Motivasi Perilaku Manusia Berdasarkan Pemahaman Al Qur’an

TIMESINDONESIA, MALANG – Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya berupa rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu. Dengan demikian, motivasi merupakan dorongan yang terdapat dalam diri seseorang untuk berusaha mengadakan perubahan tingkah laku yang lebih baik. Motivasi sebagai konstruk hipotesis yang digunakan menjelaskan keinginan, arah, intensitas dan keajegan perilaku yang diarahkan pada tujuan.
Moslow sebagai tokoh motivasi aliran humanism, menyatakan bahwa kebutuhan manusia secara hierarkis semuanya ada pada diri manusia. Kebutuhan mendasar tersebut mencakup kebutuhan fisiologis (sandang, pangan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang kebutuha dihargai, dihormati dan kebutuhan aktualisasi diri. Teori ini dikenal sebagai teori kebutuhan (needs).
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id
Teori Psikoanalisa dari Freud menyebut bahwa manusia mempunyai Id, Ego dan Superego yang menjadi pusat instink yang menyimpan dorongan-dorongan biologis, yang menjadi motif dan tingkah laku manusia. Menurut Freud manusia adalah makhluk berkeinginan (Homo Valens) yang tingkah lakunya digerakkan oleh keinginan-keinginannya yang terpendam di alam bawah sadarnya. Dalam bahasa agama, dorongan-dorongan biologis (libido) yang terpendam di alam bawah sadar seperti yang dimaksud Freud dapat disebut sebagai hawa nafsu. Lebih lanjut mekanisme perilaku berdasarkan urutan (sequence) digambarkan sabagaimana berikut:
Konsep tentang manusia dalam pandangan aliran psikologi berbeda. Psikoanalisis, aliran yang dipelopori Sigmund Freud berpandangan bahwa manusia adalah makhluk hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan libido (id) dan memandang manusisa sangat ditentukan masa lalunya. Psikologi Behaviorisme yang dimotori B.F Skinner memandang manusia lahir tidak membawa bakat apa-apa dan bahwa manusia melakukan respon terhadap suatu rangsangan. Sedangkan Psikologi Humanisme yang dimotori Abraham Moslow berpandangan bahwa manusia itu baik dan bahwa potensi manusia tidak terbatas.
Dalam hal motif sebagai penggerak tingkah laku, al Qur’an mengintrodusir istilah yang disebut fitrah dan syahwat, dua hal yang menjadi pijakan psikologis tingkah laku manusia. Berbeda dengan teori psikoanalisa yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang rendah, yakni tunduk terhadap keinginana bawah sadarnya, atau teori behaviorisme yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang rapuh, yang tidak mampu melawan lingkungan, maka al Qur’an menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemerdekaan. Menurut al Qur’an manusia memiliki fitrah sebagai makhluk yang positif, meskipun dia mungkin jatuh terjerembab karena tidak mampu menggunakan potensi dirinya ketika menghadapi realitas.
Dari segi bahasa, fithrah mempunyai arti belahan, muncul, kejadian dan penciptaan. Jika orang menyebut fithrah manusia, maka yang dimaksud adalah keadaan semula atau bawaan sejak lahir manusia. Dalam al Qur’an, kata fithrah dengan berbagai bentuknya disebut sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas di antaranya dalam konteks uraian bumi dan langit, sisanya disebut dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik yang berhubungan dengan fitrah penciptaan maupun fitrah keberagamaan yang dimilikinya. Dalam Al Qur’an disebutkan:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dalam perspektif ini manusia telah didesain jiwanya untuk beragama secara benar, memiliki fitrah diri yang positif, meskipun ada di antara mereka yang tidak mengembangkan potensi positipnya sehingga yang berkembang justru potensi negatifnya. Ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia itu disiapkan untuk berbuat baik, dan untuk itu manusia mudah untuk melakukannya karena sesuai dengan fitrahnya. Dan jika seseorang mengerjakan hal buruk, maka orang itu terpaksa harus ekstra kerja keras harus bersusah payah, karena ia harus melawan fitrah asalnya, melawan hati nuraninya
1) Syahwat
Kalimat Syahwat berasal dari bahasa Arab Syahiya-Syaha-yasha-Syahwatan, secara lughowi berarti menyukai dan menyenangi. Sedangkan pengertian Syahwat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya. Dalam Al Qur’an, kata Syahwat terkadang dimaksudkan untuk objek yang diinginkan, tapi di ayat lain digunakan untuk menyebut potensi keinginan manusia. Syahwat digunakan Al Qur’an untuk menyebut hal-hal yang berhubungan dengan syahwat seksual, Berhubungan dengan mengikuti pendapat orang karena menuruti hawa nafsu, dan yang berhubungan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan serta kesenangan.
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). QS Al Imran (3):14; Maryam (19):59
Ayat tersebut di atas menyebut syahwat sebagai potensi keinginan manusia. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan kesenangan kepada wanita (seksualitas), anak-anak (kebanggaan), harta kekayaan (kebanggaan, kesombongan, kemanfaatan), binatang ternak (kemanfaatan, kesenangan), sawah ladang (kemanfaatan, kesenangan). Dengan demikian maka kecenderungan manusia kepada kesenangan seksual, harta benda dan kenyamanan menurut al Qur’an adalah manusiawi.
2) Hawa Nafsu
Syahwat bersifat manusiawi, artinya jika seseorang menunaikan syahwatnya dengan mengikuti prosedur yang benar, maka penuaian syahwat tersebut bisa dinilai ibadah. Tetapi sebaliknya bila memanjakan syahwat tanpa mempedulikan nilai-nilai syariah maupun akhlak, atau syahwat kepada sesuatu yang sifatnya rendah, maka itu merupakan perwujudan dari hawa atau hawa nafsu. Cirri hawa nafsu adalah ingin segera mungkin meraih kepuasan, dan tidak perduli terhadap akibat, baik akibat bagi diri sendiri maupun akibat bagi orang lain.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Kukuh santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Ketua Takmir Masjid Ainul Yaqin Universitas Islam Malang (UNISMA).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Publisher | : Rochmat Shobirin |