Kopi TIMES

Fenomena Siswa Belajar di Warkop, Salah Siapa?

Rabu, 22 Juli 2020 - 18:49 | 103.67k
Dian Eko Restino, S.Pd., Gr., Guru SMPN 10 Surabaya.
Dian Eko Restino, S.Pd., Gr., Guru SMPN 10 Surabaya.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Badai Covid-19 belum berakhir. Demi mencegah bertambahnya penularan virus ini, segala macam kegiatan berkerumun dibatasi, bahkan dilarang. Dunia pendidikan pun terkena imbasnya. Terhitung sejak 16 Maret 2020 hingga sekarang, kegiatan pembelajaran tatap muka di sekolah resmi dihentikan sementara, diganti dengan School from Home (SFH), ada lagi yang mengistilahkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), ada juga yang memakai istilah Belajar Dari Rumah (BDR). Yaa memang begitulah negara kita, banyak sekali istilah, singkatan, tapi sebenarnya artinya sama.

Tidak hanya guru, siswa bahkan orangtua harus segera beradaptasi dengan sistem pembelajaran yang baru, yaitu melalui daring (dalam jaringan), atau online, atau virtual (nah kan, banyak istilah yang berbeda tapi maknanya sama). Dalam melaksanakan pembelajaran online tersebut, banyak sekolah yang melakukan inovasi melalui aplikasi-aplikasi online.

Advertisement

Ada yang sudah menyiapkan kelas-kelas virtual di Microsoft Office 365 dan Google Suite for Education, misalnya. Ada juga melalui aplikasi video meeting Zoom, Google Meet, Webex dan sebagainya. Hingga ada juga yang “hanya” menggunakan penugasan melalui form yang disampaikan melalui grup-grup WhatsApp. Maka, media atau prasarana yang digunakan adalah gawai (ponsel/ laptop/ komputer) dan tentu saja: sambungan internet. 

Namun hal ini menyisakan masalah tersendiri, di beberapa sudut daerah pasti ada beberapa siswa bahkan orangtua yang tidak mempunyai gawai dengan spesifikasi yang support terhadap aplikasi-aplikasi pembelajaran online tersebut. Lalu tingkat ekonomi yang beragam terkait dengan kemampuan dalam membeli paket kuota internet. Belum lagi jika penghasilan orangtua menurun terdampak Covid-19, dagangan sepi, dirumahkan atau bahkan terkena PHK. 

Pembelajaran online tersebut tentu tidak begitu berpengaruh bagi siswa dari keluarga yang cukup dalam memfasilitasi gawai dan internet pada anak. Memang pada saat pandemi ini, mau tidak mau kegiatan tatap muka harus ditiadakan diganti dengan tatap muka virtual.

Namun, problem mengenai pemerataan pendidikan masih menjadi PR bagi kita semua, terutama bagi keluarga dengan tingkat ekonomi menengah kebawah yang telah saya sebutkan diatas. Dimana pada saat semua pembelajaran harus melalui sistem online, ada sebagian masyarakat tertentu yang tidak bisa mengikuti dan menikmati layanan pembelajaran yang diberikan oleh sekolah.

Ketika belajar di sekolah belum diperbolehkan, lalu muncullah berita fenomena siswa belajar di warung kopi (warkop), dengan fasilitas Wifi. Fenomena ini cukup viral, diberitakan di media massa cetak, media online bahkan televisi swasta nasional. Seperti di “Warkop Pitulikur” Surabaya yang menyediakan akses Wifi dan teh hangat bagi siswa yang mengikuti pembelajaran online. Gratis pula. Namun dengan syarat harus benar-benar digunakan untuk mengikuti pembelajaran online dari guru sekolahnya, tidak boleh dipakai untuk main game dan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan pembelajaran.

Tidak hanya itu, salah satu koran terkemuka juga memberitakan fenomena siswa belajar di warkop juga terjadi di Mojokerto. Tidak hanya siswa, tapi juga beserta orangtua ikut mendampingi anaknya belajar melalui gawai yang harus tersambung internet. Kenapa harus ke warkop? Alasan mereka hampir sama, yakni untuk mengurangi pengeluaran kuota internet yang over, atau bahkan tidak punya paket internet sama sekali di gawainya. Anak-anak tersebut tidak peduli harus berbaur dengan pelanggan sebelah dengan kepulan asap rokok dan deru asap kendaraan yang lalu-lalang.

Saya yakin, fenomena ini banyak terjadi di sudut-sudut daerah kota lain. Hanya dua daerah yang telah saya sebutkan diatas saja yang sempat terekspose media. Hal ini memang sudah saya prediksi jauh-jauh hari, beberapa saat setelah diberlakukan sekolah daring. Saya bisa memperkirakan hal tersebut karena siswa di sekolah yang saya ampu memang sebagian besar berasal dari keluarga yang ekonominya sedang-sedang saja, bahkan menengah kebawah. Daerah sekitar juga banyak warkop dengan fasilitas free wifi bagi pengunjungnya.

Dalam kondisi demikian, kemana lagi siswa yang tidak mempunyai kuota internet akan menyambungkan gawainya untuk tetap mengikuti pembelajaran sekolah? Apakah siswa yang ke warkop untuk tetap mengikuti layanan pembelajaran salah? Jika suatu hal yang salah, siapa yang patut disalahkan? Orangtuanya kah? Gurunya kah? Sekolah kah? Atau pemilik warkop kah?

Mari kita bergerak ke salah satu sudut pandang. Bagaimana kalau kita menilai bahwa siswa tersebut telah melakukan daya dan upaya untuk tetap belajar dalam kondisi yang sulit. Paket data internet terbatas atau bahkan tidak ada, uang saku sudah tidak diberi karena tidak berangkat ke sekolah. Daripada hanya rebahan dirumah lalu ketinggalan materi pelajaran, ditagihi tugas oleh guru, bukankah lebih baik mengikuti pelajaran online walaupun harus ke warkop?

Kemudian, salah kah orangtua yang membiarkan anaknya pergi ke warkop menyambungkan gawainya ke wifi demi mengikuti pembelajaran? Ekonomi keluarga menurun, orangtua di rumah sibuk dengan pekerjaan, momong anaknya yang masih kecil, masak, mencuci dan segala pekerjaan rumah tangga di pagi hari, atau bahkan mungkin kurang paham tentang materi pelajaran dan gaptek dengan aplikasi-aplikasi teknologi.

Ditambah dengan anaknya yang tidak mengikuti pelajaran sekolah? Mungkin ada orangtua yang berfikir, “Nak sekolaho sing pinter ben iso luweh pinter teko bapak ibumu, iso ngangkat derajat keluargamu” (Nak sekolahlah yang pintar supaya bisa lebih pintar dari bapak ibumu, bisa mengangkat derajat keluargamu). Banyak yang menilai bahwa salah satu jalan terbaik memperoleh penghidupan yang lebih layak adalah lewat pendidikan dan pintar di sekolah. Supaya kelak mendapat pekerjaan yang baik. Salahkah orangtua yang mempunyai paradigma tersebut?

Guru dan sekolah memang seolah menjadi pelaksana kebijakan pemerintah, yang mengharuskan sistem pendidikan beralih ke moda daring. Saya pun sebagai guru merasakannya, bagaimana sekarang melayani siswa tidak hanya 8 jam kerja, tapi 24 jam non-stop.

Mulai dari merancang materi pembelajaran, soal dan evaluasi, administrasi rutin, mengelola akun-akun siswa dalam aplikasi integrasi sekolah, menagih tugas siswa dan menjawab berbagai kebingungan siswa tentang sistem online yang baru sampai pagi buta, bahkan membangunkan siswa yang belum bergabung secara online pada jam pertama pembelajaran. Lantas, apakah bisa guru mengawasi satu per-satu aktifitas siswa dirumah? Jika guru menghimbau siswa untuk tidak ke warkop, sedangkan guru selalu menagih siswa untuk mengerjakan tugas, lalu apa yang harus dilakukan oleh siswa tersebut? Kalau guru menghimbau orangtua untuk mencegah anaknya pergi ke warkop, lalu bagaimana para orangtua (yang memiliki keterbatasan membeli paket internet) memenuhi kebutuhan pembelaran online anaknya?

Pemilik warkop? Bukankah beliau memiliki empati tinggi, sigap menangkap suara keluh kesah hati para orangtua yang sulit dalam memenuhi fasilitas belajar online anaknya? Pemilik warkop tentunya juga adalah orangtua yang memiliki anak yang masih sekolah. Dulu, anak yang masih berseragam sekolah pasti tidak diperkenankan nongkrong di warkop, dengan dasar empati, sekarang malah dipersilahkan untuk mengikuti pembelajaran di warkop dan gratis. Bukankah beliau (pemilik warkop) sekarang malah bisa disebut turut mencerdaskan generasi bangsa?

Peran dan perhatian lebih besar tentang solusi masalah ini harus berasal dari pemerintah. Bukankah pemerintah telah menganggarkan ratusan trilyun untuk penanganan Covid-19 ini. Hingga dana pendidikan juga harus dipotong demi minggatnya Covid-19 dari bumi pertiwi.

Bahkan Mas Menteri Nadiem sendiri juga telah menegaskan dana BOS bisa dipakai untuk pulsa internet siswa. Sejauh mana kebijakan itu bisa dirasakan para siswa? Apakah karena birokrasi yang terlalu rumit, sehingga masih banyak siswa yang belum merasakan pemerataan layanan pendidikan? Saya tidak paham, saya sebagai guru hanya bisa merasakan, dan juga melaksanakan kebijakan tersebut. Tapi masak seperti ini?

***

*)Oleh: Dian Eko Restino, S.Pd., Gr., Guru SMPN 10 Surabaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES