
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pengorbanan Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail, menjadi kisah epik yang dianggap melatari syariat Idul Adha. Pengorbanan ayah dan anak ini dapat didudukkan sebagai benchmark kepatuhan total kepada Allah. Tentu menempatkan keduanya sebagai lakon utama cerita pengorbanan paling memukau dalam sejarah ini tidaklah melampau.
Namun, tulisan ini mencoba untuk membaca sosok penting lain di luar keduanya, yang lakon pengorbanannya tidak boleh dipandang sebatas figuran. Sosok dimaksud adalah Sayyidah Hajar, istri baginda Nabi Ibrahim sekaligus ibunda Nabi Ismail as.
Advertisement
Sulit rasanya membayangkan cerita pengorbanan Ibrahim dan Ismail berjalan mulus, andai Hajar tidak tampil sebagai wanita yang penuh kedewasaan, keteguhan hati dan ketabahan prima, saat mengetahui bahwa suaminya akan mengorbankan putra tunggalnya sebagai "persembahan" kepada Tuhan-nya. Karena itu, latar Idul Adha sejatinya adalah perlambang pengorbanan bukan semata dua orang Ibrahim dan Ismail, tetapi juga keseluruhan ali Ibrahim, terutama Hajar di dalamnya.
Beberapa sejarawan menyematkan di belakang nama Hajar kata Al-Mishriyah, nisbat kepada nama Misraim, salah satu penguasa terkenal Mesir dari keturunan Nabi Nuh (Al Mas'udi, akhbaruz zaman, hal 170). Sementara yang lain menisbatkan Hajar kepada suka Amaliq, salah satu puak yang mendiami Mesir. Konon, orang Yahudi sengaja menghindari nama Amaliq, karena di antara mereka terlibat pertikaian berleleran. Secara politis, kata Misriyah dianggap sebagai cara tepat untuk mengingkari fakta historis bahwa kakek moyang Yahudi, yaitu Ibrahim terlibat pernikahan dengan wanita dari kalangan Amaliq, musuh mereka (Lihat, Muhammad Mabruk Abu Zaid, Mishr Al Israiliyah, vol 2, hal. 61)
Sementara Al Mas'udi dalam Murujud Dzahab menuturkan bahwa suku Amaliq sabagai salah satu suku yang ikut menetap di Makkah, bersama suku Jurhum saat Ismail ditempatkan bersama ibunya oleh Ibrahim di sana. Kelak, Ismail mengikat hubungan kemertuaan dengan puak Amaliq dan Jumhur (juz 2 hal. 74).
Hajar sendiri sejak awal dinikahi oleh Nabi Ibrahim, selain atas dasar perintah Allah, didasari kenyataan bahwa buah hati pernikahannya dengan Siti Sarah belum juga menunjukkan tanda tanda kehadiran setelah 20 tahun dalam pernikahan. Ibrahim adalah manusia, sebagaimana umumnya manusia, yang juga merindukan kehadiran seorang keturunan di sisinya. Sayidah Sarah menyadarinya, dan dengan berbesar hati mengijinkan -lebih tepatnya- meminta suaminya agar memperistri Sayidah Hajar, wanita yang telah lama berada dalam keluarga mereka.
Tentu baik Ibrahim, Hajar dan Sarah telah melaksanakan laku pengorbanan (sacrifice) dalam kapasitas peran dan status masing-masing. Namun figur Hajar memeragakan laku pengorbanan yang tidak berkesudahan. Kelak, laku pengorbanan ini menitis dalam diri putra beliau Ismail alaihis salam.
Saat Hajar ternyata benar-benar mengandung putra Ibrahim, kebahagiaan seketika menyelimuti keluarga kecil ini.
Namun, pengorbanan berikutnya menanti Hajar dan sang anak yang telah lahir, Ismail. Dalam salah satu sumber, Sarah yang juga telah melahirkan Ishaq, merasa cemburu melihat kasih sayang Ibrahim terbagi sama rata untuk Ismail dan Ishaq. Tidak ingin menyakiti hati Sarah, Ibrahim lantas berinisiatif membawa Hajar dan Ismail menyingkir dari hadapan Sarah. Di tempat tandus cengkar, ditinggalkanlah istri dan buah hati tercinta di padang pasir bernama Bakkah itu. Pengorbanan berat bagi sang Khalil karena harus memendam hasrat cinta mendalamnya kepada beliau berdua, demi menjaga hati sang istri pertama Sarah.
Bagi Hajar dan Ismail, pengorbanan mereka tentu terasa lebih getir lagi. Di tempat kering kerontang, bersama balita kecil penyejuk matanya, dia harus bisa bertahan hidup. Namun, karena Allah merestui pengorbanan mereka, maka turunlah pertolongan Allah. Bakkah yang tak berair, tiba-tiba menyemburkan sumber mata air yang hingga kini tak pernah kerontang. Sumber itu bernama Zamzam.
Tidak hanya itu, dari kesunyian, Makkah menjelma menjadi pusat keramaian, bermula saat sekumpulan suku Arab darin Yaman Jurhum menjadi suku pertama yang turut tinggal menemani Ismail dan Hajar (Husein Haikal, Hayatu Muhammad , hal. 105). Maka sejak itu ramailah Makkah, menjelma sebagai pusat peradanan Arab dan Islam hingga kini.
Puncak dari pengorbanan keluarga ini akhirnya tiba, saat diutarakan keinginan Nabi Ibrahim, atas dasar perintah Allah, untuk menyembelih Nabi Ismail sebagai konsekuensi dari janji yang dulu pernah terlontar. Baik Nabi Ibrahim dan Ismail, menerima perintah ini dengan sepenuh jiwa dan kepasrahan total kepada Allah penguasa semesta. Sempat disembunyikan dari Hajar, sang istri mendengar pula, itupun dari Iblis yang berusaha meruntuhkan keimanannya. Sebagai wanita, emosi keibuannya tentu membuatnya tidak mudah menerimanya. Namun, di sini kebesaran hati sekaligus totalitas tauhid Hajar menuntunnya kepada ketulusan dan kepasrahan menerima perintah Allah. Sayidah Hajar bukanlah seorang nabi, tidak seperti suami dan anaknya, sehingga pengorbanan yang dilakukannya tentu terasa bernilai begitu agung.
Allah maha besar. Pengorbanan mereka berakhir Indah. Mereka berhasil lulus ujian Allah. Dan seekor kambing menjadi simbol tunainya janji Ibrahim alaihis salam.
Aneka kemuliaan Allah sematkan kepada Ibrajim dan keluarga. Pujian terus mengalir kepada mereka. Dan yang pasti, dari trah keluarga Ismail putra Hajar inilah, Nabi Muhammad SAW .diutus ke dunia
Israil, nama lain dari Nabi Ya'qub putra Ishaq, putra Nabi Ibrahim dan Sayyidah Sarah, mungkin telah mewariskan para generasi yang banyak diantaranya diangkat menjadi nabi dan Rasul. Dalam hadits Anas bin Malik, Nabi bahkan menyebutkan bahwa ada empat ribu nabi dari keturunan Israil (Attabari, Jamiul Bayan, vol 24, hal. 109).
Namun, meski hanya satu-satunya, nabi Ismail berhasil mewariskan nabi paling Agung sepanjang masa, nabi Muhammad SAW.
Sebagian sarjana barat menggunakan istilah Hagarisme untuk menyebut Islam. Hagar yang berarti Hajar, seolah menjadi simbol yang merepresentasikan kedekatan Nabi Muhammad, dan Islam sendiri tentunya, dengan Hajar.
Istilah ini dicurigai oleh sebagian kalangan sebagai upaya untuk membangun citra buruk tentang Islam, terutama sebagaimana tercermin dalam tulisan Patricia Crone dan Michel Cook berjudul the Making of The Islamic World. Buku ini memang menawarkan perspektif baru nan kritis mengenai historisitas Islam yang tentu banyak bertentangan dengan perspektif arus besar yang konvensional.
Terlepas dari perdebatan akademis yang muncul dari buku tersebut, kedekatan Islam dengan Sayyidah Hajar adalah fakta sejarah yang tidak bisa kita abaikan. Laku pengorbanan Sayyidah Hajar, melengkapi pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, adalah rangkaian episode panjang yang pada titik kulminasinya bermuara pada satu monoteisme murni, satu totalitas tauhid yang beberapa abad berikutnya diperjuangkan secara kalis dan konsisten oleh keturunan Agung mereka, Nabi Muhammad SAW.
***
*) Penulis: Dodik Harnadi, pengurus PC Lakpesdam NU Bondowoso.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |