Bung Karno, Presiden yang Tak Pernah Punya Rumah Pribadi

TIMESINDONESIA, BANDUNG – 50 tahun yang lalu, tepatnya 21 Juni 1970, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. H. Soekarno, wafat di Jakarta dalam usia 69 tahun. Keesokan harinya jenazah diterbangkan ke Jawa Timur untuk dimakamkan di samping ayahbundanya di pemakaman Bendogerit, Kota Blitar, Jawa Timur.
Di sepanjang perjalanan iring-iringan jenazah, rakyat berduyun duyun melepas jenazah, larut dalam keharuan dan isak tangis. Presiden Soeharto mengumumkan hari berkabung nasional dan bendera merah putih dipasang setengah tiang selama seminggu.
Advertisement
Tulisan berikut ini untuk memperingati 50 tahun wafat Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi yang menyebut dirinya sebagai 'Penyambung Lidah Rakyat'.
Soekarno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901. Ayahnya, Raden Sukemi Sosrodihardjo berprofesi sebagai guru sekolah kelas dua. Ibunya bernama Ida Nyoman Rai. Lahir dengan nama Kusno, namanya diganti menjadi Soekarno saat berumur lima tahun karena sakit-sakitan. Nama Soekarno diilhami dari nama Karna dalam pewayangan, tokoh ksatria yang pandai membalas budi. Soekarno sejak kecil menyukai wayang dan mengagumi tokoh bernama Bima yang tegas dan selalu berjuang menegakkan keadilan. Ia mempunyai seorang kakak bernama Sukarmini.
Sukemi mendidik Soekarno dengan disiplin keras. Sarinah (pembantu di rumahnya) amat menyayanginya. Tidak heran nama Sarinah diabadikan menjadi toko serba ada yang pertama di Indonesia.
Soekarno menuntut ilmu di sekolah desa di Tulungagung hingga kelas lima. Kemudian ayahnya menyekolahkannya di ELS (Europese Lagere School). Ia harus mengikuti les Bahasa Belanda untuk menutupi kekurangannya dalam mata pelajaran itu.
Setamat ELS pada usia 15 tahun ia diterima di HBS (Hogere Burger School) di Surabaya atas bantuan Tjokroaminoto. Ia pun mondok sambil berguru pada Ketua Sarekat Islam itu. Di tempat itu mondok pula Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Agus Salim, Muso, Alimin, Kartosuwiryo dan Darsono. Bahkan Tan Malaka pernah mondok di rumah ini. Mereka pun sering bertukar pikiran satu sama lain.
Di kota ini pula pada usia 16 tahun ia menjadi anggota Tri Koro Darmo (Tiga Tujuan Suci) yang kelak bernama Jong Java. Dari berbagai muridnya, Tjokroaminoto paling suka dengan Soekarno, hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno.
Pesannya kepada para muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi Ppemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Perkataan ini membius murid-muridnya, hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato, sampai membuat kawannya, Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.
Setelah menamatkan studinya di HBS, pada Juni 1921 ia melanjutkan studinya di THS (Tenische Hogere School) di Bandung. Atas bantuan Tjokroaminoto pula ia mondok di rumah Haji Sanusi. Di kota ini ia bergabung dalam Algemene Studieclub yang dididirikan di Bandung pada 29 November atas inisiatif bekas anggota Perhimpunan Indonesia, tokoh nasionalis Kota Bandung dan para mahasiswa THS.
Ia pun menjadi 'Singa Podium' dan dipercaya memimpin majalah bulanan Indonesia Moeda. Di majalah ini Sukarno menulis Nasionalisme-Islamisme-Marxisme dan melihat kesamaannya dalam menentang kapitalisme imperialisme dan kolonialisme.
Soekarno sempat cuti dari kuliahnya karena mertuanya, Tjokroaminoto, sakit. Ia pun harus bekerja di jawatan kereta api untuk membiayai keluarga. Pada saat itu ia pun menceraikan istrinya, Oetari, dan menyerahkannya kepada Tjokroaminoto.
Tidak lama kemudian ia menikah dengan Inggit Garnasih, induk semangnya. Setelah menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1926 ia terjun sepenuhnya ke politik dan mendapat dukungan sepenuhnya dari Inggit.
PNI dan Marhaenisme
Soekarno sempat menjalankan profesinya sebagai insinyur dan turut merancang beberapa bangunan di Bandung seperti Hotel Preanger dan sebuah sekolah serta rumah di Jalan Gatot Subroto. Namun panggilan politik lebih kuat dan ia pun mendirikan partai bernama PNI (Partai Nasional Indonesia).
Suatu ketika Sukarno mengayuh sepedanya di area pesawahan Bandung Selatan dan bertemu seorang petani bernama Marhaen. Nama itu kemudian digunakannya sebagai nama paham hasil penggaliannya, Marhaenisme.
Pada tahun 1930, pemerintah kolonial menyeret Soekarno dan rekan-rekannya ke pengadilan Kabupaten Bandung. Pengadilan menuntut Soekarno dengan hukuman empat tahun, Gatot dengan hukuman dua tahun, Maskun dengan hukuman 20 bulan dan Supriadinata dengan hukuman 15 bulan. Soekarno mengajukan pembelaan yang kemudian dibukukan menjadi 'Indonesia Menggugat'. Buku ini menarik perhatian dunia internasional.
Sukarno menjalani hukuman di Penjara Banceuy, kemudian Penjara Sukamiskin. Sementara itu PNI dibekukan oleh Sartono, tokoh PNI yang tidak ikut ditangkap. Sementara Mohammad Hatta dan Sjahrir membentuk PNI-Baru.
Saat keluar dari penjara Soekarno mencoba menyatukan keduanya namun tidak berhasil. Ia pun bergabung dengan Partindo yang dipimpin Sartono. Pada kongres Partindo yang pertama ia terpilih menjadi ketua, membuka cabang di berbagai kota dan menerbitkan majalah Fikiran Ra'jat. Pada saat inilah ia menulis risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933). Pemerintah Belanda di bawah Gubernur Jendral De Jonge menangkapnya. Tanpa proses pengadilan Soekarno dibuang ke Ende, Flores.
Pada 17 Februari 1934, Bung Karno berlayar menuju tempat pembuangan didampingi istrinya Inggit Garnasih, ibu mertua dan putri angkatnya, Ratna Djuami. Di Ende, Sukarno memperdalam agama Islam dan berkorespondensi dengan A. Hasan, ulama dari Bandung. Surat menyurat mereka diterbitkan dengan judul 'Surat-surat Islam dari Ende'.
Pada awal 1938, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu. Di sini ia menjadi Ketua Bidang Pengajaran Muhammadiyah dan aktif menulis artikel keislaman pada majalah Panji Masyarakat. Selain itu ia juga turut merancang arsitektur Masjid Raya Bengkulu yang masih terpelihara hingga kini.
Ia juga mendirikan kelompok sandiwara seperti waktu berada di Ende. Ia menulis naskah menjadi sutradara dan bermain. Kegemarannya melukis nampaknya tidak tersalurkan seperti saat di Ende. Ia justru jatuh cinta pada Fatmawati putri Hasan Din, aktivis Muhammadiyah. Fatmawati adalah teman sekolah putri angkatnya, Ratna Juami. Hubungan dengan Inggit mulai retak.
Ketika Jepang mendarat di Palembang, ia dilarikan pemerintah Belanda ke Padang. Ia kemudian dibawa tentara Jepang ke Jawa dan pada Juli 1942 mendarat di pelabuhan Pasar Ikan Jakarta.
Jepang yang mempropagandakan diri sebagai "saudara tua" memanfaatkan Sukarno untuk menghimpun massa melalui Putera (Pusat Tenaga Rakyat) bersama Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. Mas Mansyur.
Melalui Putera, Jepang mengerahkan romusha (kerja paksa) yang mendapat protes dari para pemuda. Putera kemudian dibubarkan dan pada tahun 1944 berdiri Jawa Hokokai yang dipegang Gunseikan dan Soekarno menjadi penasihatnya.
Jepang melaui PM Koiso pun berjanji akan memberi kemerdekaan. Jepang mengundang Sukarno dan Hatta ke Saigon pada 9 Agustus 1945 dan memberi wewenang kepada keduanya menentukan saat kemerdekaan Indonesia. Kembali ke Indonesia, Sukarno berpidato bawa sebelum jagung berbunga Indonesia sudah merdeka.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, lewat pidatonya Bung Karno mengajukan lima butir pemikiran yang kemudian ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia merdeka dan diberi nama Pancasila. Karena itu ia dipandang sebagai penggali Pancasila.
Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu pada 14 Agustus 1945, menyusul dijatuhkannya bom atom oleh AS di Nagasaki dan Hiroshima. Para pemuda menculik Sukarno dan Hatta tanggal 16 Agustus 1945 dan membawa mereka ke Rengasdengklok. Namun malamnya mereka dibawa kembali ke Jakarta atas upaya Ahmad Subardjo. Malam itu diadakan rapat PPKI.
Menjelang dinihari teks Proklamasi sudah tersusun. Pada hari Jumat bulan Ramadhan, tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB, Sukarno -atas nama bangsa Indonesia- membacakan teks Proklamasi Kemerdekaaan itu di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Lahirlah Negara Indonesia yang merdeka.
Pada 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang di Gedung Kesenian Jakarta. Sidang memilih Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Sidang juga mengesahkan Undang-undang Dasar dan menetapkan bahwa presiden dibantu oleh Komite Nasional.
Soekarno membentuk kabinet dan membentuk Badan Keamanan Rakyat. Sutan Sjahrir memainkan perannya dalam KNIP dan "membentuk" Kabinet Parlementer.
Pada bulan September, NICA datang membonceng Sekutu yang melucuti tentara Jepang. Pada 4 Januari 1947 ibukota pindah ke Jogjakarta.
Sjahrir bermanuver dan menjadi Perdana Menteri. Tentangan datang dari Persatuan Perjuangan (PP) yang dipimpin Tan Malaka. Pada tanggal 27 Juni 1946, Sjahrir dan sejumlah menteri diculik PP. Dengan wibawanya Soekarno bisa membebaskan Sjahrir. Pada 3 Juli 1946, PP memaksa Soekarno menandatangani perombakan pemerintahan, namun gagal.
Setelah Sjahrir, Amir Sjarifuddin menjadi perdana menteri. Belanda melancarkan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Pada 17 Januari 1948 ada perundingan Renville yang menimbulkan pertentangan. Kabinet Amir jatuh karena PNI dan Masyumi mundur. Hatta diberi mandat oleh Soekarno untuk membentuk Kabinet Presidensial. Kabinet Hatta didukung PNI dan Masyumi, tapi ditentang PKI.
Pada tahun 1948, PKI di bawah Muso melakukan pemberontakan. Soekarno melalui radio meminta rakyat mendukung Soekarno-Hatta dan menentang Muso-PKI. Pada 30 September 1948, Kota Madiun bisa direbut kembali dari pemberontak.
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi II. Soekarno-Hatta memilih tidak bergerilya karena pasukan yang tidak kuat untuk mengawal mereka keluar Yogyakarta. Alasan lain, karena ingin terus berhubungan dengan KTN (Komisi Tiga Negara), agar bisa berunding dengan Belanda. Akibatnya Sukarno-Hatta ditawan. Sukarno, Sjahrir dan Agus Salim ditawan di Parapat dan Berastagi, Sumatra Utara. Hatta ditawan di Bangka. Kemudian Soekarno dipindahkan ke Bangka.
Saat terjadi agresi, Soekarno memberi mandat pada Sjafruddin Prawiranegara di Sumatra untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI berfungsi sampai perjanjian Roem-Royen yang membebaskan Sukarno-Hatta dan memulihkan Yogyakarta sebagai ibukota. Pada 13 Juli 1949, Sjafruddin mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Demokrasi Liberal
Setelah itu, ada Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda di Den Haag yang menetapkan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS kemudian diubah menjadi NKRI pada tahun 1950. Soekarno tetap presiden. Undang-undang Dasar yang digunakan adalah UUDS tahun 1950. Kekuasaan eksekutif berada di tangan PM. Presiden sebagai lambang. Inilah praktik demokrasi liberal yang tidak disukai Soekarno.
Partai yang ada saat itu diantaranya: PNI, PKI, PSI, Partai Murba dan PSII. Kurun waktu ini ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet, dimulai dengan Kabinet Natsir sd. Kabinet Djuanda. Pada kurun waktu ini memburuk pula hubungan parlemen dan militer.
Semasa Kabinet Wilopo terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952 yang pada pokoknya tuntutan pihak militer mengenai otonomi Angkatan Darat (AD) dari campur tangan parlemen. Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Kolonel A.H. Nasution, mendesak Presiden Soekarno untuk membekukan parlemen dan untuk sementara memegang pimpinan nasional bersama Mohammad Hatta.
Rakyat pun berdemonstrasi menuntut pembubaran parlemen. Soekarno menolak desakan itu dan menyatakan akan menyelidiki dahulu keinginan rakyat di luar Jakarta serta mempercepat Pemilu.
Sementara itu pemerintah dihadapkan dengan berbagai pemberontakan seperti DI/TII, RMS dan gerakan provinsialisme/separatisme.
Untuk mengatasi masalah ketidakatabilan politik itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Konsepsi Presiden :
1. Oleh karena Demokrasi Parlementer ala Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, sistem itu harus diganti dengan sistem Demokrasi Terpimpin;
2. Untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu Kabinet Gotong Royong dengan anggota terdiri atas semua partai dan organisasi berdasarkan kekuatan di dalam masyarakat;
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari atas golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini bertugas memberikan nasihat kepada kabinet, baik diminta ataupun tidak.
Sementara itu, Dewan Konstituante, yang merupakan produk demokrasi liberal, lebih banyak menjadi ajang perdebatan yang berlarut-larut dan tidak berhasil memenuhi tugasnya menyusun Undang-undang dasar. Kegagalan ini mendorong Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dengan dekrit ini, Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin
MPR Sementara (MPRS) dikendalikan Presiden. Karena itu ada yang mengkritik. Apalagi Masyumi dan PSI dibubarkan. Meski demikian ada hal hal positif. PRRI dan Permesta di Sumatra dan Sulawesi Utara dapat ditumpas. Pasukan DI/TII di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan dapat dihancurkan.
Untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda, Bung Karno mengucapkan komando Trikora di Alun-alun Yogyakarta. Usaha untuk membeli senjata dari Barat tidak berhasil, karena Indonesia membeli dari Uni Soviet. Akhirnya Irian Barat kembali ke pangkuan RI.
Keluar dari PBB
Pada tahun 1960 Presiden Soekarno menyampaikan pidato "To Build The World a New" menghendaki tatatanan dunia baru. Soekarno juga mengecam PBB sebagai alat imperialis. Kebenciannya terhadap kolonialis dan imperialis makin bertambah ketika Inggris memprakarsai terbentuknya Federasi Malaysia yang dianggapnya sebagai usaha imperialis mengepung Indonesia.
Sewaktu PBB menerima Malaysia sebagai anggota, bahkan anggota Dewan Keamanan, Soekarno memerintahkan Indonesia keluar dari PBB dan memprakarsai pembentukan Conefo. Upaya ini didukung RRC, Mesir dan Yugoslavia. Sukarno kemudian menyelenggarakan Ganefo pada tahun 1963. Gagasan membuat tandingan PBB dan olimpiade ini gagal karena meletusnya Gestok tahun 1965.
Percobaan Pembunuhan
Tanggal 30 November 1957, ketika mengunjungi sebuah bazar di Gedung Perguruan Cikini, empat buah granat tangan dilemparkan ke arahnya. Bung Karno selamat. Pada 9 Maret 1960, sebuah peluru roket ditembakkan kepadanya oleh Maukar dari sebuah MiG-17 AURI ke beranda dalam Istana Merdeka, beberapa meter dari tempat ia duduk. Ia selamat.
Tahun 1962, ketika sedang melaksanakan salat Idul Adha di halaman belakang Istana Merdeka, seseorang yang berada beberapa baris di belakangnya menembakkan enam peluru pistol dari jarak empat meter. Saat itu ia sedang dalam posisi rukuk. Ia selamat.
Keluarga
Pada tahun 1921 Soekarno menikah dengan Oetari, putri sulung H. Oemar Said Tjokroaminoto. Saat itu usia Oetari 16 tahun dan Soekarno baru memulai kuliahnya di THS. Mereka menikah selama setahun.
Setelah mengembalikan Oetari secara baik baik kepada orangtuanya, pada tahun 1923 ia menikahi Inggit Garnasih, janda H. Sanusi. Usia Inggit lebih tua 11 tahun dari Sukarno. Inggit adalah pendorong perjuangannya. Dengan Inggit ia tidak memiliki keturunan. Ia memiliki dua anak angkat, salah satunya adalah Ratna Juami, masih kemenakan Inggit. Soekarno dan Inggit kemudian bercerai.
Pada tahun 1943, Soekarno menikah dengan Fatmawati, putri Hasan Din, pemuka Muhammadiyah di Bengkulu. Dari Fatmawati ia memperoleh lima anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh.
Kemudian Soekarno menikah dengan Hartini, seorang janda dari Jawa Tengah. Mereka memiliki dua anak: Taufan dan Bayu. Soekarno juga mengawini Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi) dan memiliki seorang anak perempuan bernama Kartika. Ia juga menikah dengan Haryati ( dan mereka bercerai tahun 1966). Soekarno juga menikah dengan Yurike Sanger dan Kartini Manopo.
Gestok
Kedudukan Soekarno yang demikian kuat menyebabkan kekuatan sosial politik mencari perlindungan kepadanya. Praktik ini dijalankan juga oleh PKI. Pada 1964, PKI membuat biro khusus di bawah pimpinan DN. Aidit. Sejak 6 September 1965, biro khusus mengadakan rapat-rapat rahasia dengan beberapa oknum perwira TNI yang telah mereka bina.
Sakitnya Soekarno pada 4 Agustus 1965 mendorong PKI mempercepat rencananya melakukan gerakan. Gerakan dilakukan dinihari 1 Oktober 1965 dipimpin oleh Kolonel Untung. Pasukan menculik dan membunuh Letjen A. Yani, Mayjen Haryono, Brigjen Panjaitan, Mayjen Suprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetoyo, dan Lettu Tendean. Hanya Jenderal A.H. Nasution yang lolos.
Pasukan pemberontak juga menduduki RRI dan Pusat Telekomunikasi. Pemberontakan itu hanya berlangsung 12 jam dan ditumpas Kostrad dan RPKAD. Dengan dikuasainya lapangan terbang Halim Perdanakusuma sebagai pusat Gestok, secara militer gerakan ini sudah dipatahkan. Soekarno diamankan oleh para pengawalnya dari Jakarta ke Istana Bogor.
Soekarno dianggap tidak tegas mengutuk Gestok. Timbul aksi demonstrasi dari mahasiswa dan pelajar dengan tiga tuntutan (Tritura) : Pembubaran PKI, Perombakan Kabinet dan Penurunan Harga-harga. Protes yang semula tertuju pada pembubaran PKI bergeser ke pelengseran Sukarno.
Mayjen Basuki Rakhmat, Brigjen M. Yusuf dan Mayjen Amir Machmud datang menghadap presiden membawa pesan kesanggupan Mayjen Sukarto untuk menguasai keadaan. Sukarno memberi Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk Suharto yang dijadikan dasar oleh Suharto membubarkan PKI.
Nawaksara
Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di depan sidang MPRS berjudul Nawaksara, tapi kekacauan makin bertambah. Dalam Sidang Istimewa MPRS awal Maret 1967 diambil keputusan mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno dan mengangkat Mayjen Suharto sebagai Pejabat Presiden. Setahun kemudian Pejabat Presiden dikukuhkan sebagai Presiden.
Sukarno Wafat
Kesehatan Soekarno yang dikenai tahanan rumah makin memburuk. Pada tanggal 16 Juni 1970 beliau mengalami masa kritis dan akhirnya meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 1970. Keesokan harinya jenazahnya dimakamkan dengan upacara kenegaraan di sebelah makam ibunya di Blitar. Pemerintah menyatakan hari berkabung nasional selama tujuh hari untuk menghormatinya.
Meski memiliki kekuasaan besar, Soekarno tidak pernah memikirkan kekayaan. Ia hidup sederhana. Bahkan beberapa kemeja kaus dalam dan piyamanya adalah pemberian teman temannya. Ia mungkin termasuk salah seorang presiden di dunia yang tidak pernah memiliki rumah pribadi sampai akhir hayatnya.(*)
*) Penulis : Harjoko Sangganagara, Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bandung
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |