Politik Transaksional dan Masa Depan Ekonomi Indonesia

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Biaya politik yang tinggi agar bisa mengikuti kontestasi perpolitikan di Indonesia adalah bibit dari suburnya politik transaksional. Istilah transaksi sangat melekat dalam dunia bisnis. Mulai dari kegiatan tawar menawar harga, sampai menukar barang atau jasa dengan uang . namun rupanya transaksi seperti itu juga lumrah terjadi dalam dunia perpolitikan.
Penguasa, elit dan masyarakat turut ikut andil memupuk politik transaksional. Ongkos gelap datang dari para pemangku kepentingan untuk memuluskan rencananya. Biasanya para elit ini datang sebagai investor yang berinvestasi dalam kontestasi politik, tentu saja dibelakang itu sudah terjadi transaksi jabatan dan akses kemudahan bila sicalon terpilih, sebagai profit dalam bentuk non tunai yang harus dibayarkan kepada pengongkos gelap.
Advertisement
Tidak heran bila belakangan banyak sekali kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Alih-alih pembangunan bagi masyarakat, nyatanya ada udang dibalik batu, tetap saja oligarki yang paling diuntungkan dalam setiap kebijakan dan pembangunan yang dicanangkan. Contoh yang masih hangat adalah RUU cipta Kerja yang memberikan karpet merah kepada investor untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional , akan tetapi abai terhadap dampak negatif kepada buruh, petani dan lingkungan.
Tawar Menawar dalam Lingkaran Politik
Transisi masa orde baru ke era reformasi memberi dampak perubahan dalam peta perpolitikan di Indonesia. Sistem demokrasi yang dijalankan membawa banyak kebijakan baru sehingga membuka peluang bagi siapa saja untuk mejadi politikus. Hal itu menarik semua kalangan untuk ikut terjun dalam dunia politik. Politik praktis menjadi salah satu cara yang diambil dengan munculnya wajah-wajah baru dalam kontestasi politik.
Politik praktis melahirkan budaya transaksional politik uang untuk bisa memudahkan mencapai target kekuasaan. Transaksi ini melahirkan budaya politik korup dan akan berpihak pada kelompok oligarki yang banyak diuntungkan dalam proses suksesi politik. Akses permodalan dari donatur politik akan berdampak pada hak-hak dasar warga Negara. Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018 menemukan fakta, kebijakan dapat dibeli dari proses pencalonan baik kepala daerah maupun presiden.
Survei KPK menemukan, setidaknya ada tujuh harapan donatur pencalonan kontestasi politik kepada calon, yakni, kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan, kemudahan akses menjabat di pemerintahan. Kemudian, kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah, keamanan dalam menjalankan bisnis yang ada, mendapatkan akses menentukan kebijakan.peraturan pemerintah. serta, hingga mendapatkan bantuan untuk kegiatan sosial atau hibah.
Implikasi dari politik transaksional akan melanggengkan budaya korupsi, menormalisasi bargaining politik, donatur politik dapat memuluskan bisnisnya serta mendapat tempat strategis dalam tatanan pemerintah dan masyarakat. Akhirnya masyarakat menjadi korban keserakahan dan kesewenang-wenangan penguasa yang sudah terlindungi kebijakan pro penguasa dan oligarki.
Sikap Permisif Masyarakat Terhadap Politik Uang
Pesta demokrasi di Indonesia terasa tidak lengkap jika tidak dibumbui politik uang. Masyarakat sudah terbiasa dengan hal itu, bahkan masyarakat meganggap politik uang adalah harga yang harus dibayar sebagai ongkos lelah dalam memilih calon.
Fakta ini senada dengan rilis riset yang dilakukan oleh PUSAD UMSurabaya pada April 2020 terkait sikap masyarakat apabila diberi uang oleh calon pada Pilkada serentak di 19 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Menyampaikan bahwa 98,13 persen responden mau menerima uang, dan hanya 1,87 persen masyarakat yang bersedia untuk menolak pemberian uang.
Sikap permisif masyarakat yang memberi ruang untuk memuluskan praktek politik uang bukan tanpa alasan. Faktor pendidikan, pengetahuan dan lemahnya ekonomi menjadi penyebabnya.
Hubungan Politik dan Ekonomi
Politik dan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat. Politik berkaitan dengan aktor pemegang kendali kekuasaan sedangkan ekonomi berkaitan dengan aktor pemegang kendali sumber daya yang tersedia disuatu negara.
Di Indonesia (1998-saat ini ) kita meganut sistem ekonomi pancasila, yang berlandaskan ideologi Negara yaitu berasaskan kekeluargaan dan gotong-royong. Sistem ekonomi yang diterapkan beberapa negara memang sesuai dengan filosofi hidup negara yang berkaitan, termasuk Indonesia. Sistem ekonomi pancasila sendiri memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara untuk berusaha atau membangun usaha perekonomian dengan batasan dan syarat-syarat yang ditentukan.
Pemerintah memiliki power untuk menentukan arah kebijakan perekonomian, sehingga celah ini dimanfaatkan oleh para donatur politik untuk bisa menguasai sektor-sektor perekonomian. Batasan dan syarat-syarat yang ditentukan tak jarang hanya dijadikan formalitas dan bisa ditembus melalui jalur lobi politik, bahkan dari saat proses pencalonan sudah terjadi transaksi didalamnya.
Klientalisme menjadi pemicu tumbuhnya politik uang seperti ditandaskan Erward Aspinall dalam buku Democracy for sale (Aspinall,2017). Para politisi memberikan uang tunai atau barang kepada masyarakat atau pemilih untuk memenangkan pemilihan. Sumber pendanaan didapatkan dengan memperjual belikan kontrak, perizinan, dan manfaat-manfaat lainnya pada pengusaha.
Tidak heran jika dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse Research menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen total kekayaan penduduk dewasa. Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen total kekayaan penduduk. Artinya pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini hanya dinikmati oleh sebagian segelintir orang. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini menciderai ideologi Negara yaitu pancasila yang juga dijadikan arah kiblat ekonomi Negara.
Dari Kita untuk Bangsa
Politik transaksional memiliki dampak buruk terhadap masa depan bangsa dalam berbagai sektor, termasuk sektor ekonomi. Perilaku sewenang-wenang dan menindas hak-hak rakyat oleh para penguasa dilahirkan oleh politik transaksional.
Maka, menjelang Pilkada serentak yang akan diselenggarakan 9 Desember. Kita bisa memulai dari diri kita sendiri untuk bisa menolak segala bentuk politik uang, serta menularkannya pada sekitar dengan memberikan edukasi politik yang benar agar bisa mengembalikan fitrah demokrasi. Hal ini harus segera diwujudkan agar ketimpangan pembangunan dan ekonomi tidak semakin melebar. (*)
***
*)Oleh: Masrurotus Sa’adah, Mahasiswi prodi Manajemen di Universitas Muhammadiyah Surabaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |