Kopi TIMES

Semangat Únifying Ideology Pakde Didi

Selasa, 12 Mei 2020 - 20:34 | 114.36k
Fradhana Putra & Dicky Eko
Fradhana Putra & Dicky Eko
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Selasa, 5 Mei 2020 dapat dikatakan menjadi "Hari Patah Hati Nasional" yang mana pada saat itu Sang Maestro "ambyar" telah meninggalkan kita semua, termasuk bangsa yang amat dicintainya, yaitu Indonesia. Meninggalnya Pakde Didi Kempot yang terkesan "mendadak" juga mengagetkan berbagai Sobat Ambyar dan Kempoters yang merupakan julukan bagi penggemar dan peminat Pakde Didi beserta lagu-lagu khasnya.

Selain Sobat Ambyar dan Kempoters, meninggalnya Pakde Didi juga mengagetkan berbagai kalangan, terlebih ketika bangsa ini sedang dilanda bencana nasional non-alam bernama COVID-19, lagi-lagi "ibu pertiwi" dipaksa untuk menangis dan berduka ketika salah seorang maestro, bapak, eyang, bahkan seorang legend telah meninggalkan kita semua.

Advertisement

Terlebih, sebelumnya Pakde Didi ikut berpartisipasi dalam sebuah konser dari rumah yang bertajuk donasi bersama Kompas TV. Hasil yang didapat dari donasi tersebut tidak main-main, sekitar 7 miliar rupiah lebih yang akan disumbangkan kepada mereka yang terdampak COVID-19 di seluruh Indonesia.

Meski sering membuat dan menyanyikan lagu dengan dominan "berbahasa Jawa", namun terdapat beberapa hal yang secara "implisit" menjadi makna dan tindakan Pakde Didi untuk masyarakat Indonesia. Fenomena "ambyarisasi" remaja Indonesia jadi salah satu buktinya, bukan hanya remaja, bahkan anak-anak, orang dewasa, hingga mereka yang sudah tua seakan ikut bergembira merayakan "ambyar" bersama-sama dengan joget ria yang terkadang disertai dengan teriakan dan tangisan air mata.

Hal yang lebih fenomenal, meski lagu yang dinyanyikan Pakde Didi berlirik Bahasa Jawa, namun fenomena "ambyarisasi" telah menjadi trend nasional Indonesia sehingga masyarakat dari berbagai suku, bahasa, dan agama yang berbeda ikut larut dalam "lagu-lagu ambyar" beserta joget "cendol dawet" yang khas. Secara sederhana, meski hanya berupa konser musik, tetapi secara kontemplatif, Pakde Didi telah menyebarkan suatu unifying ideology bagi masyarakat Indonesia.

Unifying Ideology Bernama "Ambyar"

Fenomena sadbois dan sadgirl di kalangan remaja bisa menjadi salah satu bukti di mana telah berkembangnya suatu "paradigma" baru dalam kehidupan remaja.Remaja yang diidentikkan dengan perasaan "mudah patah hati" ketika disakiti, ditolak, atau bahkan diputuskan cinta oleh kekasihnya membuat sebagian besar remaja menjadi "galau".

Fenomena kegalauan remaja inilah yang disikapi secara "istimewa" oleh Pakde Didi melalui lagu-lagunya.Jika remaja pada umumnya merepresentasikan sakit hati sebagai upaya untuk mengurung diri di kamar, menangis sekencang-kencangnya, serta selalu murung dan sedih, Pakde Didi dengan karakternya yang khas mengganti paradigma lama mengenai sakit hati.

Sakit hati tidaklah harus dimaknai sebagai momentum untuk selalu berbedih dan murung, lebih dari itu, sakit hati haruslah dirayakan dengan perasaan bahagia dan sukacita tanpa menghilangi esensi dari perasaan sakit hati. Dalam hal ini, Pakde Didi hadir dengan berbagai lagunya yang khas dengan tema "patah hati" namun tetap dengan untaian perasaan bahagia disertai dengan joget khas bernama "cendol-dawet". Fenomena joget dan menyanyi bersama untuk merayakan "sakit hati" inilah yang diidentikkan sebagai fenomena "ambyarisme".

"Ambyar" dapat dianggap sebagai "ideologi" baru para remaja.Sebagai "ideologi", ambyar tidak hanya merepresentasikan "perayaan sakit hati" oleh para remaja dengan menyanyi dan berjoget.Lebih dari itu, "ambyar" sebagai ideologi juga bisa menjadi alternatif di tengah memudarnya citra Ideologi Pancasila dalam jagat berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini.

Hal ini bisa dilihat pada kurun tahun 2018-2020 tepatnya pra dan pasca pilpres dan pileg 2019. Bangsa Indonesia seakan terpecah menjadi dua kubu, antara "cebong" dan "kampret", pihak "01" dan pihak "02", bahkan stigma rasial, kelompok, dan golongan seakan memecah bangsa yang besar ini menjadi "berkeping-keping" skeleton yang tidak hanya menderogasi harmonisasi kebangsaan namun juga berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Ibarat telah menemui jalan buntu, "deadlock" hingga berada dalam fase "titik nadir" realitas sosial dan politik bangsa kita memang berada "di ambang jurang kehancuran".

Demokrasi telah menunjukkan wajahnya yang paling durjana, "Okhlokrasi, Mobokrasi, atau apa pun lah orang menyebutnya".Sebuah wajah kelam ketika kebebasan dilaksanakan dengan penuh kebablasan.Dalam hal inilah, Pakde Didi hadir dalam mencerahkan dan menjernihkan semangat "totalitas" a la remaja. 

Dengan lagu Bahasa Jawa yang khas, diiringi nuansa musik yang sarat dengan suasana "patah hati", Pakde Didi seakan telah menghilangkan sekat keberagaman. Semua remaja dari suku, agama, pandangan politik, latar belakang sosial yang berbeda bahu-membahu ikut bernanyi, menangis karena hanyut dan trenyuh akan suasana patah hati, namun tetap dengan joget ria dengan teriakkan "cendol dawet".

Sebuah suasana yang "mungkin" tidak dapat dilakukan oleh seorang politisi, pemimpin polisi maupun militer, hingga presiden sekalipun belum tentu dapat menciptakan suasana sebagaimana yang diciptakan oleh Pakde Didi bersama sobat ambyarnya. Memang, apa yang dilakukan oleh Pakde Didi tidak secara "expressive verbis" dilakukan untuk memeperkuat Ideologi Pancasila, namun dilihat dari dampaknya, dapat dikatakan Pakde Didi telah ikut menyuburkan kembali Ideologi Pancasila dengan semangat "Persatuan Indonesia" dari berbagai nyanyiannya.

Jika dianalisis secara logis dan komprehensif, alangkah sulitnya membuat orang non-Jawa dan bahkan mungkin tidak bisa berbahasa Jawa dapat ikut menangis serta menyelami setiap lirik dan syair yang diucapkan Pakde Didi. Hal ini dapat dimengerti, karena lagu yang dibawakan oleh Pakde Didi sejatinya bukanlah "lagu berbahasa Jawa" melainkan lebih dalam lagi, lagu yang dinyanyikan oleh Pakde Didi sejatinya merupakan lagu dengan bahasa kemanusiaan, singkatnya lagu dengan bahasa cinta yang menggemparkan dan membuat siapa yang mendengarnya akan ikut merasakan "syahdu, merdu, dan harmoni" akan lagu-lagunya.

Lagu-lagu "ambyar" yang dinyanyikan Pakde Didi seakan telah meruntuhkan garis demarkasi bernama ruang dan sekat-sekat individu.Lagu-lagu "ambyar" nya menawarkan kesedihan dan kebahagiaan sekaligus, laksana suara 'hati" yang menggema sebelum fajar menyingsing, lagu-lagu Pakde Didi jelas dibuat dengan lirik serta instrumen yang tidak sembarangan.

Mungkin perlu "tirakat" atau semacam "laku" tertentu untuk menghasilkan lagu seperti itu. Namun terlepas dari itu semua, Pakde Didi telah menggemakan semangat unifying ideology, ideologi persatuan yaitu ambyarisme yang datang ketika Ideologi Pancasila telah tercabik-cabik oleh hagemoni kepentingan individual dan komunal. Oleh karena itu, ambyarisme a laPakde Didi perlu dikembangkan, digalakkan, bahkan diteruskan ke depannya, namun setelah beliau tiada, siapakah yang mau dan mampu untuk melaksanakannya?.

Jalan Sufi Pakde Didi: Dari "Nggelandang" Menjadi "Dalang"

Unifying ideology yang berupa "ambyarisme" sebagaimana dikembangkan oleh Pakde Didi dan menjadi booming di kalangan remaja sejatinya bukanlah sesuatu hal yang secara sendirinya "turun dari langit".Ambyarisme yang dikembangkan Pakde Didi sejatinya merupakan hasil "olah raga, rasa, dan rasio" yang beliau dapatkan dalam mengarungi "bahtera" kehidupan yang telah dijalani.

Tidak selalu mulus memang, Pakde Didi harus mengawali perjalanannya menjadi maestro dengan menjadi pengamen jalanan. Proses menjadi pengamen jalanan inilah yang bisa disebut sebagai proses "nggelandang". Proses penggelandangan Pakde Didi ini terus beliau jalani sembari menciptakan lagu yang bertema patah hati, kesedihan, hingga perasaan beliau sehari-hari.

Dalam hal inilah, romantika lirik yang beliau bangun dalam setiap syair lagu, sejatinya merupakan cerminan dari realita yang beliau hadapi.Dalam hal inilah berlaku suatu prinsip bahwa "tidak ada romantika tanpa realita".

Bak sebuah tangga yang terus menanjak naik, karier Pakde Didi yang awalnya hanya "nggelandang" mulai naik hingga ke dapur rekaman. Lagu "sewu kutho" konon menjadi "hits" saat awal-awal beliau rekaman dan mulai menyanyi di panggung. Lagu "sewu kutho" bisa menjadi cerminan dari perjalanan beliau yang hidup menjadi pengamen jalanan dan hidup "nggelandang".

Tak hayal, lagu "sewu kutho" yang secara eksplisit menceritakan kisah asmara namun secara implisit justru telah menceritakan secara mendalam "jalan sufi" yang telah ditempuh oleh seorang pencipta dan penyanyinya. Karya demi karya Pakde Didi terus curahkan bahkan dengan konsistensinya. Jika penyanyi yang lain sibuk "mencari selera pasar" tentang lagu apa yang bisa "laris manis", Pakde Didi tidak melakukan itu.

Pakde Didi tetap konsisten dengan lagu "jawa" dengan tema "patah hati" nya meski dibeberapa lagunya selain menceritakan aspek patah hati juga sekaligus menceritakan mengenai "ikon" dari masing-masing kota dan daerah, misalnya: Tanjung Perak, Tanjung Emas Ninggal Janji, dan sebagainya. Berkat konsistensi tersebut, Pakde Didi akhirnya benar-benar menjadi "idola para remaja" pada kurun tahun 2018-2020.

Fenomena remaja yang mudah patah hati berhasil beliau "bius" dengan berbagai lagu-lagunya.Mungkin, beliau terkesan "lambat" dalam terkenal, terutama di kalangan remaja. Di usia yang mencapai "setengah abad" para remaja baru mengidolai beliau sebagai the goodfather of broken heart, yang lain mengidolai beliau sebagai "maestro" hingga seorang "eyang" dan "guru" yang diharapkan bisa membimbing generasi muda untuk berkarya sesuai dengan bakat dan kapasitasnya.

Fenomena ketika beliau dianggap sebagai the goodfather of broken heart, guru, bahkan maestro inilah yang telah membalikkan takdir hidup Pakde Didi dari "nggelandang" menjadi "dalang". Seorang pengamen yang dulu menyanyi dari jalan ke jalan, stasiun, terminal, dan tempat umum lainnya saat ini berubah seolah menjadi "diva" dan "guru" sekaligus. Konser musik yang diadakan oleh Pakde Didi tidak kalah mewah dan megah dengan konser musik K-POP yang beberapa tahun belakangan telah "menghipnotis" para remaja terutama para kaum hawa.

Pakde Didi telah mengembalikkan "ruh" meriahnya sebuah konser musik yang bukan hanya terletak pada ketampanan fisik dan kemenarikan penampilan dari sang penyanyi, tetapi lebih dari itu bahwa meriahnya sebuah konser musik dapat dilihat dan dirasakan dari betapa indahnya sentuhan seni dan cinta dari tiap untaian lirik lagu yang dibalut dengan suara dan ekspresi khas dari Pakde Didi dalam menyanyikannya.

Tak hayal, para remaja dibuat hanyut oleh berbagai nyanyian "ambyar" dari Pakde Didi. Bagai sang pahlawan, Pakde Didi telah menampilkan paradigma bermusik dari sisi yang lain yang sekaligus turut "mengembalikan" para remaja untuk mencintai musik daerah yang secara konsisten beliau perjuangkan dan kembangkan.

Pesan Terakhir: "Ojo Mudik"

Semangat Pakde Didi dalam menyebarkan suatu unifying ideology, ideologi persatuan yaitu ambyarisme dapat dipersamakan dengan konsespi "Trisakti" a la Bung Karno dan semangat "Swadesi" a la Mahatma Gandhi. Di tengah eksistensi Drama Korea beserta K-POP nya, Pakde Didi berupaya memperlihatkan optik "Keindonesiaan" dalam lagu-lagu "ambyarnya" yang mayoritas berbahasa Jawa.

Namun sebelum meninggal, sebenarnya Pakde Didi memiliki cita-cita untuk memberdayakan mereka yang masih stay dan konsisten dengan lagu daerah. Pakde Didi ingin melihat penyanyi Batak menyanyikan lagu Batak, penyanyi Sunda menyanyikan lagu Sunda, penyanyi Aceh menyanyikan lagu Aceh, bahkan hingga seluruh penyanyi daerah se-Indonesia dapat menyanyi dalam satu panggung.

Beliau sangat ingin melihat bahwa adanya "panggung kebhinekaan" di mana berbagai penyanyi daerah dapat satu panggung bersama beliau dalam memperkenalkan "estetika" lagu daerah yang lebih mencerminkan jati diri bangsa. Sayang, kehendak Tuhan berkata lain, sebelum semua itu terwujud, beliau justru dipanggil Tuhan untuk berkonser ria bersama-NYA.

Terlepas dari berbagai perjalanan hidup dan berbagai prestasinya, Pakde Didi tetaplah seorang "eyang", "bapak", "maestro", hingga "legenda" yang akan terus dikenang sepanjang masa oleh para penggermarnya, terutama seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan di akhir hidupnya Pakde Didi masih sempat ikut menggalang dana untuk memberikan bantuan kepada mereka yang terdampak COVID-19, tak tanggung-tanggung, "konser dari rumah" tersebut mendapatkan donasi hingg 7 miliar rupiah lebih.

Sungguh sumbangsih yang luar biasa bagi bangsa dan kemanusiaan.Bahkan di akhir sisa hidupnya, beliau sempat membuat lagu berjudul "Ojo Mudik".Lagu "Ojo Mudik" sejatinya merupakan nasihat kepada masyarakat Indonesia untuk tidak mudik sebagai salah satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.Selain itu, lagu "Ojo Mudik" juga bisa menjadi "isyarat" akan kepergian Pakde Didi untuk meninggalkan semua orang yang dicintainya.

Karena mudik hanya dimaknai sebagai "perginya seseorang untuk kembali lagi" dan Pakde Didi tidak pergi untuk kembali, tapi beliau pergi untuk selamanya. Dalam hal ini, lagu "Ojo Mudik" juga menegaskan bahwa Pakde Didi tidaklah mudik, melainkan beliau telah "pulang kampung" ke hadirat Tuhan YME dan tidak akan kembali lagi.

Selamat jalan Pakde Didi, Sugeng Tindak. Dirimu mungkin sekarang jauh dari kami, tetapi kami seluruh masyarakat Indonesia tidak akan melupakan karya dan dedikasimu bangi bangsa dan kemanusiaan. Semoga pemerintah juga bisa memberikan penghargaan yang layak bagi dirimu. Apakah sebagai maestro campur sari atau apa? Karena memang terjadi perdebatan apakah Pakde Didi layak disebut sebagai maestro campur sari ataukah sebagai maestro dangdut Jawa, namun terlepas dari itu semua pemberian penghargaan layak diberikan untuk Pakde Didi terhadap dedikasinya selama ini.Rest In Pride Pakde! Monggo, semoga berbahagia dalam mengenakan "klambi anyar" untuk menemui "bojo anyar" yaitu Allah SWT.Amien. Anglų kalbos vaikų dienos stovyklos Klaipėdoje ir Kaune.

***

*)Oleh: Fradhana Putra & Dicky Eko

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_______
*)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES