Kopi TIMES

Trilemma Ekonomi Politik Indonesia

Sabtu, 12 September 2020 - 01:21 | 191.84k
Hidsal Jamil, Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) Universitas Brawijaya.
Hidsal Jamil, Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) Universitas Brawijaya.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Ketegangan global tampaknya lebih mirip episode cerita yang tiada habisnya. Alih-alih mereda, ketegangan global justru terus membuncah selama masa pandemi. 

Pada episode awal, Amerika Serikat dan Tiongkok sebagai dua kekuatan besar ekonomi dunia saling melemparkan tudingan bahwa salah satu diantara keduanya mesti bertanggungjawab terhadap penyebaran Covid-19 di berbagai dunia. Pada puncaknya, Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Donald Trump, memutuskan akan menarik diri dari keanggotaan World Health Organization (WHO) mulai 6 Juli 2021. 

Advertisement

Secara beriringan, Aizenman dan Ito (2020) menyebutkan episode lanjutan ditandai dengan perpecahan politik antara otoritas pemerintahan dan rakyat semakin masif sehingga memaksa negara yang awalnya demokratis mengambil tindakan represif, bahkan dalam skala tertentu cenderung otoriter. Contoh tersebut dapat didokumentasikan dalam aksi tuntutan terhadap UU Keamanan Nasional di Hongkong dan aksi #BlackLivesMatter di Amerika Serikat.

Gambaran mengenai ketegangan global saat ini sesungguhnya sangat berbeda dengan lanskap kebijakan global di masa lalu. Sebagai contoh, setelah Perang Dunia II sampai dengan satu dekade awal Abad-21, Eropa terus mengupayakan integrasi ekonomi dan politik regional melalui proses demokratisasi, walaupun mengharuskan setiap negara untuk mengorbankan kepentingan nasionalnya masing-masing.

Lalu, perubahan tatanan ekonomi politik seperti apa yang telah menciptakan ketegangan global akhir-akhir ini?

Jawabannya bisa kita temukan pada kerangka analisis yang dicetuskan oleh Dani Rodrik dalam tulisannya berjudul How Far Will International Economic Integration Go?. Di dalam tulisannya yang terbit pada musim dingin tahun 2000, Rodrik menyebut tatanan global dihadapkan pada trilema ekonomi politik.

Trilema ekonomi politik menegaskan bahwa setiap negara harus memilih dua dari tiga pilihan penting yaitu kedaulatan nasional, demokrasi, dan globalisasi. 

Sebagai contoh, negara yang menjalankan demokrasi dan globalisasi bisa ditemukan di negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Pilihan yang diambil menyebabkan masing-masing anggota Uni Eropa tidak bisa secara dominan memaksakan kepentingan nasionalnya. Pilihan ini bisa kita sebut sebagai federalisme global.

Berbeda dengan negara anggota Uni Eropa, Inggris cenderung menjalankan kedaulatan nasional dan demokrasi secara bersamaan sejak mencuatnya Brexit pada 2016. Inggris ingin memastikan demokratisasi dapat terus berjalan di satu sisi, sambil tetap mencegah hiper-globalisasi menghantam ekonomi negara tersebut di sisi lain.

Sementara itu, Tiongkok lebih memilih menerapkan kedaulatan nasional beriringan dengan globalisasi, ditandai dengan masuknya negara tersebut ke dalam keanggotaan World Trade Organization (WTO) sejak 2001. Pilihan ini kemudian disebut sebagai Golden Straitjacket, suatu kondisi dimana kebijakan yang dirancang suatu negara tidak dilakukan secara demokratis, melainkan disesuaikan berdasarkan kepentingan perusahaan multinasional ataupun ketentuan dalam organisasi multilateral.

Lalu, bagaimana dengan tata kelola ekonomi politik Indonesia? Jawabannya dapat kita lacak dalam pembabakan sejarah Indonesia. Pada Era Orde Baru, Indonesia cenderung memilih Golden Straitjacket, atau dengan kata lain, mengamankan kepentingan nasional dengan tetap terkoneksi dengan dunia global. 

Untuk menjalankan kedua tujuan tersebut, pemerintahan pada era ini dijalankan secara otoriter untuk menghindari terulangnya instabilitas nasional yang masif terjadi di Era Pasca Kemerdekaan. Era ini juga ditandai dengan serangkaian kebijakan deregulasi dan debirokrasi untuk mengakomodir kepentingan korporasi. Alhasil, era ini mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi sehingga Indonesia dijuluki sebagai salah satu Keajaiban Asia. Setelah berkuasa selama 32 tahun, era ini mengalami kemunduran seiring dengan menjalarnya Krisis Keuangan Asia pada 1998 .

Indonesia kemudian menjalankan pemerintahan demokratis Era Reformasi sebagai antitesis dari pemerintahan otoriter Era Orde Baru, sambil tetap mempertahankan hubungan dengan dunia internasional. Era ini ditandai dengan empat pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak, serta keterlibatan Indonesia pada Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Tata kelola ekonomi politik Era Reformasi yang tergolong mengarah pada federalisme global ini sudah berjalan hampir dua dekade lebih. Namun demikian, kekecewaan terhadap sistem ini muncul sekurang-kurangnya karena dua hal. 

Pertama, demokratisasi yang ditandai dengan desentralisasi politik, akhir-akhir ini, malah menimbulkan kontradiksi berupa praktik KKN yang menyebar hingga pada level daerah. Bahkan dalam beberapa kasus, demokrasi cenderung sebagai pelumas langgengnya oligarki dimana pemimpin yang tersedia di arena pemilihan sebetulnya telah dikerucutkan oleh sekelompok elit yang berkuasa, bukan buah dari meritokrasi.

Kedua, globalisasi yang ditandai dengan integrasi ekonomi masih belum memberikan manfaat yang optimal bagi Indonesia. Hal ini tidak mengejutkan mengingat perdagangan antar anggota ASEAN sendiri tidak menunjukkan progres yang cepat, dimana pada tahun 2000an sekitar 24,4%, kemudian hanya menjadi 25,3% terhadap total perdagangan ASEAN pada tahun 2010an.

Apakah kekecewaan tersebut bakal terkulminasi pasca pandemi, dan jika benar seperti itu, apakah pandemi ini menjadi momentum yang tepat untuk menata ulang tata kelola ekonomi politik kita? Tentu, tak ada jawaban yang tunggal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. 

Pada akhirnya, trilemma ekonomi politik menjadi semacam pergulatan tiada henti bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang hendak memajukan kesejahteraan umum. Setidaknya, pengalaman kita merasakan tata kelola ekonomi politik pada dua rezim yang kontras menjadi kompas pemandu jalannya bangsa ini ke depan.

***

*) Oleh: Hidsal Jamil, Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) Universitas Brawijaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES