Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Perdagangan Perempuan Sebagai Cermin Masyarakat Budak

Sabtu, 13 Juni 2020 - 13:32 | 66.63k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Ada adagium yang berbunyi “penjajahan oleh bangsa sendiri itu jauh lebih menyakitkan dan menyengsarakan dibandingkan dijajah bangsa lain”. Adagium ini dapat diperluas, “perbudakan oleh bangsa sendiri itu jauh lebih menestapakan dibandingkan dijajah bangsa lain”.

Tentu saja, dalam bentuk apapaun dan oleh bangsa manapun, namanya penjajahan atau perbudakan, tetaplah sebagai perilaku yang bermodus dehumanistik, cermin kesewenang-wenangan, dan kejahatan melawan kemanusiaan, yang seharusnya dijadikan musuh bersama (common enemy) oleh  setiap manusia dan bangsa manapun di muka bumi, apalagi jika itu dilakukan oleh bangsa sendiri.

Pertama, bangsa sendiri itu seharusnya berdiri di garis depan penjagaan atau perlindungan citra dari segala bentuk penyakit bertajuk penindasan, kedua. Bangsa sendiri adalah saudara se-nation yang seharusnya memahami kesulitan yang diderita saudaranya, dan bukannya justru menciptakan sumber malapekata kemanusiaan dan nasional, dan ketiga, sesama anak bangsa ini lebih tahu kondisi ketidakberdayaan yang menimpa sesamanya, yang seharusnya diberdayakan, dan bukannya diperdaya secara sistemik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam UDHR (Universal Declaration of Human Rights) Pasal 4 Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.

Dalam pasal 4 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga disebutkan, bahwa  Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Dari Deklarasi Universal dan UU HAM tersebut menunjukkan, bahwa segala bentuk perbudakan itu tergolong pelecehan dan pengamputasian martabat kemansiaan. Salah satu bentuk perbudakan yang dilarang dan dikutuk adalah memperdagangkan manusia (trafficking) dan bangsa lain. Kenapa memperdagangkn manusia ini diidentikkan dengan perbudakan?

Dalam  trafficking itu ada penjinakan kemerdekaan, ada pemasungan kebebasan, ada penafian ekspresi, ada perampasan berinovasi, dan ada penghilangan hak memilih, di samping  ada komulasi berbagai bentuk pezaliman yang diabsahkan olehpebisnis atau pedagangnya. Mereka yang terlibat dalam trafficking ini sama artinya telah atau sedang menjerumuskan orang dan bangsa lain dalam ketidakberdayaan, keteraniayaan, dan ketertindasan luar biasa.

Penjerumusan orang dalam lingkaran setan ketidakberdayaan dan keteraniayaan seperti yang kini sedang menimpa sebagian perempuan Indonesia, adalah  bentuk lain dari perbudakan gaya baru yang diabsahkan oleh kaum sindikat. Mereka atau pedagang dehumanisasi ini seringkali menggunakan PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia) khususnya yang “berplat hitam” yang berkolaborasi dengan oknum aparat dan birokrat, serta sindikat-sindikat internasional untuk memperdagangkan perempuan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sewaktu Meutia Hatta Swasono menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan (PP), ia menyatakan, bahwa tidak ada yang lebih kejam di dunia ini kecuali para pelaku kejahatan perdagangan manusia (perempuan dan anak-anak).

Menurut anak Proklamator Muhammad Hatta ini, masalah perdagangan perempuan dan anak-anak merupakan masalah serius yang harus ditangani secara profesional. Pasalnya, Indonesia hingga kini masih disebut-sebut sebagai negara pemasok dalam jaringan perdagangan perempuan dan anak-anak ke banyak negara di dunia. Perdagangan anak dan perempuan tidak hanya terjadi di satu wilayah saja. Hampir seluruh wilayah di Indonesia tidak luput dari sindikat perdagangan perempuan dan anak-anak.

Indonesia menjadi salah satu negara pemasok utama perdagangan perempuan dan anak-anak tersebut. Tidak hanya ke Singapura, Malaysia, dan negara ASEAN saja. Bahkan di Eropa pun ditemukan kasus misalnya perempuan Indonesia yang dijual untuk perkawinan pesanan dengan orang usia lanjut. Bisnis perdagangan perempuan dan anak-anak sekarang ini menduduki peringkat ketiga dunia setelah perdagangan senjata dan obat-obatan psikotropika dari segi keuntungan yang didapat.

Ironisnya, jaringan perdagangan perempuan bernama lingkaran setan itu menjadi sulit diurai dan diberantas akibat ulah sebagian oknum bangsa yang tega memngabsahkan saudara sendiri dan sebangsanya sebagai budak. Mereka bisa mengail keuntungan besar dari perdagangan ini dan terus menerus menebar jala untuk mendapatkan korban hingga ke pelosok-pelosok kampung demi mendulang pundi-pundi kekayaan berlimpah.

Proklamator Soekarno pernah juga pernah mengkritik keras pada bangsa ini, katanya “kita harus lawan setiap bentuk penjajahan, kita harus bekerja keras melawan kemalasan, kita harus bebaskan diri dari kebodohan, dan kita harus merdekakan diri dari status sebagai bangsa budak yang diperbudak bangsa lain, ”

Kritikan pedas tersebut menunjukkan, bahwa tugas kita bersama untuk menempatkan setiap bentuk perbudakan sebagai musuh bersama. Misalnya kalau praktik hukumnya masih setengah-setengah dalam menjatuhkan sanksinya terhadap pelaku perbudakan perempuan, maka nyali mereka tetap akan membara untuk mencari mangsa baru.

Kalau PJTKI tetap diberikan kelonggaran dalam mengirim TKI-TKW, maka peluang trafficking akan tetap semakin besar.

Tangan-tangan kotor dibalik trafficking akan tetap menjadikan setiap kelemahan kita sebagai kesempatan untuk memburu dan menaklukkan korban sebanyak-banyaknya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES