
TIMESINDONESIA, MALANG – Pandemi COVID-19 belum menunjukan tanda-tanda akan berakhir. Namun, sudah banyak negara yang mengambil langkah pelonggaran lockdown. Kondisi ini tidak terkecuali dengan di Indonesia. Ketika angka penularan COVID-19 masih tinggi, pemerintah justru sedang menggodok aturan mengenai pelonggoran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan mencanangkan mengenai tatanan kenormalan baru atau new normal.
Penerapan new normal diharapkan akan segera memperbaiki perekonomian negara yang sedang terpuruk akibat pandemi COVID-19. Selain itu, penerapan new normal bertujuan untuk menekan penyebaran virus, dengan tetap menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. New normal rencanya akan dimulai diterapkan dibulan juni, di beberapa provinsi di Indonesia.
Advertisement
Lantas apakah sistem sosial new normal ini akan berhasil dengan kondisi sekarang? Adakah indikator keberhasilan penerapan new normal?
Sampai sekarang memang belum ada indikator untuk mengukur keberhasilan penerapan new normal ini, tapi setidaknya jika kita mengikuti paradigma AGIL yang dikemukakan oleh Talcott Parsons. Kita bisa melihat bagaimana suatu sistem sosial bertahan dan berjalan dengan baik. Paradigma inilah yang akan penulis gunakan untuk melihat, apa yang akan mempengaruhi keberhasilan penerpan new normal.
Paradigma AGIL dikemukakan oleh Talcott Parsons, seorang sosiolog asal Amerika beraliran strukturalis. Parsons menerangkan bahwa AGIL merupakan syarat mutlak suatu sistem sosial agar bisa bertahan. AGIL sendiri adalah akronim dari Adaptation, Goal, Integration, dan Latency.
Lalu bagaimana paradigma AGIL mempengaruhi keberhasilan penerapan new normal?
1. Adaptation (adaptasi)
Pertama adalah adaptasi, tahap ini mengharuskan adanya pembiasaan kebiasaan baru di masyarakat. Kebiasaan baru yang harus dibiasakan di era new normal sekarang ini adalah memakai masker, menjaga jarak, tidak berkerumun, sering-sering mencuci tangan, dan sebagainya.
2. Goal (tujuan)
Sebuah sistem sosial tentunya memiliki tujuan, dan tujuan inilah yang harus dicapai agar sistem sosial tetap bertahan. New normal sendiri memiliki tujuan untuk menekan laju penyebaran COVID-19 dengan tetap menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Tujuan ini akan tercapai jika masyarakat mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru di era new normal.
3. Integration (integrasi)
Pada tahap ini, diperlukan kerja sama yang baik antar berbagai komponen seperti pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat itu sendiri. Integrasi menjadi penting, karena satu sama lain saling mempengaruhi, jika pemerintah sudah membuat aturan, maka aturan itu harus dijalankan. Tanpa adanya integrasi, kebijakan new normal akan sia-sia dan hanya jalan ditempat, tanpa ada hasil yang dicapai.
4. Latency (laten)
Tahapan yang terakhir adalah latensi. Latensi adalah pemeliharaan nilai, norma, dan budaya yang dianut masyarakat. Setelah masyarakat mampu beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru dan tercapainya tujuan new normal, maka seluruh komponen masyarakat perlu untuk menjaga nilai, norma, dan budaya baru yang sudah terbentuk. Pemeliharaan sistem sosial "new normal" diperlukan supaya sistem ini tetap bertahan dan tidak ambruk.
New normal memang suatu keniscayaan selama vaksin COVID-19 belum ditemukan. Karena bagaimanapun juga kita tidak bisa terus-terusan berdiam diri di rumah, kehidupan sosial perlu kembali berjalan, perekonomian perlu berputar, dan kapital juga perlu berakumulasi.
Untuk itulah perlu adanya kerja sama dari semua komponen masyarakat untuk beradaptasi dengan kebiasan-kebiasaan baru di era new normal. Selanjutanya kebiasaan baru yang sudah terbentuk tersebut perlu dijaga dan dipertahankan guna mencapai tujuan new normal. Jika kesemuanya itu telah dijalankan, bukan tidak mungkin penerapan new normal akan berhasil. (*)
***
*) Oleh: Fajarudin Hekmatyar, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |