Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Negeriku: One For All And All For One

Sabtu, 13 Juni 2020 - 20:47 | 41.64k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGMENYADARI urgensinya hidup bersatu dalam perbedaan itu tidak semudah mempelajari dan memahaminya. Seseorang atau sekelompok orang diberi pemahaman atau wejangan tentang makna berbangsa dalam kesatuan dan kesatuan berbangsa sudah deimikian sering menerima, namun untuk ke ranah melaksanakan atau mengembangkannya tidak mudah.

Itu tidak lepas dari sikap kita yang mudah sekali mengobral dan meledakkan dendam dan kebencian serta rasa tidak ikhlas menerima  atau mengakui eksistensi pihak lain. Kita ini terkadang dengan gampangnya menempatkan orang atau pihak lain dengan kita anggap sebagai seseorang atau sekunpulan orang yang telah merampas atau merusak kesenangan, keyakinan, dan kebahagiaan kita.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pengamat sosial Ucok Unpad (2012) menyebut, bahwa Indonesia dibangun berdasarkan kesepakatan semua pihak. Tanah bangunanya terbentang mulai dari ujung Aceh sampai Merauke. Pondasinya terbuat dari lima sila yang digali dari sejarah bangsa. Sedangkan batu batanya adalah beragam suku, etnis, budaya dan agama dengan segala kemajemukanya dilapisi semen keinginan atau perasaan senasib akibat penjajahan untuk hidup bersatu sebagai sebuah bangsa. Artinya, Indonesia tidak elok jika dikatakan milik sepihak saja. Indonesia adalah satu untuk semua dan semua untuk satu (one for all and all for one).

Nabi Muhammad SAW dan para pendahulu, tidak sedikit yang memberikan teladan empirik mengenai praktik Islam non-misoginisme (tanpa kebencian). Pemikir kenamaan Bawa Muhayyadin dalam Islam for World Peace: Eksplanations of A Sufi (1987) menceritakan, tatkala Khalifah Umar memasuki kota Jerussalem, Uskup dari Makam suci Kristus menawarkan untuk menunaikan shalat di dalam gereja, namun Umar memilih salat di luar pintu.

Uskup itu bertanya pada Umar, “mengapa tuan tidak mau masuk ke gereja kami?”. “Jika Saya sudah salat di tempat suci kalian, para pengikut saya dan orang-orang yang datang ke sini pada masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini dan mengubahnya menjadi sebuah masjid. Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan ini dan agar gereja kalian tetap terjaga, maka saya memilih salat di luar”, demikian penjelasan Umar.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Khalifah Umar yang dikenal sebagai pemimpin yang sufi dan berkeadilan itu mengingatkan sang Uskup tentang makna pluralisme  dan kebebasan beragama atau cara berelasi dengan Tuhan secara inklusif-humanistik, meski Khalifah Umar juga memberikan warning mengenai kemungkinan adanya sekelompok orang yang berlaku radikal dan bermaksud menggsur tempat ibadah.

Bagi khalifah Umar, tempat ibadah merupakan cermin suci dan mendasar bagi komunitas beragama, sehingga ketika Uskup itu menawarkan shalat di dalam gereja, khalifah tidak semata berfikir tentang agama yang sedang dipeluknya, tetapi juga menjatuhkan sikap politik keagamaan yang arif, bening, demokratis, dan prospektif humanistik, bahwa di kemudian hari, yang harus ditegakkan pemeluk agama apapun.

Keputusan khalifah juga bukan dimaksudkan untuk tidak toleran dan apalagi melecehkan terhadap demokratisasi keagamaan yang ditawarkan pihak Uskup, tetapi sebagai wujud advokasi kepentingan komunitas beragama lain dari kemungkinan tangan-tangan radikal dari kelompok lainnya.

Nabu Muhammad SAWmengingatkan, ”tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai saudaranya sama dengan mencintai dirinya”, yang sabda ini mengajarkan tentang kewajiban mencintai sesama manusia tanpa sekat etnis, politik, budaya, dan agama. Beliau meminta setiap  manusia untuk berusaha maksimal menegakkan hak-hak orang lain.

Kalau pemeluk agama itu memang benar-benar beragama (beriman), maka terlarang hukumnya menciptakan gaya beragama yang mendehumanisasikan dan menterorismekan sesamanya.

Pemeluk agama lain, wajib diperlakukan sebagai subyek yang bertmartabat seperti pola perlakuan yang diberlakukan pada dirinya sendiri. Artinya, secara universal, pemeluk agama dari manapun, pastilah mencintai hidup harmoni dan damai dengan sesamanya, sehingga tidak boleh dibiarkan hidupnya terluka atau sengsara, baik akibat dirinya maupun kelompoknya.

Kalau agama non misoginisme  itu bisa diwujudkan, maka wajah agama nan demokratis dan memanusiawikan benar-benar akan terbuktikan hadir dan bukan tidak mungkin menguat di tengah masyarakat. Seseorang atau sekelompok orang beragama yang terus berupaya demikian akan membuat hidupnya menjadi lebih bermakna.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES