
TIMESINDONESIA, KUALA LUMPUR – Indonesia mendapat kritik baru-baru ini dari media Australia dalam penanganan wabah Covid-19. Dalam laporan Sydney Morning Herald 19 Juni 2020, Indonesia disebut berpotensi menjadi hotspot atau pusat Covid-19 di dunia.
Sepatutnya kita waspada. Paling tidak bersiap diri menghadapi kemungkinan terburuk dari minimnya kesadaran masyarakat dan upaya tak maksimal Pemerintah menangani pandemi. Namun, di tengah kabar buruk semakin bertambahnya korban hingga angka 51.427 pasien positif per 26 Juni 2020, masyarakat kita justru merayakan babak baru “new normal” dengan bersepeda.
Advertisement
Entah bagaimana awal mulanya, beramai-ramai masyarakat urban hingga pinggiran tengah disibukkan dengan hobi baru bersepeda. Sejak kasus penyeludupan sepeda Bromptom di dalam pesawat Garuda, popularitas brand dan hobi ini meningkat di masyarakat. Ironisnya di kala Indonesia tengah berjuang melandaikan kurva pandemi Covid-19, masyarakat seolah abai dengan memenuhi dorongan hasrat konsumsi.
Bukan hobi yang salah, bukan pula kegembiraan yang patut dipersoalkan. Sebaliknya, euforia bersepeda ini mengajarkan kita, masyarakat konsumeris tetap eksis meski dalam kondisi babak belur oleh wabah global. Hidup dalam kondisi kritis ternyata tak mampu menghindari kita didikte oleh obyek atau barang. Beberapa rela memenuhi kebutuhan konsumsi barang dengan harga fantastis meski di sisi lain harus bertahan memenuhi kehidupan, bisnis yang hancur, serta PHK karena dampak Covid-19.
Hasrat akan suatu barang pun ditumbuhkan kerena keinginan meniru hasrat orang lain (mimesis). Bourdieu menyebutnya sebagai sisi narcisik setiap orang, hasrat berfungsi untuk mendapatkan pengakuan sosial.
Kasus yang cukup mendapat perhatian dari warganet adalah kenorakan sekelompok pesepeda saat memasuki sebuah cafe di Semarang. Kecaman ditujukan bagi mereka, karena dengan sewenang-wenang meyalahi aturan membawa serta sepeda yang diklaim “mahal” tersebut ke dalam cafe. Bentuk pencarian pengakuan sosial ini muncul dengan sangat epik sekaligus norak hanya untuk sekedar memenuhi hasrat narsisistik.
Pemikir Prancis lainnya, Baudrillard dengan jeli menggambarkan analogi masyarakat konsumeris ini layaknya Yerusalem yang dikepung, kaya tetapi terancam. Sebab, dalam konsumsi tampak ada tekanan psikologis dan sosial karena tuntutan pengakuan dari masyarakat. Kalangan tertentu seolah membuat jarak (distinction) sebagai kelas yang berbeda dengan kelas lainnya. Karena konsumsi bagi masyarakat konsumeris merupakan cara untuk mendukung kelasnya dan sebagai afirmasi nilai.
Jadi, pemborosan dalam kondisi paling menderita sekaligus saat covid-19 terasa sah-sah saja. Sangat jelas masyarakat yang demikian membutuhkan obyek untuk tetap ada dan afirmasi kelas sosialnya. Kebahagiaan di tengah potensi semakin buruknya Indonesia dalam penanganan Covid-19, menjadi anomali menuju apa yang kita gadang-gadangkan sebagai kenormalan baru. (*)
***
*)Oleh: Ghozian Aulia Pradhana, Dosen Public Relations Universitas Diponegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |