Kopi TIMES

Dilema Sejarah Sultan Hamid II

Kamis, 09 Juli 2020 - 20:10 | 237.33k
Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Penulis Buku Negara RI.
Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Penulis Buku Negara RI.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Boleh dikata, Sultan Hamid II merupakan satu sosok tokoh sejarah Indonesia yang masih dianggap negatif dalam historiografi Indonesia.

Bagaimana tidak, cap pemberontak dan pengkhianat terhadap bangsa Indonesia merupakan labelisasi sejarah yang masih melekat kepadanya sampai hari ini. Karena alasan ini pula setiap ada upaya pengusulan pemberian gelar pahlawan Indonesia kepada Sultan Hamid II selalu saja mengalami penolakan. Stigma sebagai pemberontak kepada Sultan Hamid II memang sangat kuat sampai hari ini, dan stigma ini pun seolah mengaburkan peran pentingnya saat awal tahun 1950-an di mana Sultan Hamid II menjadi figur penting yang bertanggung jawab terciptanya gagasan lambang negara yakni burung garuda. 

Advertisement

Presiden Soekarno mengangkat Sultan Hamid II menjadi Menteri Negara RIS Zonder Portofolio dengan tugas merancang bentuk gambar lambang negara RIS dan menyiapkan Gedung Parlemen RIS. Sultan Hamid II meminta Yamin dan Ki Hajar Dewantara untuk membantu dalam Panitia Lencana Negara. Yamin pun kemudian ditunjuk sebagai ketua.

Melalui program sayembara semua sketsa lambang negara dibuat. Tak hanya Sultan Hamid II, Basuki Resobowo, M.Natsir, Melkias Agustinus Pellaupessy, dan Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka juga ikut dalam program sayembara tersebut.

Presiden Soekarno saat itu lebih tertarik terhadap rancangan lambang negara Sultan Hamid II. Meski konsep rancangan tersebut tak sepenuhnya diterima karena mendapat masukan dari berbagai pihak. Namun, Soekarno sendirilah yang akhirnya memutuskan konsep rancangan lambang negara. Dengan bantuan ahli lukis, D Ruhr Jr dan Dullah lambang negara rancangan Sultan Hamid II itu pun disempurnakan seperti permintaan Sukarno.

Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) menetapkan Elang Rajawali – Garuda Pancasila sebagai lambang negara terhitung sejak 11 Februari 1950. Pada 15 Februari 1050, Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kali lambang negara tersebut kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang menjadi pusat pertokoan Duta Merlin Jalan Gadjah Mada Jakarta Pusat). 

Stigma Pemberontak

Meskipun Sultan Hamid II pernah berjasa sebagai figur penanggung jawab terciptanya lambang negara Burung Garuda Pancasila. Tapi realitas politik yang terjadi pada fase selanjutnya memberi ruang yang kontradiktif. Ketidaksenangan dari orang-orang politik yang saat itu ada disekitar Presiden Soekarno menyebabkan upaya penyingkiran terhadap Sultan Hamid II pun terjadi. Nuansa politis begitu kental dalam kasus makar yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II.  

Sultan Hamid II yang merupakan federalis sejati, ditangkap oleh pemerintah pusat karena dituduh sebagai pelaku utama aksi yang dilakukan oleh Kapten KNIL Raymond Pierre Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang menyerbu tentara Divisi Siliwangi (TNI) Bandung pada 23 Januari 1950. 

Setelah tiga tahun mendekam dalam tahanan tanpa kepastian selama rentang waktu 1950-1953. Sultan Hamid II faktanya baru menjalani proses persidangan yang dimulai penuntutan, pembelaan dan putusan Mahkamah Agung pada tahun 1953 dengan vonis hukuman 10 tahun penjara. Kasus makar yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II nyatanya tak lebih dari sentimen politik. Keterlibatan Sultan Hamid II dalam penyerangan Kapten Westerling dan tuduhan niat penyerangan Dewan Menteri RIS di Jakarta sama sekali tidak pernah terbukti dalam pengadilan.

Meski tanpa putusan sah dari pengadilan, Sultan Hamid II tetap dimasukan dalam tahanan. Selama empat tahun ditahan tanpa proses pengadilan, Sultan Hamid II baru dibebaskan pada tahun 1966 setelah masa Soekarno berakhir. Selepas bebas daripenjara tanpa proses pengadilan yang jelas tersebut Sultan Hamid II justru lebih banyak beraktivitas dalam dunia bisnis bahkan sampai akhir hayatnya. 

Selama rentang tahun 1967-1978, Sultan Hamid II pernah menjadi Presiden Komisaris PT Indonesia Air Transport. Pada 30 Maret 1978, Sultan Hamid II wafat dan dimakamkan di pemakaman keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang. Walaupun banyak kontroversi dalam kisah hidupnya, sosok Sultan Hamid II dari Pontianak Kalimantan Barat ini tetaplah tokoh sejarah penting bagi Indonesia.

Jejak Kehidupan

Sultan Hamid II yang memiliki nama lengkap Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie dengan nama panggilan Max. Lahir di Pontianak 12 Juli 1913 dari orang tua Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie dan Ibu Syecha Jamilah Syarwani. Ia memiliki istri bernama Ratu Mas Mahkota Didie Al – Qadrie (Marie van Delden).Memiliki anak bernama Syarifah Zahra Al - Qadrie dan Syarif Yusuf Al-Qadrie. 

Akibat terjadinya penangkapan dan pembunuhan massal oleh tentara Jepang pada tahun 1944-1945 telah mengakibatkan terjadinya kekosongan kepemimpinan di Kesultanan Qadariyah Pontianak dan beberapa kesultanan lainnya di Kalimantan Barat. Di Kesultanan Pontianak, semua putera almarhum Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie telah gugur waktu itu. 

Sultan Hamid II menjadi satu – satunya putera dari keluarga Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie yang masih hidup. Putera mahkota Syarif Usman Al - Qadrie yang bergelar Pangeran Adipati negara dan adiknya yaitu Syarif Abdul Muthalib Al-Qadrie juga gugur dalam penangkapan tentara Jepang tersebut.

Setelah Sultan Hamid II naik tahta di Kesultanan Pontianak Ia mulai menata kembali kesultanan yang sebelumnya mengalami kekacauan oleh tentara Jepang. Sebagai Sultan Pontianak, Sultan Hamid II melakukan banyak perombakan dalam pemerintahan. Ia memiliki inisiatif kuat untuk dapat membangun pemerintahan di Kalimantan Barat dengan bentuk sistem pemerintahan yang modern. 

Sultan Hamid banyak juga banyak aktif terlibat saat Konferensi Malino pada 15 - 25 Juli 1946 di Sulawesi Selatan. Sultan Hamid II beserta 40 tokoh Kalimantan Barat menandatangani deklarasi pembentukan Dewan Borneo Barat di Pontianak dalam satu federasi, sekaligus menyepakati perubahan Keresidenan Borneo Barat menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sebagai negara otonom persemakmuran uni Indonesia – Belanda. .Pemerintahan DIKB ini berlaku sejak 12 Mei 1947. 

Sebagai kepala DIKB, ruang gerak Sultan Hamid II tidak dapat dilepaskan dari konteks Badan Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst van Federaal Overleg (BFO) yang merupakan proyeksi dari Gubernur Hindia Belanda Hubertus Johanes van Mook yanng membentuk 15 negara bagian diluar Republik Indonesia.

Terhitung sejak Januari 1949, Sultan Hamid II ditunjuk menjadi  ketua BFO menggantikan Mr. Tengku Bahrun dari negara Sumatera Timur yang meninggal dunia. Didaulatnya Sultan Hamid II menjadi ketua BFO menbuat keberadaan sosok Sultan Hamid II menjadi sangat sentral di Konfrensi Meja Bundar (KMB). 

Sultan Hamid II juga pernah menjadi ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda (adjudant in Buitengewone Dienstvan HM Koningin de Nederlander) oleh Ratu Wilhelmina (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassau). Sultan Hamid II ditunjuk sebagai Wakil Mahkota di Indonesia yang membuat Sultan Hamid II diberi kepercayaan penuh mewakili kebijakan Ratu Belanda di Indonesia. 

Adanya kedekataan personal kepada Sultan Hamid II sebagai wakil mahkota inilah membuat Ratu Juliana yang saat itu menggantikan ibunya Ratu Wilhelmina mau menandatangani pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat. (RIS). Setelah KMB di Den Haag berakhir pada 2 November 1949 peran Sultan Hamid II dalam pemerintahan RIS yang ada di Jakarta secara perlahan mulai disingkirkan oleh kelompok unitaris. Karena alasan Sultan Hamid II terlalu dekat dengan pihak kerajaan Belanda yang tetap konsisten dengan bentuk Indonesia sebagai negara serikat (RIS). 

Ketidakjelasan sikapnya terhadap agresi militer Belanda I (21 Juli-5 Agustus 1947) dan Agresi Militer II (9 Desember -10 Juli 1949) juga membuat Sultan Hamid II menjadi sangat dikucilkan. Inilah sederet alasan kuat mengapa Sultan Hamid II sampai sekarang masih dianggap sebagai figur tokoh yang bukan dari kelompok pejuang Indonesia. 

***

*)Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Penulis Buku Negara RI.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_____
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES