
TIMESINDONESIA, DENPASAR – Bali sebagai Pulau yang dipenuhi masyarakat Kota, sama halnya daerah Metropolitan lainnya seperti Jabodetabek sebagai daerah yang terkenal dengan Kawasan Industrinya. Bandung dengan Fesyennya, Yogyakarta sebagai kota Pelajar dan Budayanya yang kental.
Tercatat bahwa orang-orang yang menduduki Bali sebagiannya berasal dari orang luar Pulau, baik yang lokal dan asing. Entah karena kepentingan mengadu nasib ataupun berlibur dan menetap di Bali. Yang jelas Bali itu adalah tempat dimana pusat-pusat Wisata, Budaya, dan Ekonomi jadi satu.
Advertisement
Alih-alih menjadi tempat yang kental dengan sepakbolanya, Bali justru lebih tenar sebagai tempat yang menyuguhkan tempat rekreasi dan hiburan. Keindahan Bali banyak membuat orang datang dan berkumpul, sehingga menciptakan berbagai macam struktur dan sistem sosial baru di Bali.
Ada begitu banyak akulturasi yang terjadi di Bali, seperti sudah banyak diketahui pencampuran Budaya
Hindu dan Budaya Bali yang membuat orang mengenal Bali sebagai tempat yang mayoritasnya memeluk Agama Hindu. Meski begitu, Bali ternyata mempunyai kontrol sosial baru yang berhasil mencuri perhatian sebagian masyarakat Bali.
Ia adalah Bali United, karena dasarnya banyak dari masyarakat Indonesia menyukai sepakbola. Tak berbeda dengan masyarakat Bali yang juga sama-sama menggandrungi Sepakbola.
Bali United merupakan representatif dari kontrol sosial Kota di Bali yang bermuara pada ranah Persepakbolaan Nasional. Menjadikan klub ini sebagai pusat perhatian utama selain hiburan gemerlap lainnya di Bali.
Terbilang cukup mudah jika diukur semenjak namanya berganti jadi Bali United. Bali United awalnya adalah klub asal Samarinda yang bernama Persisam Putra-Samarinda. Sebuah klub yang mapan dan profesional pastilah memiliki identitas atau Branding yang musti jadi syarat wajib untuk membentuk pola manajemen yang sehat.
Oleh karenanya, semenjak berpindah ke Bali. Klub ini dengan lambat laun berubah menjadi klub yang berkembang dan maju. Gebrakan yang dilakukan antara lain melakukan Publikasi dengan bertahap dan inovatif. Menyasar pada target audiens yang heterogen agar memancing orang untuk mendukung Bali United dengan “abadi” yang tidak memandang tim baik saat kalah maupun menang.
Hal itu dapat dicapai dengan Branding. Karena Branding yang kuatlah klub dapat menampilkan kompetensi, kualitas, citra dan prestise yang baik untuk penggemarnya (Pedersen, 2004). Sejalan dengan apa yang disampaikan (Ja Joon Koo, 2019) yang mengklasifikasikan Branding pada sebuah tim sepakbola itu terbagi atas dua, produk dan non-produk.
Apa yang jadi identitas produk adalah Prestasi, Pemain, Pelatih, Merchandise, Sponsor dan Pengalaman Kelompok dalam hal ini ialah supporter. Sedangkan untuk yang non-produk ia lebih mengarah pada Sejarah, Tempat, dan Pemilik Klub. Dari kedua identitas ini, Bali United sebagai tim “pindahan” memang tidak begitu kuat dari segi identitas Non-Produknya.
Dalam perjalanannya Bali United menjadi pusat perhatian Masyarakat Bali. Mulai dari Kota seperti Denpasar, Kabupaten seperti Gianyar dan desa-desa kecil yang mengelilinginya. Ia menjadi kebanggaan bagi warga Bali. Sebab, Klub yang lahir pada 15 Februari 2015 ini berhasil mendapatkan beberapa Prestasi gemilang seperti Runner-Up Liga 1 2017 dan Piala Presiden 2018 serta menjadi Juara Liga 1 2019 dan dua kali mewakili Indonesia di AFC Cup.
Selain itu, sebab yang memicu kebanggaan masyarakat Bali adalah Manajemen yang kreatif dan terbuka. Hal itu dibuktikan dengan penguatan dalam Branding Produk yang meliputi Prestasi, Pemain, Pelatih, Stadion, Merchandise, dan Sponsor serta Pengalaman Kelompok atau Supporter.
Adanya beberapa kemampuan inilah, Bali United berhasil berubah menjadi salah satu klub yang disegani dan memberi impak besar pada pendukungnya, terkhusus Masyarakat Bali itu sendiri.
Serdadu Tridatu berandil besar dalam gaya hidup masyarakatnya yang acapkali mengkonsumsi budaya perkotaan. Selain karena masyarakatnya kebanyakan hidup di Kota, hal itu dipicu oleh peleburan budaya barat yang dibawa turis mancanegara ke Bali. Seperti kebiasaan pergi nongkrong ke cafe, kelab, atau pantai.
Terlebih anak mudanya, hal tersebut seperti sudah menjadi kebiasaan. Salah satunya Gede Abdi, sudah biasa menghabiskan waktu malamnya dari satu kelab malam ke kelab malam lainnya. Kebiasaan ini ia lakukan bertahun-tahun lamanya.
Kendatipun demikian, Abdi bisa mengubah gaya hidup yang kurang baik itu beralih menjadi kegiatan yang positif. Terhitung dari 2015 ia berhasil meninggalkan kebiasaan lamanya. Kesukaan mendengarkan house music di kelab malam berubah menjadi kesukaan mendengarkan ritme ketukan snare, bass dan drum dari Semeton Dewata di tribun Stadion I Wayan Dipta.
Jika meminjam kacamata Habitusnya Bourdieau, dimana mendefinisikan habitus sebagai proses pembelajaran dan pelatihan yang dilalui dengan sangat halus, tidak sadar, dan tampil dengan wajar (Takwin, 2009). Penekanannya ada pada struktur sosial yang dibatinkan dan internalisasi dari tiap-tiap individu dari masyarakat yang dipelajari dari struktur dunia sosial (Fashri, 2014).
Apa yang telah Abdi lalui akan menghasilkan implikasi yang merujuk pada habitus clubbing di kelab dan chanting di tribun yang Abdi pelajari, latih dengan tidak sadar dan halus yang kemudian diwajarkan oleh struktur sosial yang ada, lalu hal tersebut membatin didalam diri untuk kemudian diolah menjadi nilai-nilai dengan perspektif pengalamannya.
Terkhusus untuk hal suporter, Manajemen Bali United sempat berdiskusi bersama dengan kelompok suporter untuk menentukan sebutan nama pendukung Bali United agar tidak terjadi suporter tandingan, pemilihan ketua umum, dan pemilihan stadion. Jika ditilik dari teori Ashobiyyah’ (Group-Feeling). Dalam hal Semeton Dewata, itu termasuk kedalam ashobiyyah penggabungan, yaitu ashobiyyah yang terjadi karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya dan bergabung pada keluarga dan kaum lain (Affandi, 2004).
Sepakbola juga dapat membuat pengatur sosial yang jitu untuk membangun tatanan masyarakat yang maju. Bali United jadi bukti bahwa Klub Bola juga dapat memberi manfaat bagi Sepakbola Pembangunan, dan Masyarakat. (*)
*) Penulis: Hudoyo, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |