Kopi TIMES

Berguru dari Cinta dan Pengorbanan Nabi Ibrahim

Jumat, 31 Juli 2020 - 17:21 | 127.62k
Tika Fitriyah, Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Alumni Pondok Pesantren Al-Munawwir Yogyakarta.
Tika Fitriyah, Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Alumni Pondok Pesantren Al-Munawwir Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Idul Adha selalu mengingatkan kita pada kisah legendaris antara Nabi Ibrahim dan Nabi Nabi Ismail. Nabi Ibrahim merupakan nabi yang mendapat predikat Ulul Azmi karena kesabarannya dalam melewati cobaan yang melampaui sisi kemanusian pada umumnya.

Terlahir di lingkungan penyembah berhala, bahkan ayahnya sendiri merupakan pembuat patung adalah awal dari cobaan yang dialaminya. Petualangannya mencari Tuhan yang sejati hingga dakwahnya kepada masyarakat Babilonia yang berakhir dengan dibakarnya Nabi Ibrahim dalam keadaan hidup, merupakan cobaan yang bertubi-tubi yang berhasil dihadapinya dengan sabar. 

Di awal kelahiran Nabi Ismail, Nabi Ibrahim diperintahkan hijrah ke Makkah. Dahulu Makkah merupakan negeri yang gersang. Hal ini ditunjukan dengan do’a nabi Ibrahim terdapat dalam QS.Ibrahim ayat 37. Setelah hijrah dengan istri dan nya tersebut, Nabi Ibrahim harus meninggalkan isteri dan anaknya di Negeri yang tandus ini. Ini merupakan pengorbanan nabi Ibrahim sebagai bentuk cintanya kepada Allah dan keluarganya.    

Di antara salah satu cobaan Nabi Ibrahim adalah mimpinya mengurbankan anaknya yang sudah lama dinantikannya. Dalam kesadaran penuh, Ibrahim meyakini bahwa mimpi tersebut merupakan wahyu dari Allah. Dalam dialognya yang diabadikan al-Qur’an, Ibrahim menceritakan mimpinya kepada anaknya, Nabi Ismail. Ibrahim berkata, ‘Hai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkan apa pendapatmu!” (QS.As-Shaaffaat:102).

Dalam ayat yang sama, Nabi Ismail menjawab dengan lantang: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah”. Jawaban Nabi Ismail tersebut diluar nalar manusia pada umumnya. Bukan penolakan yang ia utarakan, tapi jawaban yang menunjukan bahwa Nabi Ismail bukan manusia biasa, ia diwarisi jiwa kenabian Ibrahim. Jawaban Nabi Ismail itu mencerminkan bahwa ia termasuk anak yang beriman dan bertakwa kepada Allah, sesuai dengan didikan dan do’a yang selalu dipanjatkan Nabi Ibrahim.

Dalam kondisi Indonesia yang sedang berada dalam kondisi pandemi ini, banyak hal yang menuntut pengorbanan yang luar biasa. Misalnya dalam bidang pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagaimana dilansir dalam situs resminya (kemendigbud.go.id) telah menetapkan bahwa sekolah yang berada di zona merah dan oranye dilarang untuk melakukan pembelajaran secara langsung. Hal ini tentu bukan hal yang mudah bagi semua pihak.

Banyak siswa yang merasa sulit memahami pelajaran dengan model pembelajaran dalam jaringan (daring), orang tua juga merasa kesulitan mengajarkan dan mengawasi anaknya belajar di rumah. Pengajarnya pun demikian, banyak yang kesulitan memilih metode daring yang sesuai untuk semua anak didiknya. Keterbatan fasilitas seperti alat komunikasi, kuota internet, sinyal dan cara penggunaan aplikasi pembelajaran daring juga menjadi problematika bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pedesaan atau pelosok.     

Namun semuanya memang harus dilewati. Orang tua, dalam kluster manapun harus mampu beradaptasi dengan teknologi. Siswa harus belajar lebih giat walaupun dengan segala keterbatasan fasilitas. Pengajar harus bisa mengonsep model pembelajaran daring dan melakukan kolaborasi berbagai pihak untuk menyuguhkan media pembelajaran yang menyenangkan dan mendukung pembelajaran daring. Semua hal tersebut nyatanya memang pengorbanan yang berat yang harus dilakukan demi kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Indonesia pasti mampu melewati pandemi ini dengan tetap melanjutkan proses pembelajaran. Karena pendidikan merupakan urat nadi Bangsa. Sikap optimisme ini juga dilakukan oleh Nabi Ismail ketika ia hendak disembelih, lewat jawabannya dalam (QS.As-Shaaffaat:102). “Insyaallah Engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”.

Mental berani dan optimisme dari Nabi Ismail harus dimiliki oleh semua orang. Nabi Ismail dengan ungkapannya tersebut, yakin bahwa ia mampu melewati perintah Allah tersebut dengan kesabaran, meskipun ia berada dalam kondisi hidup dan mati. 

Momentum Idul Adha ini, harus dijadikan motivasi untuk melakukan pengorbanan besar demi terwujudnya cita-cita besar. Sebagai seorang ayah, tentu kecintaan Nabi Ibrahim sangat besar terhadap anaknya. Namun sikap Nabi Ibrahim menunjukan kecintaannya kepada Allah jauh lebih besar sehingga ia merelakan anaknya disembelih. Melihat ketaatan Nabi Ibrahim yang begitu besar, maka Allah pun mengganti Nabi Ismail dengan hewan kurban.

Kisah tersebut menjadi awal disyariatkannya kurban sampai saat ini. Membaca kisah Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim, seperti membaca kisah cinta yang romantis namun dramatis. Karena bagaimana pun juga pengorbanan adalah ekspresi cinta. 

***

*) Oleh: Tika Fitriyah, Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Alumni pondok pesantren Al-Munawwir Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES