TIMESINDONESIA, MALANG – Berpuasa seharusnya menjadikan orang meraih derajad taqwa. Yakni derajat yang paling mulia di sisi Allah. Sebulan penuh di bulan Ramadhan, orang yang sedang berpuasa mempuasakan diri dari hawa nafsu, dunia setan.
Sebaliknya, mereka menumbuh-kembangkan sifat-sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Manakala sifat-sifat mulia tersebut berhasil dimenangkan dari sifat-sifat manusia, maka dengan berpuasa akan memiliki ketahanan diri yang kokoh.
Advertisement
Begitulah berpuasa, seharusnya berhasil membangun kekuatan pada dirinya. Kekuatan yang dimaksud bukan berada pada fisiknya, melainkan pada batinnya. Batin itu disebut dengan iman atau kepercayaan Allah. Hal itu sejalan dengan yang diseru berpuasa adalah iman. Apa yang diseru berpuasa itu bersifat ghaib dan untuk meraih yang ghaib pula, yaitu taqwa.
Tatkala iman itu berpuasa, maka tubuhnya juga dipuasakan, yaitu dengan cara meninggalkan makan, minum, dan hubungan suami isteri di siang hari. Akan tetapi, yang pokok yang seharusnya dipuasakan adalah hawa nafsu, dunia, dan syetan yang ada pada dirinya. Sifatnya juga ghaib, tidak bisa diketahui siapa saja, kecuali Allah dan rasulNya.
Selanjutnya berbicara korupsi di negeri ini, rasanya sudah kehabisan kata-kata. Terlalu banyak kata yang telah digunakan untuk mencegah dan memberantas korusi. Tapi ternyata korupsi masih berjalan terus, dan bahkan disebut-sebut semakin ganas dan menggila. Angka-angka uang yang dikorupsi semakin besar. Yang melakukannya juga semakin berani dan juga semakin di banyak kalangan.
Dulu banyak orang membenci orde baru, salah satu alasannya, pejabatnya korup. Pak Harto sebagai presiden ketika itu dilengserkan. Diganti dengan pejabat yang bersih, tidak KKN. Pemerintahan diganti dengan yang lebih demokratis, disebut era reformasi. Cita-citanya sedemikian mulia, yaitu memakmurkan rakyat, lewat pemerintahan yang bersih.
Bagaimana kenyataannya? Dari waktu ke waktu, korupsi ternyata tidak mereda. Bahkan yang berteriak agar korupsi diberantas, mereka sendiri juga ketahuan korupsi. Berbagai pejabat, baik di legislative, eksekutif, dan yudikatif, juga tidak sedikit yang terlibat melakukan korupsi.
Bahkan pejabat yang seharusnya memberantas korupsi juga tidak sedikit yang terlibat korupsi. Negeri ini semakin aneh.
Pendidikan dan agama diharapkan menjadi pencegah korupsi. Ternyata juga tidak terlalu berpengaruh. Orang-orang yang berpendidikan sarjana dan demikian pula orang yang mengerti agama yang seharusnya menjadi kekuatan membangun kejujuran juga jebol pertahanannya.
Tidak sedikit orang yang disebut-sebut sebagai tokoh agama, alim, dan khusu’ ternyata juga ketahuan mengemplang uang negara.
Itulah sebabnya, memperbincangkan korupsi seolah-olah sudah kehabisan kata, ide, dan nalar. Energinya telah habis untuk mencari cara, untuk memberantas korupsi. Dulu dengan hadirnya KPK diharapkan korupsi akan hilang.
Para pejabat menjadi jujur, dan uang uang negara terselamatkan. Memang awal keberadaan KPK berhasil membuat orang takut. Jumlah orang yang ditangkap dan diadili tidak terhitung. Penjara hingga penuh, bahkan melebihi kapasitasnya.
Sebagai orang yang mencintai bangsa dan negara, apakah rela membiarkannya. Tentu tidak. Harus dicarikan jalan keluar. Harus diyakini bahwa, tidak ada persoalan di dunia ini yang tidak ada jalan keluarnya. Pasti ada. Hanya jalan keluar itu belum diketemukan saja.
Mungkin yang perlu dicari adalah sumber penyebabnya. Yaitu kekuatan apa yang menjadikan orang bersifat tidak jujur, hingga melakukan korupsi. Mengapa pertahanan pribadi orang yang sedang memegang jabatan sedemikian rapuh. Mereka tidak mampu mengendalikan dirinya.
Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan adalah mengapa banyak orang mampu memimpin orang lain tetapi tidak berhasil memimpin dirinya sendiri. Para koruptor sebenarnya adalah orang yang gagal memimpin dirinya sendiri.
Mereka pasti tahu bahwa korupsi itu buruk, jelek, jahat, merugikan dirinya, keluarganya, jabatannya, dan lain-lain. Karena itu harus dijauhi. Akan tetapi mengapa tetap dilakukannya. Pasti pertahanan dirinya yang tidak kokoh.
Para koruptor pasti tahu bahwa korupsi itu dilarang. Juga mengetahui bahwa korupsi itu berakibat fatal terhadap keselamatan dirinya dan keluarganya. Juga mengerti bahwa korupsi dilarang dan perbuatan dosa.
Bahkan umpama, mereka ditugasi membuat makalah tentang penanggulangan korupsi dan kemudian berceramah tentang hal itu, walaupun hingga berjam-jam tidak akan kehabisan bahan. Pemahamannya tentang korupsi pasti hebat. Tapi mengapa mereka juga korupsi.
Korupsi rupanya sudah menjadi perilaku bersama. Beda antara yang korupsi dengan yang tidak korupsi, kadang sedemikian tipis. Yang satu sudah tertangkap, sementara yang lain hanya karena belum bernasip sial saja, artinya belum ketahuan.
Bisa jadi yang belum tertangkap, uang yang dikorupsi jumlahnya justru lebih besar. Tentu dari sekian banyak abdi negara masih ada yang jujur, atau memiliki integritas yang tinggi terhadap jabatan yang diembannya.
Berbicara korupsi adalah menyangkut perilaku manusia. Ciptaan Allah yang dipandang paling muilia ini terdiri atas dhahir dan batin. Dalam pespektif agama, yang dhahir itu digerakkan oleh kekukatan batinnya. Kekuatan batin itulah sebenarnya yang harus diperkokoh.
Manakala pertahanan batin itu lemah, maka dipastikan akan jebol. Kekuatan batin itu diserang, baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Serangan dari luar bermacam-macam, mulai dari dampak lingkungan politik, social, keluarga, dan lain-lain.
Demikian pula serangan dari dalam diri manusia itu sendiri, berupa hawa nafsu, dunia, dan syetan. Serangan dari dalam dirinya sendiri juga luar biasa dahsyatnya. Disebutkan di dalam al Qur’an : “Alladzi yuwaswisu fi shudurin naas rinnas. Minal jinnati wan naas”.
Berbagai serangan, baik dari luar maupun dari dalam itulah yang menjadikan pertahanan diri seseorang, jika tidak kuat, menjadi goyah. Korupsi rupanya dari sini sumbernya, adalah ketahanan diri yang tidak kuat. Orang menyebutnya, imannya tidak kokoh.
Persoalanya adalah bagaimana membangun pertahanan diri hingga menjadi kokoh itu. Pertahanan itu ada pada akhlaq, terletak pada bagian diri manusia yang paling dalam. Juga disebutnya pada ruh. Sementara itu, bahwa ruh adalah urusan Allah dan rasulNya.
Oleh karena itu, memperkukuhnya bukan lewat rekayasa yang dibuat oleh manusia, melainkan cara yang tepat adalah mengikuti saja petujuk agama.
Agama mengajarkan cara memperkukuh ketahanan diri, di antaranya melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan. Pada bulanm suci ini, dianjurkan berpuasa, shalat malam, dan hal yang amat penting lagi adalah bahwa pada bulan Ramadhan Qur’an turun. Membacakan ayat-ayatnya, mensucikan, mengajarkan kitab dan hikmah kepada manusia yang sedang berpuasa.
Jika semua hal tersebut ditangkap dengan benar, maka kehadiran Qur’an akan menjadikan pertahanan diri kokoh, dan itulah yang disebut bertaqwa. Orang bertaqwa pasti membenci perilaku korupsi. Wallahu a’lam. (*)
*) Penulis adalah Prof Imam Suprayogo, guru besar UIN Malang. Anggota dewan pembina Yayasan Unisma Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |