yang bukan karena tempat yang agung (syurga) ataukah menghindar dari tempat yang sangat terhina (neraka), melainkan yang dicarinya hanyalah satu yaitu kesaksian cintanya atas keabadian Tuhannya. Begitu sublimnya cinta Rabiah, sampai-sampai tak ada tokok ukurnya dengan materi dunia.
Totalitasnya dalam ibadanya betul-betul ditunjukkan dari perkataan, sikap, dan perbuatannya. Baginya spritualitas yang menuju makrifah adalah langkah yang paling sempurna untuk meniti jejak Rasulullah. Rabiah berkatan “Alangkah sedihnya perasaan dimabuk cinta, hatinya menggelepar menahan dahaga rindu, cinta digenggam walau apapun terjadi, tatkala terputus, ia sambung seperti mula, lika-liku cinta, terkadang bertemu surga, menikmati pertemuan indah dan abadi, tapi tak jarang bertemu nerakadalam pertarungan yang tiada berpantai”(al-Adawiyah:1).
Begitulah puasa menempa kita untuk tidak sekedar melaksanakan ibadah rutinitas apalagi formalitas. Puasa mengajarkan kita untuk sabar dan istiqomah dalam beribadah, serta ikhlas dalam bertariqah. Tak ada sesuatu yang bisa kita capai secara luar biasa kalau kita masih ada dalam rutinitas yang biasa-biasa saja. Sekarang sudah waktunya kita untuk menanggalkan baju kebesaran kita menuju predikat sebagai hambanya yang betul-betul sejati. Cinta Rabiah pada Rabb-nya dapat kita ukir dalam hati untuk kitar ikhtiarkan dalam kehidupan sehari-hari.
***
*)Oleh: Moh. Badrih, Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA, Pengurus Ponpes Al-Madani dan Takmir Masjid Nurul Jihad Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Publisher | : Rochmat Shobirin |