Kopi TIMES

'Anak Pungut', Kawin Paksa, atau..... 

Selasa, 08 September 2020 - 16:29 | 65.94k
Choirul Amin, Kolumnis, Founder inspirasicendekia.como, Bergiat di AKSARA CENDEKIA Malang.
Choirul Amin, Kolumnis, Founder inspirasicendekia.como, Bergiat di AKSARA CENDEKIA Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pilkada Serentak 2020 sudah melewati masa pendaftaran kandidat calon yang bakal maju dalam kontestasi. Semua kandidat paslon sudah resmi ditentukan siapa saja, tinggal menunggu visi dan program apa yang akan diusung dan diperjuangkannya, untuk bisa merebut simpati calon pemilih. 

Publik calon pemilih kebanyakan, boleh jadi masih acuh pada hajat pilkada yang dijadualkan pada 9 Desember 2020 ini. Bahkan mungkin juga, belum begitu interes pada dinamika dan output pilkada nantinya. Sebagian besar publik akan lebih concern pada calon dan apa yang akan ditawarkannya, pada saat mendekati hari pemungutan suara. 

Kontestasi pilkada Kabupaten Malang misalnya, sebelumnya jadi obrolan sekadarnya saat berada di kedai kopi atau tempat publik lainnya. Siapa dan berapa paslon yang maju, berebut kursi kepala daerah dengan 2 juta lebih penduduk ini? Mungkin sebatas itu! 

Senin (7/9/2020) siang, menjadi obrolan menarik seputar pilkada, saat penulis mampir di sebuah warung kopi pinggir jalan. Obrolan politik yang lebih gamblang, di balik pencalonan dua paslon pilkada Kabupaten Malang. Bahwa, politik itu sejatinya pragmatisme kepentingan sangat nyata adanya. Tetapi, berpolitik untuk menjaga sebuah marwah dan idealisme, ya....nanti dulu! 

Selama obrolan ini, logika sementara yang bisa disimpulkan penulis, bahwa kepentingan politik itu dinamis, tak ajeg dan sangat mungkin bisa berubah-ubah. Pagi kedelai, sore bisa berubah tempe. Begitulah! 

Obrolan pilkada di warung kopi bersama seseorang ini, lebih banyak terkait nawaitu (niat) pencalonan salah satu calon. Penulis meyakini, obrolan ini bukan ompol alias omongan politik yang tak berbobot. Yang bisa dipahami, bahwa sejatinya syahwat politik untuk menjadi kepala daerah ini, sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Tepatnya, saat masih berlangsung pemilu legislatif 2019 lalu. Di Kabupaten Malang, dua parpol menjadi pemenang pada pemilu ini. Yakni, partai PDI Perjuangan dan PKB, yang akhirnya sama-sama mendapatkan 12 kursi di DPRD.

Yang mengemuka, PKB lah yang tampak paling siap sejak awal memunculkan figur untuk menjadi bakal calon pilbup Malang. Bisa ditebak, yang siap bertarung adalah kadernya yang kini masih berstatus petahana. Atas niatnya ini, konon sang petahana harus berburu rekomendasi ketua DPP PKB ke Jakarta, bahkan hingga empat kali. 

Ikhtiar politik inipun dilakukan lebih awal, ambil start terdepan, setidaknya dilakukan hingga Maret 2020 lalu. Di sisi lain, semua partai lain termasuk PDIP, masih banyak berpikir atau malu-malu, terkait pencalonannya pada pilkada kali ini. 

Semua pasti mafhum, dan ini juga mengemuka dalam obrolan dengan penulis, bahwa untuk mendapatkan sebuah surat rekomendasi pencalonan bukanlah hal cuma-cuma. Ada sejumlah mahar miliaran rupiah yang harus disiapkan tentunya. (Maaf, nominalnya tak bisa disebutkan). Jika melihat getolnya berburu rekomendasi ke Jakarta ini, bisa disimpulkan petahana begitu optimis, untuk tidak dikatakan ambisius, untuk bisa tetap menjadi orang nomor satu memimpin Kabupaten dengan 33 kecamatan ini. 

Di luar ekspektasi petahana, harapan itu tak kunjung ada kepastian. Di luar dugaan publik juga, peta politik pencalonan untuk pilkada Kabupaten Malang justru digambar dari Ibukota, sekitar awal April 2020 lalu. 

Entah kebetulan atau sudah dibahas sebelumnya, petahana yang hampir putus asa dan terkatung-katung menunggu kepastian nasibnya, mendapatkan sinyal kendaraan politik baru. Kendaraan yang kelak menjadi tumpuannya, untuk berjuang menasbihkan dirinya kembali menduduki tahta Bupati Malang. Ganti baju politik dengan cepat pun menjadi keputusannya. Wow.....! 

Publik Malang dibuat kaget dan gempar karena manuver petahana ini. Berbagai pertanyaan dan spekulasi pun berkembang. Ada apa? Secepat itu kah keputusan Sanusi? Apa keuntungan baginya, termasuk juga bagi PDIP? Selain motivasi dan kontrak politik yang ada, apa sejatinya niat dan komitmen seorang Sanusi? Dalam konteks ini, tentunya yang lebih tau pasti dan bisa menjawab semua itu adalah yang bersangkutan. 

Ada spekulasi juga, apakah ini merupakan kecerdikan elit 'Banteng Moncong Putih' memanfaatkan situasi politik yang masih serba mengambang saat itu, dan kegundahan seorang petahana atas ketidakpastian sikap partai yang sudah bertahun-tahun membesarkannya? Tidak salah diartikan juga, kader terbaik PKB yang juga petahana ini sengaja 'dibajak', atau lebih tepatnya dipinang dan dikawinkan 'paksa' dengan kader internal yang bakal diusung PDIP. 

Konon katanya pula, kala itu Sanusi dihadapkan pada dua tawaran: keluar dari PKB dan menjadi kader PDIP, dan disilahkan memilih calon wakil pasangannya sendiri dari 3 kader terbaik PDIP, serta bersedia tidak lagi maju pada pilbup Malang periode 2024-2029 mendatang. Soal benar ada tidaknya, dan berapa jumlahnya mahar politik yang harus dipenuhi, tidak jelas tersirat dalam drama 'peminangan' Sanusi kala itu. Tidak bisa dibayangkan suasana dan pergolakan batin yang dialami petahana kala itu. Sekali lagi, yang bersangkutan tentunya yang lebih tahu. 

Dinamika politik lokal sedikit mengalami ekses pascamanuver dan keputusan petahana ini. Bagaimanapun, Sanusi yang berposisi strategis sebagai petahana tidak bisa dianggap hanya 'anak pungut', yang sudah kehilangan induknya. Sempat berstatus menjadi wakil ketua di pengurusan DPC PKB, tentunya ia pun tetap menuai simpati, terutama dari para loyalisnya. Sejumlah elit PKB Kabupaten Malang pun akhirnya mengikuti jejaknya, paling banyak diikuti mundurnya 19 PAC dari kepengurusan PKB.  

Selesai dulu soal kandidat petahana, obrolan pilkada untuk calon rival juga menarik diketahui muasalnya. Tidak banyak dimengerti memang soal munculnya paslon yang diusung PKB Kabupaten Malang kali ini. Selebihnya, persepsi dan rumor yang akhirnya menguat. Semua berangkat dari pertanyaan hampir sama, kenapa harus Latifah Sochib, dan akhirnya dipasangkan dengan Didik Budi Mulyono? Lantas, kemana kader-kader muda NU yang sebelumnya muncul dalam perbincangan, atau dalam kesempatan langsung, dan nyata-nyata siap mewarnai suksesi kepala daerah dalam pilkada Malang 2020 ini? 

Nama 'dokter rakyat' Umar Usman, yang tercatat sebagai Ketua Tanfidz PCNU Kabupaten Malang, sebelumnya sempat menguat. Nyatanya, sang dokter sebenarnya dikabarkan sudah mengantongi langsung surat perintah dari DPP PKB untuk melakukan sosialisasi awal, untuk lebih mengenalkan dirinya. Silaturahmi langsung sudah banyak dilakukannya hingga wilayah pelosok. Konon, untuk bisa melangkah dengan surat 'sakti' ini, ia sudah menyiapkan mahar yang jumlahnya juga tak sedikit, dengan 12 digit 0 pastinya. 

Sang dokter pun gagal, atau mungkin 'terjegal', dan tidak mendapatkan kepercayaan PKB dengan surat rekomendasi sebagai syarat maju mencalon diri untuk pilkada Kabupaten Malang tahun ini. Atas dasar apa, dan untuk kepentingan strategis apa yang menjadi pemikiran elit PKB, sehingga dokter rakyat ini diparkir begitu saja? Bisa jadi, apa yang dialami sang dokter ini, tak ubahnya yang terjadi pada petahana sebelumnya. Entahlah. 

 

Janji Pemimpin, Bukan Komoditas Kepentingan!

Ilustrasi di balik pencalonan dan munculnya siapa saja paslon kandidat pilkada Kabupaten Malang di atas, tentunya bukan kisah masa lalu tidak penting yang bisa disepelekan begitu saja. Pencalonan dan rivalitas antarpaslon, memang lebih bermuara pada kontestasi dan perebutan dalam perolehan suara kemenangan. Memenangi pilkada dan terpilih dengan suara terbanyak saat pemungutan pilkada, bukan berarti semua selesai! 

Namun, penting dipahami bersama, bahwa produk pilkada bukan sekadar suksesnya penyelenggaraan, lalu didapatkan kepala daerah terpilih. Publik perlu juga pelu memikirkan, bagaimana harapan dan kemaslahatannya akan terepresentasi oleh kepemimpinan kepala daerah yang bakal dipilih. Kepentingan publik yang benar-benar terjamin, dijunjung tinggi, dan bisa terwujudkan, setidaknya hingga lima tahun mendatang. 

Konon kisah munculnya paslon pilkada di atas bisa menjadi atensi bersama, bahwa kepentingan, bahkan cita-cita dan idealisme sekalipun, begitu gampangnya berubah-ubah. Saking banyaknya kepentingan politik praktis lain, sangat mungkin selalu membayang-bayangi, hingga bisa membebani, siapapun kepala daerah yang bakal terpilih nanti. Dan hukum alamiahnya, bisa jadi 'kepentingan' yang lebih kuat lah yang didahulukan. 

Kepentingan rakyat dan kemaslahatan ummat, tentunya lebih banyak dan besar. Namun, kepentingan publik ini sangat mungkin dan tak bisa dinafikan, juga berasal orang-orang kecil, yang tak berdaya dan tak punya kuasa. Sebagai publik dan calon pemilih, tidak salah tentunya kita pun bertanya: Jangan-jangan nanti apa yang sudah dijanjikan semua paslon, berubah atau mudah dilupakan begitu saja?  Semoga saja tidak demikian halnya! (*)

***

*)Oleh: Choirul Amin, Kolumnis, Founder inspirasicendekia.como, Bergiat di AKSARA CENDEKIA Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES