Kopi TIMES

Covid-19, Alasan Force Majeure?

Kamis, 14 Mei 2020 - 05:12 | 167.94k
Muhammad Adha, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Maluku Utara – Daerah Istimewa Yogyakarta.
Muhammad Adha, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Maluku Utara – Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Beberapa bulan terakhir dunia mengalami degradasi akibat adanya virus yang dikenal dalam lingkungan medis sangat cepat penularannya dan mematikan. Corona Virus Disease atau COVID-19 adalah nama yang kerap digunakan untuk mengenal virus tersebut.

Di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang kian memburuk akibat Covid-19, hal ini tentu berakibat serius terhadap kegiatan usaha. Penulis beranggapan bahwa fenomena Covid-19 ini sangat mempengaruhi lalu lintas perdagangan. Hal ini dikarenakan minimnya jumlah produksi yang akan berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), konsekuensi terburuknya yakni banyak perusahaan terancam pailit (bangkrut).

Advertisement

Dengan mempertimbangkan kondisi yang belakangan ini terjadi akibat dari Covid-19, akankah force majeure (keadaan memaksa) berpotensi menjadi alasan atas tidak terpenuhinya prestasi dari suatu perikatan?  Untuk itu, Penulis menaruh perhatian pada keadaan hukum di Indonesia serta dampak atas Covid-19 terhadap suatu perikatan dalam dunia bisnis. 

Force majeure atau keadaan memaksa yang sering disebut para ahli hukum dengan istilah Overmacht diatur dalam pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), di mana dalam pengertiannya merupakan suatu alasan dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi yang disebabkan atas tidak terpenuhinya prestasi salah satu pihak dari sebuah perjanjian.

Keadaan memaksa dimaksudkan adalah suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi kehadirannya dan dapat mempengaruhi atau membawa konsekuensi bagi para pihak dalam menjalankan hak dan kewajiban atas suatu perjanjian, dimana pihak yang tidak dapat memenuhi prestasinya tidak dianggap wanprestasi. Dengan terjadinya suatu keadaan memaksa, debitur tidak wajib menanggung ganti rugi dari perjanjian timbal balik.

Alasan Keadaan Memaksa (force majeure/overmacht) dalam Perikatan

Dalam force majeure/overmacht terdapat ajaran lama yaitu, ajaran Overmacht Objektif dan ajaran baru, yaitu Overmacht Subjektif. Menurut ajaran Overmacht Objektif dimana setiap orang tidak mungkin memenuhi verbintenis (perikatan) karena keadaan Impossibilitas, contohnya gempa bumi, tanah longsor atau fenomena alam yang dapat mempengaruhi verbintenis.

Sedangkan Overmacht Subjektif adalah tidak terpenuhinya prestasi debitur disebabkan faktor difficult (sulit), misalnya kenaikan harga barang ditengah-tengah verbintenis atau suatu peristiwa yang serupa dan relatif sulit.

Ruang lingkup force majeure menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu, peristiwa alam dan hilangnya objek yang diperjanjikan, tetapi dalam perkembangannya berdasarkan yurisprudensi serta putusan Mahkamah Agung, force majeure terbagi atas 5 faktor yaitu; risiko perang (1); tindakan administrasi penguasa (2); peraturan pemerintah (3); kecelakaan di laut (4); keadaan darurat (5). Apabila force majeure diperhadapkan dengan situasi saat ini dengan pertimbangan normatif empiris, maka cukup jelas bahwa Covid-19 merupakan alasan pemaaf.

Upaya Indonesia dalam menanggulangi pandemik dengan menerapkan beberapa kebijakan diantaranya, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai upaya mencegah penularan Covid-19. Kebijakan tersebut disahkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Diberlakukan peraturan pemerintah ini secara langsung melahirkan klaim terhadap Covid-19 yang tergolong sebagai force majeure/overmacht, karena memenuhi salah satu unsur dalam putusan Mahkamah Agung yaitu, dalam keadaan mendesak pemerintah mengesahkan peraturan pemerintah.

Namun menurut hemat penulis, terlepas dari putusan Mahkamah Agung tentang pengesahan peraturan pemerintah dalam merespon keadaan mendesak seperti yang dihadapi belakangan ini terkait upaya pencegahan penularan Covid-19, harus memastikan terlebih dahulu bahwa isi perjanjian tersebut memuat pembahasan soal keadaan memaksa (force majeure).

Selain itu diawal tulisan ini, penulis telah menguraikan tentang faktor force majeure secara teoritis, salah satunya tidak dapat memprediksi hal-hal yang termasuk dalam keadaan memaksa, sementara itu Wuhan, Tiongkok sebagai tempat fenomena virus tersebut bermula. Artinya jauh sebelum keberadaannya di Indonesia sudah dapat diprediksi bahwa virus tersebut dengan cepat menyebar keseluruh dunia.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 pasal 4 ayat (1) tentang PSBB, jelas bahwa dalam rangka penanganan penyebaran virus dapat diupayakan sebagai berikut; pengliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Dengan upaya penanganan di atas, banyak perusahaan mengalami kesulitan akibat peliburan tempat kerja, maka dalam keadaan ini alasan force majeure belum tentu cukup untuk proses pembuktian. Pasal-pasal yang terkandung dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 tidak untuk dicermati secara parsial. 

Karena belum bisa dipastikan bahwa keadaan di atas termasuk alasan force majeure, maka dalam pasal 5 ayat (1) dijelaskan bahwa pembatasan sosial berskala besar akan ditentukan berdasarkan penetapan Menteri dibidang urusan kesehatan. Dengan demikian hanya wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang akan diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar. Oleh sebab itu debitur harus terlebih dahulu memastikan apakah wilayahnya termasuk dalam wilayah pembatasan sosial berskala besar yang ditetapkan oleh Menteri dibidang urusan kesehatan atau tidak.

Pada prinsipnya COVID-19 termasuk dalam alasan force mejeure, lebih tepatnya pada faktor difficult atau relatif sulit. Meski Covid-19 tidak berada pada pos fenomena alam yang dimaksudkan sebagai impossibilitas atau keadaan yang tidak mungkin dibendung, tetapi secara yuridis sudah memperkuat proses pembuktian dengan mempertimbangkan wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menurut amanat peraturan pemerintah.

***

*)Oleh: Muhammad Adha, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Maluku Utara – Daerah Istimewa Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES