
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Beberapa tahun ke belakang tersiar kabar sederetan artis internasional meninggal dunia karena bunuh diri. Ada Jeon Soo meninggal dunia 21 januari 2018, di tahun 2017 seorang personil k-pop korea Jong-Hyun juga Vokalis Linkin Park, Chester Bennington. Berdasarkan pemberitaan media, kedua public figur tersebut yakni Jong-Hyun dan Chester Bennington terindikasi mengalami depresi, sehingga akhirnya memilih mengakhiri hidupnya begitu saja. Tentu hal ini menyisakan duka bagi para penggemar mereka.
Di Indonesia, WHO mencatat, angka bunuh diri di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada 2010 mencapai 1,8 per 100.000 jiwa atau sekitar 5.000 orang per tahun. Kemudian pada 2012, estimasinya meningkat jadi 4,3 per 100.000 jiwa atau sekitar 10.000 per tahun (beritasatu.com)
Advertisement
Laki-laki empat kali lebih banyak melakukan bunuh diri dibandingkan perempuan (halodoc.com). Pemicunya pun beraneka ragam, di antaranya putus cinta, frustrasi akibat ekonomi, keluarga tidak harmonis, dan masalah sekolah. Bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua setelah kecelakaan kendaraan menurut WHO. Terjadinya bunuh diri sendiri sering dikaitkan dengan kondisi depresi. Memang tidak semua depresi berujung pada perilaku bunuh diri. Namun, perilaku bunuh diri sering ditemukan karena dipicu kondisi depresi.
Depresi adalah gangguan mood di mana seseorang merasa tidak bahagia, tidak bersemangat, memandang rendah diri sendiri, dan merasa sangat bosan (Santrock, 2007). Individu merasa selalu tidak enak badan, gampang kehilangan stamina, selera makan yang buruk, tidak bersemangat, dan tidak memiliki motivasi (Santrock, 2007). Depresi adalah gangguan dengan prevelansi sangat tinggi. Sedemikian tingginya sehingga sering di sebut flu-nya gangguan mental.
Ada pandangan lain yang berpendapat bahwa depresi adalah learned helplessness, yaitu ketika seorang individu mengalami pengalaman negatif dan mereka tidak memiliki kontrol mengenai hal tersebut-seperti ketika dihadapkan pada stress dan sakit berkepanjangan- mereka akan lebih mungkin mengalami depresi. Dalam pandangan ini, depresi akan terjadi setelah suatu peristiwa negatif dimana individu menjelaskan peristiwa tersebut dengan atribusi yang menyalahkan diri sendiri (Abramson, Metalsky, & Alloy, 1989).
Mereka menyalahkan diri sendiri karena menyebabkan peristiwa tersebut. Dengan model penjelasan seperti ini akan menghasilkan ekspektasi bahwa tidak ada perilaku yang dapat dilakukan untuk mengontrol hasil dari peristiwa yang sama di masa yang akan datang, yang akan menyebabkan ketidakberdayaan, tidak ada harapan, dan sikap positif.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa depresi berkaitan dengan cara pandang. Cara pandang yang tidak tepat akan menyebabkan memahami dunia dengan tidak tepat, membentuk perasaan yang tidak tepat, hingga perilaku yang tidak tepat. Seperti halnya terjadinya bunuh diri berkaitan dengan depresi, dimana terjadinya depresi berkaitan dengan cara pandang negatif mengenai kehidupan. Sehingga cara pandang negatif ini menghasilkan perasaan tidak berdaya, tidak memiliki harapan, dan perasaan-perasaan negative lainnya.
Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani yang juga konsern dalam membahas terkait kepribadian manusia, menyatakan bahwa kebangkitan manusia tergantung mengenai pemikirannya tentang alam, manusia dan kehidupan. Pemikiran inilah yang akan membentuk pemahaman, dan mengarahkan tingkah laku. Pemahaman yang benar akan menghantarkan pada hasil memuaskan akal, sesuai fitrah, dan menentramkan jiwa. Semua itu hanya akan terpenuhi ketika melibatkan peran Pencipta dan agama.
Gaya hidup materialisme telah menghilangkan peran Pencipta pada kehidupan masyarakat. Erich Fromm seorang psikolog asal Amerika menyatakan bahwa kebutuhan utama manusia untuk hidup secara bermakna yang berwujud aktivitas menyembah Sang Pencipta, belum dipenuhiradaban Barat (Amerika) (Purwakto, 2012).
Wajar, jika tema-tema depresi dan bunuh diri mendapat perhatian dari para peneliti psikologi barat. Karena nyatanya gejala tersebut memang menyeruak di negeri mereka. Sehingga memerlukan perhatian lebih. Apa yang membuat mereka menjadi seperti itu adalah wajar, karena way of life mereka tidak dilandasi pemahaman yang utuh.
Ada sebagian memahami keberadaan Tuhan, namun hanya ditempatkan di ranah privat saja yang sering dikenal dengan istilah sekuler. Sebagian yang lain bahkan tidak mengakui keberadaan Tuhan. Sehingga ketika masalah menimpa mereka, mereka merasa tidak ada harapan dan tempat bergantung.
Berbeda dengan seseorang yang memiliki pemahaman tentang agama. Islam khususnya. Islam mengakui keterbatasan dan kelemahan manusia, dan Allah lah tempat satu-satunya bergantung. Sehingga ketika manusia tidak merasa berdaya (helplessness) sekalipun, dia masih ada tempat kembali.Inilah yang dinamakan spiritualitas. Atau dengan kata lain idrak sillah billah. Kesadaran akan adanya hubungan dengan Sang Pencipta. Namun, bukan sekedar itu, selain bergantung langsung kepada Rabb nya, Islam juga mengajarkan agar muslim bisa menjadi sosial support lainnya, sehingga tidak akan ada manusia yang sebatang kara.
***
*)Oleh: Nurjihan Bagum Amir, Alumni Fakultas Psikologi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |