Kopi TIMES

Melihat Peristiwa G30S PKI dengan Sudut Pandang Berbeda

Kamis, 01 Oktober 2020 - 17:24 | 219.77k
Haidar Ali Muqaddas, Mahasiswa FH UMM, PC IPNU Pamekasan, Kader HMI Komisariat Hukum UMM.
Haidar Ali Muqaddas, Mahasiswa FH UMM, PC IPNU Pamekasan, Kader HMI Komisariat Hukum UMM.

TIMESINDONESIA, MALANG – Tanggal 30 September 2020 yang bertepatan pada hari Rabu. Tentu hari Rabu di bulan ini dan tanggal ini dan di tahun ini tak lagi menjadi Rabu yang biasa-biasa saja di mata banyak orang, tetapi menjadi hari yang disakralkan karena bertepatan dengan sejarah kelam dan misterius yaitu Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI).

Tulisan-tulisan seperti halnya 'MENOLAK LUPA ATAS PEMBERONTAKAN PKI' 'GANYANG PKI' dan semacamnya bertebaran di mana-mana termasuk di media sosial. Tentu, penulis juga mengingat dan berpikir untuk merefleksikan peristiwa itu yang bagi saya belum tentu pasti itu adalah pemberontakan.

Nah, ada hal yang menarik untuk disajikan dan dianalisis serta direnungkan kembali terkait riuh kutukan terhadap 'G30S PKI' khususnya pada refleksi kali ini yang bagi saya adalah degradasi yang luar biasa dari seluruh masyarakat Indonesia khususnya kaum muda. Banyak yang dari kita sebagai kaum muda (Pelajar/Mahasiswa/Santri) mengutuk peristiwa tersebut dengan langsung menjustifikasi berbagai hal tanpa membaca, bertanya, dan menyoal berbagai hal.

Tentu, kita misalnya yang sebagai santri atau yang hanya berbau santri mempunyai tradisi taqlid atau bermakmum pada Guru, Kyai, Ulama. Namun, apakah para imam kita (Guru, Kyai, Ulama) itu melarang kita memperluas dan memperdalam khazanah intelektual kita tentang berbagai hal termasuk peristiwa yang sangat menyakitkan dan memilukan ini? Bagi saya tidak!

Tentu, Beliau-beliau sangat bahagia ketika melihat dan mendengar muridnya tumbuh dan berkembang di samping tetap setia pada dirinya namun mempunyai interpretasi yang beragam di setiap dirinya. Maka dari itu, sebenarnya yang lebih tepat pada hari ini adalah bukan hanya menyibukkan diri untuk mengutuk PKI, tetapi kita harusnya menyibukkan diri untuk bertanya pada diri sendiri.

Contoh pertanyaannya beragam. Apa benar ini adalah pemberontakan? Apa benar gerakan ini dimotori PKI? Atau hanya Kudeta merangkak lalu mengkambinghitamkan PKI? Atau pertanyaan yang lebih menampar diri kita sendiri adalah apa saya sudah cukup referensi tentang peristiwa ini?

Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, karena begitulah hidup selalu ada pertanyaan di setiap pertanyaan dan selalu ada pertanyaan kembali di setiap jawaban. Apa ini adalah hal aneh? Tentu tidak, sebab manusia adalah makhluk yang rasional. Jika anda merasa kebingungan tentang sesuatu hal yang saya tawarkan dan ini adalah cara atau sudut pandang yang berbeda atas suatu hal, saya hanya bisa mengucapkan 'Selamat Anda sudah menjadi filsuf per detik dan per hari ini'.

Dengan pertanyaan-pertanyaan itu kita lalu berpikir kembali serta merenungkan kembali secara mendalam dan tentunya akan ada sesuatu di benak kita atas apa yang kita pikirkan dan renungkan. Maka mulailah kita berjumpa dengan diri sendiri bahkan berperang dengan diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan semacam, 'Kok saya memaki-maki PKI, sedangkan saya belum mempunyai bukti bahwa PKI pelakunya' atau 'Dari mana saya tau bahwa ini semua adalah kekejaman PKI?'

Kira kira begitu, atau kita semua ini mengutuk PKI secara berjamaah dan istiqomah setiap tanggal 30 September hanya dengan bukti video versi militer itu? Atau hanya mengandalkan pendengaran yang biasa kita sebut 'kuping ke kuping?'

Bagi saya itu semua belum cukup untuk membuktikan secara jelas bahwa PKI lah yang seutuhnya salah dan wajib kita maki-maki secara berjamaah dan istiqomah. Bukan juga untuk membela PKI, tidak!. Saya lebih ke mengajak para pembaca tulisan ini untuk introspeksi diri (muhasabah) atas peristiwa ini, karena sangat boleh jadi peristiwa ini dapat menambah daya baca buku kita (menambah kecerdasan kita) dan sangat boleh jadi juga bahwa peristiwa ini semakin menambah kedunguan kita sebagai rakyat dan sebagai kaum muda.

Maka pintar-pintarlah muhasabah, pintar-pintarlah menganalisis sesuatu, jangan lupa membaca untuk menemukan berbagai sudut pandang. Maka, coba kita ubah atau modifikasi pernyataan-pernyataan kita yang berbau kutukan itu dengan pertanyaan dalam diri sendiri 'Sudah membaca berapa buku terkait peristiwa ini?', 'apa hasil dari metodologi kita terhadap peristiwa ini?'

Maka pernyataan-pernyataan yang keluar lebih menarik untuk dibaca karena nadanya lebih bernilai 'Akademis' bukan 'Politis', ruang diskusi dan ruang perdebatan pun begitu, akan lebih asyik jika bukti dan argumentasinya berbobot atau substantif maka lebih menarik perhatian.

Jika dulu dan hari ini kita masih terjebak dalam paradigma mengutuk PKI secara berjamaah dan istiqomah, mari ke depan ubah menjadi mengutuk diri sendiri untuk menjadi lebih manusia. Sekian.

***

*)Oleh: Haidar Ali Muqaddas, Mahasiswa FH UMM, PC IPNU Pamekasan, Kader HMI Komisariat Hukum UMM.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES