Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Filosofi Anak Burung

Senin, 18 Mei 2020 - 12:30 | 112.04k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam hidup ini, manusia dituntut banyak belajar pada makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Ada banyak pelajaran yang bisa didapat, jika manusia sungguh-sungguh mau jadi pembelajar yang baik.

Ada atau tanpa ada pandemi Covid-19, belajar memang bukan hanya di sekolah dan rumah, tetapi dimanapun atau terhadap apapun, manusia berkewajiban menjadi pembelajar  untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang beragam guna menjawab keragaman kemaslahatan yang terjadi di muka bumi, yang diantaranya berkaitan dengan kemaslahatan ekologis.

Sikap dan keteladanan pemimpin Agama dalam menjaga, memelihara dan mengadvokasi lingkungan dan kelestarian alam perlu kita jadikan acuan moral dan spiritual, misalnya soal wisdom (kearifan) ekologis Nabi Muhammad SAW, dalam menghormati makhluk hidup.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sebagaimana diriwayatkan dalam suatu Hadis berikut: Al-kisah Nabi Muhammad SAW menegur sahabat-sahabatnya yang dalam suatu perjalanan mereka menangkap anak burung yang berada di sarangnya. Ketika merasa kehilangan anak, induk burung itu pun mengiringi erbang diatas rombongan Rasullullah.

Ketika menyaksikan hal itu nabi lantas bertanya: “Siapakah yang menyusahkan burung ini dan mengambil anaknya?

“Kami ya rasul”, demikian jawab para sahabat.

“Kembalikan anak-anaknya itu kepadanya (induk burung), karena  perbuatan kalian telah membuat anak burung itu terpisah dari induknya”, demikian penjelasan Nabi (hadits riwayat Abu Daud).

Kasus yang melibatkan Nabi, pengikutnya, dan anak burung itu dapat dipetik pelajaran berharga, khususnya dalam membangun dan membumikan kearifan (wisdom) dalam hidup ini. Kearifan tidak selalu dimiliki dan melekat dalam diri setiap orang. Dalam diri orang kaya, berpengaruh, dan pintar sekalipun, kearifan belum tentu dipunyainya, jika mereka tidak pernah belajar untuk menyerap dari peristiwa berharga dari kaum pendahulu atau alam komunitasnya.  Peristiwa yang dilukiskan Tuhan kepada makhluk lain adalah salah satu sumber wisdom yang sejatinya mengandung pelajaran berharga, jika manusia punya hasrat memetiknya.

Dari kasus tersebut, pertama,  sekelas anak burung pun butuh perlindungan dari kekuatan yang mumpuni seperti yang dimiliki manusia. Induk burung yang merasa kehilangan anaknya berani melakukan “unjuk rasa” dengan memasuki (mengiringi) kafilah Nabi untuk merebut atau memperjuangkan haknya yang dirampas oleh manusia. Induk burung mencoba mengikuti kafilah Nabi supaya “aksi”-nya bisa dibaca oleh beliau sebagai ekspresi gundah yang menuntut perhatian. Nabi sendiri berposisi sebagai pemimpin yang cerdas dalam “membaca” kesulitan atau kesusahan yang diderita oleh sahabat-sahabatnya maupun makhluk hidup lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, diantara manusia (sahabat-sahabat Nabi) ada yang menganggap bahwa anak burung hanya cocok untuk santapan atau pemuas kebutuhan perut (aspek biologis). Anggapan ini logis, mengingat Tuhan menciptakan makhluk hidup seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan juga untuk memenuhi berbagai keperluan hidup manusia. Meski demikian, tidak lantas obsesi manusia ini dilakukan secara berlebihan seperti mengumbar tindakan brutal, biadab, dan serakah.

Tidak sedikit mental dan perilaku manusia yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran sumberdaya alam dan makhluk hidup lain, seperti menghancurkan habitat, yang bersumber dari keserakahan dan kesenangan atau hobi yang dipanglimakannya.  Mereka menjadikan makhluk hidup lain sebatas sebagai obyek yang dikorbankan, dijadikan aksesoris gaya hidup,  dan bukan digunakan sebagai bagian dari karunia Tuhan yang dinikmati dengan kearifan (Kabul, 2006).

Menikmati karunia Tuhan dengan kearifan akan bisa membimbing atau mengarahkan diri seseorang menjadi sosok yang santun, berkeadaban, dan mudah mengembangkan sifat menyayangi sesama atau makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Kearifan dalam bersikap dapat membuatnya tidak gampang tergelincir dalam watak adigang adigung  yang mengakibatkan lahirnya dan maraknya kesengsaraan. 

Terjadinya dan bahkan seringnya trjadi berbagai bentuk petaka ekologis atau lainnya di negeri ini adalah tidak lepas dari krisis kearifan yang sedang menimpa diri seseorang atau sekelompok orang. Mereka gagal menempatkan kearifan sebagai penyelamat diri dan makhluk Tuhan lainnya. 

Kegagalan menempatkan kearifan itu sebagai perisai diri telah mengakibatkan bertaburnya tragedi yang bukan hanya menyengsarakan kehidupan alam dan terancam punahnya habitat, tetapi juga potensial menenggelamkan manusia dalam kehancuran.

Dengan belajar dari kearifan yang diajarkan oleh Nabi, tentulah kita akan bisa mengembangkan nilai-nilai humanitas yang berbasis universalitas, karena dari dimensi terkecilpun, perilaku yang kita tunjukkan harus bermakna menghormati, menyayangi, dan melindungi.

Kalau terhadap burung saja, Nabi SAW sudah memberikan penghormatan, kasih sayang, dan advokasinya yang begitu besar dan istimewa, maka tentulah hal ini dapat di-qiyas-kan, bahwa perlindungan serupa yang berbasis kearifan harus kita tunjukkan dan kembangkan terhadap makhluk Tuhan lainnya di muka bumi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES