Kopi TIMES

22 Tahun Reformasi: Indonesia dalam Hegemoni Oligarki

Selasa, 19 Mei 2020 - 03:05 | 282.91k
Yusril Toatubun, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.
Yusril Toatubun, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Diskursus reformasi seringkali didengungkan sebagai gerakan kemenangan Civil Society  atas arogansi kekuasaa di Indoneseia. Sejauh mana anggapan itu masih relefan? Apakah reformasi memiliki resonansi  untuk mengubah lanskap politik menjadi lebih egaliter dan demokratis serta membebaskan Indonesia dari berbagai belenggu yang dipraktikan pada rezim orde baru? Mengapa dinamika dalam transisi reformasi justru dihegemoni oleh seglintir orang? Kemanakah prospek reformasi? 

Romantisme  reformasi yang terkesan euforia tanpa melibatkan perubahan progresif membawa Indonesia pada tanda tanya besar akan masa depan Indonesia yang lebih baik, sejahtera, adil, dan makmur akan segera  tercapai atau sebaliknya terkubur. Opressi Politik, Korporatisme, Diktatorialisme, Sentralitas kekuasaan, Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta pelbagai promblem sosial lain yang di lahirkan oleh rezim orde baru berujung pada protes sosial. Gerakan penolakan kepemimpinan yang diktator itu mendapatkan momentumnya pada 21 Mei 1998 ketika Sooharto menyatakan diri untuk mundur sebagai presiden akibat merebaknya protes sosial secara nasional.

 Gerakan rofomasi memperoleh legtimasi gerakannya secara geniune saat terjadinya krisis moneter meinmpa Indonesia  pertengahan tahun 1997 yang kemudian  tidak mampu di bendung lagi oleh rezim. Kenaikan BBM yang disusul kenaikan harga barang sembako dan kebtuhan masyarakat lainnya  semakin menyudutkan kehidupan  masyarakat dalam bingkai kemiskinan yang jauh dari  gambaran hidup sejahtera sebagaimana yang tertuang dalam amanat konstitusi dan gagasan pancasila sebagai ideologi. Gerakan  tersebut melahirkan beberapa tuntutan sebagai berikut, (1). Adili Soeharto dan kroni-kroninya. (2). Laksanakan amendemen UUD 1945. (3). Hapuskan Dwi Fungsi ABRI. (4). Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya. (5). Tegakkan supremasi hukum. (6). Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.

Meskipun berhasil menggulingkan rezim orde baru dan mengajukan berbagai tuntutan guna melangsungkan perubahan, reformasi  tampaknya tidak berhasil untuk mewujudkan gagasan-gagasan yang disodorkan dan terus dibanggakan hingga detik ini. Alih-alih mengawal dan meralisasi pelbagai tuntutan tersebut, para reformis justru terjerumus dalam ambisi politik pribadi dan kepentingan  kelompoknya. Hal ini selain mencerminkan gerakan yang tidak terintegrasi secara ideologis, juga menggambarkan api ideaslisme tidak bertahan lama dan padam ketika kekuasaan telah runtuh.

Seperti adagium yang diungkap oleh Hana Arendt, Bahwa Mereka yang revolusioner akan berubah menjadi konservativ ketika sehari revolusi selesai. Kekosongan struktur kekuasaan menjadi oase yang lebih menggiurkan para reformis ketimbang menyusun platform yang jelas akan agenda perubahan kearah yang demokratis, bebas korupsi, dan menciptakan perlakuan  persamaan hukum bagi setiap warga negara untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum. 

Kegagalan reformasi tampak tergambarkan dalam berbagai hal, terkekangnya kebebasan berekspresi dan berpendapat baik melalui regulasi maupun  perlakuan represif aparat, korupsi yang kian melambung tinggi dari tahun ke tahun tanpa berujung pada penyelesaian kasus dan minimnya transparansi, serta  praktik birokrasi yang masih terikat secara primordial dan feodal menjelaskan lebih lanjut kekosongan peran para aktor reformis dalam mengawal agendanya secara utuh.  

Sebagian besar dari aktor reformis pasca orde baru justru menduduki lembaga  legislatif, kehadiran mereka dalam parlemen  ternyata tidak untuk bertindak mewakili aspirasi masyarakat yang mendambakan perubahan, terutama yang terjamin dalam tuntutan reformasi, melainkan  justru mengokohkan dan mengakomodasi kepentingan sebagian  elite lama bekas kroni orde baru. 

Demokrasi yang diterapkan dalam periode reformasi tidak melahirkan suatu perubahan politik progresif, ketiadaan partai politik alternatif yang berbasis pada pergerakan rakyat seperti  buruh dan petani. Ketiadaan partai politik sebagai perangkat demokrasi yang berbasis pada rakyat tidak  sepenuhnya merupakan kontribusi dari polarisasi/fragmentasi dalam masyarakat, melainkan disebabkan oleh aspek prosedural pendirian partai yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat umum karna mahalnya biaya pendirian partai.

Partai  politik sebagai perangkat demokrasi  kelembagaan representatif sangat signifikan memberi harapan pada jalannya transisi politik, namun  berbagai regulasi hukum yang mengatur secara spesisfik mekanisme pendirian partai sudah sejak awal hanya memberikan  kemungkinan pada mereka, para oligarki yang memiliki kekayaan  melampaui kekayaan umumlah yang bisa mendirikan. Sampai disini, Kegagalan  mereformasi Indonesia tidak hanya menyangkut tuntutan yang tidak terealisasi secara optimal dan komprehensif, melainkan juga dikarenakan adanya persoalan yang lebih fundamental dan menghegemoni gerakan beserta para aktor gerakan tersebut tersebut. 

Kuasa Oligarki Pasca Reformasi

Pasca 1998, berbagai literatur dari peneliti politik terkemuka mengahadirkan ragam perspektif baru untuk menganilisis kembali proses keruntuhan rezim orde baru. Keruntuhan tersebut tidak lagi statis sebagai gerakan murni dari civil society melainkan akibat dari konflik faksi oligarki orde baru. Anlisis mutakhir ini menjadi menguat ketika Reformasi dengan embel sistem demokrasi justru lebih leluasa memeberi legitimasi untuk tumbuh  kembangnya kuasa oligarki ketimbang pada masa pemerintahan sebelumnya dimana oligarki terkungkung dalam sentralitas kekuasaan eksekutif. 

22 tahun reformasi berlangsung tanpa memiliki resonansi apapun, transisi demokrasi dan keadilan dicengkram oligarki, suara rakyat yang didaulat sebagai suara Tuhan seketika berubah sebagai daulat oligarki. RUUKUHP, RUU Cipta Lapangan Kerja Omnibus Law, dan Pengesahan atas perubahan UU Minerba yang dikehendaki secara sepihak oleh oemerintah dengan memanfaatkan pembatasan sosial ditengah wabah covid 19  adalah bagian yang integral dari interest oligarki.

Pemerintah berfungsi sekedar sebagai fasilitator dalam proses memperlancar dominasi kuasa oligarki melalui pelbagai kerangka hukum, ketimbang menjadi pelayan masyarakat. Ironisnya, sebagian besar  anggota parlemen yang ikut dalam pengegasahan dan perencanaan uu terkait, adalah bagian dari aktor reformis. Jadi, secara hemat , reformasi justru membentuk tatanan dimana para aktor yang dulunya progresif menuntut perubahan kini menjalin hubungan erat dengan para oligarki.

 Kenapa hal yang demikian ini bisa terjadi ? Kenapa kemudian mereka yang kritis kini terpojok secara politis ? Jawabannya ialah tesis akurat dari  Jeffrey A. Winters, bahwa ketidak setaraan kepemilikan material akan melahirkan ketimpangan politik. Dan runtuhnya  orde baru tidak kemudian membenarkan lenyapnya ideologi orde baru.  Kita tentu tahu, bahwa oligarki memiliki spesifikasi kekayaan yang melampaui kekyaan umum, konsentrasi kepemilikan material ini kemudian menjadi power untuk mendikte dan mendistorsi kebijakan negara.

Kesenjangan kepemilikian material berakibat langsung pada ketimpangan politik, para aktivis dan kalangan intelektual kritis yang ingin terjun dalam kekuasaan untuk mentransformasi keadilan tidak bisa kemudian mengabaikan cengkaraman oligarki yang dominan, mengingat cost politik Indonesia yang memang diseting mahal, pendirian partai politik yang hanya bisa dibangun dengan pendanaan yang besar, serta perangkat demokrasi lainnya yang hanya bisa didapatkan melalui akses oligarki, maka secara  otomatis mengharuskan terjalinnya relasi antara donatur politik dengan aktor politisi. 

Hubungan politis  ini pada akhirnya tidak bisa dikompromikan dengan kepentingan rakyat, keberhasilan politisi yang didukung oleh pendaan oligarki menjadikan kinerja politisi tidak untuk didistribusikan bagi rakyat, melainkan hanya untuk mengabdi pada kepentingan oligarki. Idelogi orde baru yang cenderung mengakomodasi kepentingan elite serta menghasilkan masyarakat yang apolitis tampak jelas. Masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, keputusan sepenuhnya berada ditengah pemerintah dan dipraktikan secara sepihak. Padahal, paraktik demokrasi yang substansial dan konstitusional ialah adanya keterlibatan rakyat.

Dinamika Reformasi justru menanmpakan keadaan yang kontras dengan kepentingan rakyat, merebaknya diskursus oligarki, distruth atas pemilu yang menghasilkan golput, serta munculnya ketidakpercayaan  masyarakat pada lembaga-lembaga representaif adalah bagian yang satu dari gagalnya gerakan reformasi. Menyongsong peringatan 22 tahun reformasi pada 21 mei mendatang, apalagi yang akan didengungkan? Apakah tetap pada romantisme sejarah? Atau sebaliknya menghadirkan reformasi jilid dua? 

Reformasi telah kehilangan kapasitas dan idealisme untuk mengubah tatanan yang hegemonik. Kondisi yang makin memberi karpet merah bagi oligarki sudah seharusnya diinterupsi kembali, reformasi jilid dua diperlukan untuk menegakan kembali walfare state dan meralisasi berbagai amanah konstitusi. Tanpa perubahan radikal yang mampu melenyapkan ideologi dan mentalisme orde baru, Indonesia tidak akan bisa keluar dari lumpur kuasa oligarki. Indonesia membutuhkan perubahan yang transformatif dan gerkan civil society  yang terintegrasi secara ideologis, tanpa gerkan yang transformatif dan ideologis, perubahan akan hanya bermakna euforia dan berjalan tenpa platform yang jelas.

***

*)Oleh: Yusril Toatubun, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES