Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Bermain Kata untuk Ngakalin Hukum

Rabu, 13 Mei 2020 - 09:50 | 44.11k
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo. 
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo. 
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Beberapa minggu terakhir ini dihebohkan oleh istilah yang tidak seharusnya terjadi. ‘Pulang kampung’ dan ‘mudik’. Dua istilah yang digunakan oleh Presiden Jokowi. Gara-garanya Presiden Joko Widodo menjawab pertanyaan Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa bertajuk 'Jokowi Diuji Pandemi' tayang Rabu (22/4/2020) malam. Pertanyaan yang mengarah kenapa orang-orang dari Jakarta ke daerah-daerah yang memungkinkan membawa virus corona ini masih ditoleransi.

Geger pulang kampung dan mudik ini kemudian berlanjut ketika Juru Bicara Menteri Perhubungan mengumumkan larangan mudik pada lebaran 1441 H ini. Berlaku secara bertahap mulai 24 April 2020. Bagi mereka yang mencoba-coba melanggar aturan tersebut sanksi terberatnya adalah denda hingga 100 juta. Adapun sanksi ini mengacu pada Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Seketika media sosial ribut dengan istilah pulang kampung dan mudik. Jika mengacu pada penjelasan Pak Presiden, pulang kampung adalah mereka yang bekerja di kota besar seperti Jakarta, tidak ada lagi pekerjaan karena pabriknya lockdown, maka orang ini pulang kampung, dari kota ke desa. Sewaktu-waktu dapat dilakukan, tidak harus nunggu momentum lebaran. Sementara mudik adalah istilah yang digunakan karena momentum lebaran/idul fitri. Bisa terjadi dari kota ke desa (kampung) atau dari desa (yang kebetulan kerjanya di desa) ke kota (karena tinggalnya di kota).

Definisi inilah yang kemudian heboh. Perdebatan terjadi. Di warung kopi. Di media sosial. Sampai takmir-takmir masjid tidak ketinggalan memperbincangkan tersebut. Berujung pada pro kontra penjelasan Presiden. Mereka yang tidak senang dengan Jokowi seakan mendapat bumbu segar untuk menjelek-jelekkan orang nomor 1 di RI ini.

Selain ramai dimedsos, rakyatpun ramai. Mereka tidak dapat mudik karena hormat kepada pemerintah. Tapi mereka tetap pulang kampung karena tidak dilarang. Polisipun bingung. Tidak bisa menyetop kendaraan umum dengan tulisan “penumpang bus ini bukan pemudik, tapi sedang pulang kampung”.

Jadi teringat dengan orang-orang yang suka mengakali aturan agama. Banyak ditemukan dikehidupan beragama khususnya dalam hal penerapan hokum agama (red, fiqh). Hal ini terjadi bagi orang yang awam atau justru mereka yang paham. Misalnya saja, puasa itu tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami istri  dari fajar hingga terbenamnya matahari. Jika dilihat secara tekstual saja definisi ini maka tidak mengcover mereka yang perokok. “Berarti merokok boleh.” Demikian kata perokok. Mengapa? Karena yang dilarang makan dan minum saja. Sementara merokok tidak. Merokok tidak masuk kategori makan dan minum. Termasuk hubungan suami istri, bagaimana hubungan LGBT misalnya.

Hal ini terjadi karena tidak memahami esensi dari persoalan yang dihadapi. Aturan dibuat bukan sekedar pada persoalan kata. Tetapi esensi dari itu semua. Pembatasan orang keluar kota sampai pada pelarangan untuk mudik dalam rangka mencegah penyebaran yang lebih massif dari si corona ini. Bukan mudiknya yang dilarang, tetapi aktivitas social yang dapat menyebabkan terjadinya perpindahan virus itu yang perlu diantisipasi. Indonesia yang besar dari sisi wilayah dan jumlah penduduk, akan sulit dikendalikan penanganan covid-19  ini jika lalu lalang manusia Indonesia tidak dibatasi. Ikhtiar pemerintah yang sudah mengupayakan yang terbaik sering kali terkendala hal-hal sepele di lapangan karena manusianya yang sulit diatur, pinter berdalih dan sebagainya. Seakan-akan mereka kebal dengan virus ini sehinngga tidak ingin mengetahui persoalan yang sesungguhnya. Informasi-informasi yang beredar tentang corona di Negara lain dianggap angin lalu dan seakan-akan beranggapan tidak akan terjadi di Indonesia.

Jika pemerintah sekuat tenaga berusaha menyelesaikan covid-19, tenaga medis rela mengorbankan dirinya berada di garda depan, para pemuka agama melakukan do’a bersama untuk keselamatan bangsa, gerakan peduli sosial meningkat, lantas mereka acuh tak acuh dengan kondisi ini semua. Dimana sebenarnya nurani itu. Akankah virus ini terjangkit pada keluarganya terlebih dahulu baru kemudian dia sadar?

Permainan kata untuk lari dari hokum sejatinya tidak menyelesaikan persoalan. Kata Prof. Qurais Shihab mestinya yang harus dilakukan adalah hati nurani, bukan sekedar akal, apalagi akal-akalan. Tidak berpuasa dengan alasan sedang perjalanan, padahal perjalanan tersebut hanya dapat ditempuh 2 jam meskipun berjarak 500 km. Jika hati nurani dikedepankan maka mestinya hal demikian tidak boleh terjadi. Seperti halnya puasa, meskipun merokok tidak masuk pada bagian dari makan dan minum, hati nurani mestinya berkata esensi puasa adalah menahan diri dengan menutup masuknya apa saja melalui mulut, telinga, mata, hidung, termasuk hati dan pikiran dari hal-hal yang dicela agama.

Semoga ada kesadaran kolektif untuk menggerakkan hati nurani. Bukan sekedar pandai merangkai kata guna lari dari hukum, tetapi memahami esensi adalah tujuan kita bersama demi peradaban kita manusia.

***

*)Oleh: Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES