Apakah Bentuk Rezim Negara Mempengaruhi Penanganan Covid-19?

TIMESINDONESIA, SURABAYA – The World Health Organisation (WHO) sebagai organisasi kesehatan terbesar di dunia, telah mengumumkan penyakit coronavirus (covid-19) sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020. Pandemi covid-19 ini telah membawa dampak besar dan berhasil menyulut krisis secara global, karena lebih dari 200 Negara mengalami dampaknya.
Per 21 Agustus 2020, lebih dari 22,6 juta orang di seluruh dunia telah konfirmasi positif covid-19, dengan lebih dari 792.000 jiwa meninggal dunia. Krisis menunjukkan bahwa tidak ada negara yang tidak mengalami efek atau dampak adanya pandemi ini, baik negara maju ataupun negara berkembang, semuanya mengalami krisis dari dampak covid-19 ini.
Advertisement
Kehadiran covid-19 ini menjadi masalah yang sangat serius, semua negara dituntut harus mampu menghadapi sekaligus mencari jalan keluar dari krisis ini. Respon maupun tanggapan sejumlah negara, dalam hal ini pemerintah selaku aktor dalam pengambilan kebijakan menjadi sorotan bagi khalayak dan masyarakat.
Beberapa negara dan pemerintahan ada yang terlihat cakap dan tanggap serta proaktif dalam pengambilan kebijakan dalam menangani masalah ini. Mereka secara cepat menangani masalah pandemi ini, segala tat-tik strategis turut dilakukan agar negara dan masyarakatnya aman dari ancaman pandemi tersebut.
Dalam artian negara mampu mengutamakan prinsip save more lives bagi masyarakatnya. Namun juga sebaliknya, ada beberapa negara yang gagap dalam merespon permasalahan ini, ada pula yang meremehkan dan menyangkal permasalahan pandemi ini, alih-alih karena takut akan membawa dampak negatif pada ekonomi negara. Sehingga membiarkan atau merespon secara santai akan adanya pandemi covid-19 ini. Tidak melibatkan sejumlah ilmuwan atau pakar kesehatan dalam mengambil kebijakan.
Pada situasi kali ini, kita semua sudah dijejali banyaknya informasi mengenai pandemi yang tengah terjadi di seluruh dunia. Media dan masyarakat selalu melihat dan menyoroti pemerintah maupun negara-negara dalam merespon covid-19 dengan berbagai kebijakannya.
Hingga akhirnya kita dihadapkan oleh banyaknya opini yang mengatakan bahwa, bentuk rezim suatu negara mampu mempengaruhi tingkat kegagalan ataupun keberhasilan suatu negara dalam merespon covid-19. Namun pada realitanya tidak semua negara yang menganut rezim demokrasi mampu menangani pandemi ini, dan tidak semua negara otoriter tidak mampu menghadapi pandemi ini.
Langkah-langkah yang diambil oleh beberapa negara yang menjadi kunci keberhasilan untuk menghalangi penyebaran covid-19. Ada beberapa parameter dalam mengukur berhasil atau tidaknya sebuah negara menghadapi pandemi ini. Dalam hal ini parameter yang digunakan sudut pandang yang diusulkan oleh Zachary Abuza, dalam tulisannya yang berjudul “Explaining Successful (and unsuccessful) Covid-19 Responses in Southeast Asia”.
Dalam tulisannya Zachary memberikan empat parameter, dua diantaranya adalah parameter Leadership (kepemimpinan) dan parameter public trust. (legitimasi atau tingkat kepercayaan masyarakat).
● Parameter Kepemimpinan (Leadership)
Adanya permasalahan pandemi kali ini banyak negara di dunia dihadapkan oleh tantangan bagaimana respon merekaa dalam menyelesaikan dan mencari jalan keluar yang terjadi karena krisis pandemi kali ini. Dalam hal ini tidak ada pemerintah yang patut untuk disalahkan atas adanya pandemi, tetapi harus dicermati bagaimana pemerintah mampu untuk merespon permasalahan pandemi (Zachary Abuza, 2020).
Pada saat yang sama, permasalahan pandemi ini juga menyoroti mengenai persoalan inkompetensi kepemimpinan ataupun lemahnya kepemimpinan pada pemerintahan para elite di dunia. Sangat jelas bisa kita lihat banyak diantara para pemimpin politik pada awalnya meremehkan dan menganggap enteng datangnya pandemi ini, mereka tidak menghiraukan ancaman wabah yang berasal dari Wuhan, China ini, dan memilih untuk membisu dan tuli.
Mereka lebih fokus meredam gejolak pasar yang semakin gencar dilakukan.. Pemimpin negara-negara lain seperti halnya Negara Korea Selatan, Jerman dan Taiwan, merespon dan mengambil tindakan yang tepat yakni menjalin hubungan dan komunikasi baik secara transparan dengan publik serta melaksanakan tindakan pengendalian dengan baik.
Korea selatan dan Taiwan selaku negara yang menganut rezim demokrasi nyatanya mampu mengatasi masalah ini, begitu juga dengan Jerman sebagai negara otoriter pun juga mampu mengendalikan penyebaran pandemi ini. Di Korea Selatan per 21 Agustus 2020 telah terkonfirmasi 16.670 positif, 14.120 orang sembuh dan 309 orang meninggal dunia . Walaupun sempat mengalami gelombang kedua setelah diberlakukannya new normal, namun pemerintah Korea Selatan mampu mengendalikan angka penularan.
Berbeda dengan para pemimpin yang gagap dan tidak memiliki integritas kepemimpinannya, mereka membuat agenda proteksionis yang berlandaskan pada sikap pembodohan dan kebencian untuk memanipulasi publik atau rakyatnya, sembari terus menyangkal dan membenarkan opininya mengenai kondisi darurat yang mendesak saat ini.
Sikap pemimpin seperti itu terbukti juga bisa kita lihat dalam pengabaian mereka terhadap perubahan iklim yang terjadi, mereka juga mengabaikan adanya krisis yang terjadi pada negara-negara yang sedang kritis sampai yang ketika dalam kondisi sekarang ini bagaimana mereka merespons terhadap kondisi pandemi virus corona yang saat ini sedang terjadi di depan kita semua.
Pada momentum inilah seharusnya peran dari instansi pemerintah dan para ilmuan atau akademisi serta media yang kredibel sangat dibutuhkan untuk meyakinkan masyarakat atau publik mengenai signifikansi dari adanya fakta-fakta yang sebenarnya terjadi tentang pandemi covid-19 ini.
Pada saat yang bersamaan, dimana sebagian para pemimpin yang tidak cakap dalam merespon permasalahan ini malah mengambil situasi ini untuk dijadikan kesempatan mereka melakukan upaya yang terlihat cukup menyedihkan dengan berusaha memanfaatkan kondisi pandemi ini untuk mengkonsolidasi kekuasaan mereka bahkan ada pula yang memastikan mereka mampu untuk terpilih kembali.
Sangat ironis memang, hal tersebut terjadi di Negara Hungaria, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban merespon pandemi ini, dengan mendeklarasikan keadaan darurat pada 11 Maret 2020. Namun, kurang dari tiga minggu kemudian, Parlemen Hungaria nyatanya memberikan suara pada sebuah undang-undang yang memungkinkan Perdana Menteri Viktor Orban dapat memerintah tanpa batas atas dasar dekrit dengan alasan memerangi virus korona ini.
Dari sini dapat dilihat bahwa pemantauan yang bersifat sentralistis dan hukuman yang keras diluar batas bukanlah satu-satunya solusi untuk membuat orang menjalankan aturan yang sudah dibuat oleh pemimpinnya.
Negara demokrasi yang juga gagal dalam menghadapi pandemi ini adalah Brazil, presiden Brazil Jair Bolsonaro dengan entengnya meremehkan pandemi ini, Bolsonaro aktif menentang segala tindakan untuk melawan pandemi ini. Dampaknya, data menjawab per 21 Agustus 2020 telah terkonfirmasi 3,5 Juta jiwa positif covid, dan 112 ribu orang meninggal dunia , cukup mencengangkan memang.
Lalu bagaimana dengan negara super power yang dari dulu terkenal dengan kemampuan kepemimpinannya dalam segala permasalahan, yakni Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai negara yang juga menganut rezim demokrasi namun memiliki pemimpin negara yang tidak kapabel.
Amerika Serikat dan tindakan Donald Trump yang terlihat mengabaikan permasalahan pandemi ini, dengan membandingkan virus corona ini dengan flu biasa, walaupun sudah sangat jelas lebih bahwa virus ini lebih berbahaya. Kebanyakan orang Amerika yang menderita virus corona bahkan tidak bisa mendapatkan tes, apalagi perawatan maupun pengawasan medis yang layak.
Hingga saat ini Amerika telah dinyatakan sebagai negara yang memiliki jumlah kasus tertinggi penderita covid-19 ini dengan angka kematian yang tinggi. Terbukti juga dari data yang ada, per 21 Agustus 2020 telah terkonfirmasi 5,59 Juta jiwa positif, dan 174.000 orang meninggal dunia.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump saat ini hanya memfokuskan upayanya dalam memanipulasi opini publik, ia menggunakan berbagai alasan untuk membuat publik tetap patuh pada perintahnya. Setelah Trump menarik kembali pernyataan terkait bahwa yang mulanya wabah virus korona bukanlah ancaman serius bagi Amerika Serikat.
aat ini Trump juga memfokuskan upayanya untuk dapat menutupi fakta bahwa dirinya ternyata sangat terlambat dalam menanggapi dan mengambil tindakan untuk menghadapi pandemi ini dan salah dalam menangani permasalahan krisis (Santiago Zabala, 2020). Dengan demikian, dalam menanggapi krisis pandemi secara efektif juga membutuhkan pemimpin yang memiliki daya respon yang kompeten dengan membuat keputusan yang bijak dan efektif.
● Parameter Tingkat Kepercayaan Masyarakat (Public Trust)
Selain faktor kepemimpinan yang dapat dijadikan parameter dalam melihat berhasil atau tidaknya suatu negara menangani masalah pandemi adalah parameter tingkat kepercayaan masyarakat atau publik. Hari ini, kemanusiaan tengah dihadapkan oleh sebuah krisis yang kritis bukan hanya disebabkan oleh adanya pandemi covid-19, namun juga karena adanya krisis kepercayaan di antara sesama manusia.
Seharusnya dalam menghadapi pandemi ini, orang-orang perlu mempercayai apa yang diarahkan oleh para ilmuwan, dan seharusnya warga negara juga perlu percaya kepada otoritas publik sebagai pembuat kebijakan dan aturan untuk publik.
Telah dibahas pada penjelasan sebelumnya terkait faktor kepemimpinan dalam menghadapi pandemi ini, kita tahu bahwa selama beberapa tahun terakhir, sebagian para pemimpin yang tidak bertanggung jawab telah sengaja menggerogoti dan menyampingkan kepercayaan kepada ilmu pengetahuan dalam hal ini mereka tidak melibatkan para ilmuwan dalam tindakan pengambilan kebijakan.
Jika kita menengok pada kejadian 6 tahun yang lalu, ketika terjadi epidemi Ebola pada tahun 2014, Negara yang dikenal super power yakni Amerika Serikat telah bertindak sebagai pelopor yang sukses. Amerika Serikat mampu memberikan bantuan dalam menyelesaikan pandemi tersebut, Amerika juga memiliki peran yang mendukung banyak negara-negara untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi global saat itu (Yuval Noah, 2020).
Namun akhir-akhir ini, di tengah kondisi pandemi saat ini Amerika Serikat mulai melepaskan perannya sebagai negara yang memiliki kekuatan dalam mempelopori segala krisis yang terjadi di kancah dunia. Bisa kita lihat dimana Amerika Serikat saat ini telah memutus hubungan dan dukungan untuk organisasi kesehatan internasional seperti World Health Organization (WHO).
Ketika krisis virus covid-19 ini muncul, Amerika Serikat hanya duduk santai menjadi penonton, selama kondisi ini Amerika Serikat juga menahan diri untuk mengambil peran sangat berbeda kala 6 tahun yang lalu ketika pandemi Ebola terjadi.
Bahkan jika Amerika Serikat tiba-tiba mengambil posisi untuk berperan dalam menanggapi masalah ini, kepercayaan publik bahkan beberapa negara di dunia akan ragu bahkan tidak mau mengikutinya karena kepercayaan kepada negara Amerika sudah terkikis, karena dampak dari tindakan Amerika sendiri, yang gagal dalam menghadapi pandemi kali ini, mungkin hanya beberapa negara yang masih mau mengikutinya karena memiliki kepentingan yang sama. Tanpa kemudi yang jelas, kebijakan tidak berarah, lamban dalam menangani, dan tidak terkoordinasi secara baik, Amerika Serikat telah keliru bahkan gagal dalam menangani krisis pandemi kali ini (Ed Yong, 2020).
Di Brazil, Presiden Jair Bolsonaro dengan entengnya mengatakan bahwa virus corona ini hanyalah virus biasa seperti flu biasa, dan seseorang tidak akan merasakan keluhan jika terinfeksi virus corona ini.
Presiden Bolsonaro tidak hanya menyerang media namun juga mempersoalkan saran dari para ilmuwan dan para akademisi bahkan dari WHO, parahnya presiden memberikan informasi yang keliru yang diamini oleh pemerintahan Brazil (Santiago Zabala, 2020).
Hal itulah membuat masyarakat atau publik di Brazil mulai ragu dan mencabut kepercayaannya kepada pemerintah dan presiden Brazil. Dalam momentum seperti itu, seharusnya para ilmuwan perlu mengambil posisi untuk merebut kembali kepercayaan masyarakat atau publik, namun juga harus melalui riset fakta yang valid dan kredibel. Negara Amerika Serikat dan Brazil sama-sama termasuk negara yang menganut rezim demokratis, namun kenyataan yang ada mereka tidak mampu membangun kepercayaan yang baik kepada publik.
Negara Vietnam, yang menganut rezim otoriter dan dinilai berhasil menangani kasus covid-19. Vietnam salah satu negara yang berhasil mengendalikan penyebaran virus, dengan tingkat kasus angka kematian yang rendah (hanya ada 25 orang yang meninggal dunia).
Pemerintah Vietnam sangat cepat tanggap dan berani membuat kebijakan mengenai pandemi covid-19 ini disaat negara lainnya masih santai belum mengeluarkan aturan atau kebijakan konkret terkait pandemi. Ketika virus corona masih menyebar di China, pemerintah Vietnam dengan berani dan tanggap sudah membuat kebijakan untuk melarang untuk merayakan Tahun Baru Imlek yang biasanya dilakukan dengan sangat meriah dan melibatkan masyarakat untuk berkumpul, padahal saat itu belum ada kasus yang masuk di Vietnam.
Selain itu, pemerintah Vietnam juga membuat data secara terbuka kepada masyarakat secara luas untuk dapat mengakses data di wilayah kecil di sekitar mereka. Sehingga hal ini dapat menjadi langkah yang efektif untuk mengantisipasi masyarakat agar lebih berhati-hati ketika hendak bepergian ke luar rumah.
Masyarakat atau publik di negara Vietnam memiliki tingkat kepercayaan yang baik terhadap pemerintahnya, karena pemerintah dirasa sah dan berkompeten.
Dari riwayat yang dialami oleh beberapa negara tersebut, terlihat bahwa orang-orang yang diberitahu mengenai fakta ilmiah, dan diberikan arahan secara bijak dan sistematis serta ketika mereka dapat mempercayai otoritas pemerintah, maka warga atau publik dapat bertindak secara baik bahkan tanpa paksaan secara keras dari pihak lain.
Pada dasarnya masyarakat yang memiliki motivasi diri yang cukup baik dan tidak picik biasanya jauh lebih berdaya, dibandingkan dengan masyarakat yang termasuk lugu yang didisiplinkan (Yuval Noah, 2020). Contohnya saja, soal mencuci tangan dengan sabun dan memakai masker.
Hari ini hampir semua orang di dunia ini khususnya negara yang terdampak pandemi ini terbiasa untuk melakukan cuci tangan dengan sabun dan menggunakan masker, mereka mengetahui fakta bahwa dengan mencuci tangan maka akan mengurangi resiko penularan virus ini. Akan tetapi, untuk mencapai kesukarelaan tersebut kita perlu memiliki rasa kepercayaan. Karena itulah mengapa tingkat kepercayaan publik dalam hal ini sangat penting sehingga dijadikan parameter dalam menangani permasalahan pandemi kali ini.
Kesimpulan
Adanya virus corona ini membawa dampak krisis terhadap suatu negara tanpa peduli sistem pemerintahan yang negara anut, baik itu negara dengan rezim demokratis ataupun negara dengan rezim otoriter, sama-sama mengalami krisis akibat adanya pandemi ini.
Yang bisa kita jadikan parameter dalam menilai berhasil atau tidaknya negara dalam menghadapi pandemi adalah dari segi model pemimpinnya dan bagaimana tingkat kepercayaan publik atau legitimasi. Para pemimpin negara yang tidak bertanggung jawab membuat kebijakan yang ngawur sebagai upaya untuk mengamankan kepentingannya.
Hasilnya terjadi ledakan kasus yang tinggi dan sulit untuk dikendalikan penyebarannya. Begitu juga dengan hilangnya rasa kepercayaan satu sama lain dalam kehidupan bernegara. Kepercayaan publik atau rakyat terhadap pemerintah mulai diragukan karena ulah dari pemerintah itu sendiri yang kurang tepat dalam merespon pandemi covid-19.
Dengan demikian apapun bentuk rezim yang dianut oleh beberapa negara di dunia ini baik rezim demokratis maupun otoriter tidak memberikan dampak secara signifikan ataupun tidak menjadi pengaruh utama dalam keberhasilan sebuah negara dalam menghadapi pandemi covid-19 ini.
***
*) Oleh: Izzah Afadha, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |