Kopi TIMES Universitas Islam Malang

UU Terancam “Nihilisme Total”

Senin, 19 Oktober 2020 - 11:49 | 43.87k
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukun Universitas Islam Malang (UNISMA) dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukun Universitas Islam Malang (UNISMA) dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Secara general, rakyat itu mesti mengidealisasikan suatu produk hukum ynag sejalan dengan aspirasinya. Kalau norma ini diproduk sepihak atau tidak berdasarkan serapan kepentingannya, maka bukan hanya norma ini bukan hanya ditolaknya, tetapi juga berlawanan dengan idealism negara hukum yang berbasiskan nilai-nilai demokratisasi.

Supaya bisa menjadi produk hukum negara dalam basis populis-humanis atau memberi manfaat publik tersebut, subyek yuridis seperti dalam UU Cipta Kerja menjadi kuncinya. Elemen ini bisa membuat hukum jadi bernyawa atau menunjukkan keistimewaannya seperti melindungi, memenuhi, menegakkan, dan memberdayakan, dan sebaliknya bisa menghadirkan dan ”menyuburkan”  penderitaan bagi rakyat, pencari keadilan atau buruknya wajah negara.

Advertisement

Elemen utama itu diantaranya badan pembentuk peratyranperundang-undangan (badana legislative), yang memnag secara konstitusionalitas mendapatkan amanat untuk mewujudkan politik pembaruan hukum yang benar, yang sejalan dengan kepentingan atau hal-hal yang senyatanya dibutuhkan oleh masyarakat.

Elemen fundamental itu sejatinya merupakan pelaku utama yang memainkan peran sangat vital dan privilitas bagi terwujudnya idealisme penegakan harkat kemanusiaan dan keadilan secara demokratis. Di tangannya, negara (melalui amanat konstitusi) sudah mempercayakan bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi empiris, atau bagaimana keadilan menjadi “hak milik” seseorang atau rakyat) yang memang seharusnya berhak menerimanya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Jika negara sudah “sangat” yakin bahwa UU Cipta Kerja memang akan mengantarkan rakyat bisa mencapai kesejahteraan hidupnya, maka negara melalui sejumlah aparatnya harus bisa meyakinkan rakyat secara inklusif, humanistic, dan transparan, dan bukan dengan menggunakan bahasa kekerasan. Negara harus “blusukan” untuk tidak kenal Lelah dalam memberikan pengetahuan dan arahan tentang masa depannya begitu norma yuridis diberlakukannya.

Indonesia sebagai negara yang beraskan ”the rule of law”  mengandung konsekuensi kalau tindakan penguasa (aparat) dan masyarakat harus berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Prinsip bernegara hukum ini jelas bermaksud  membatasi kekuasaan penguasa (aparat) dan melindungi kepentingan masyarakat seperti perlindungan terhadap hak asasi manusia  dari tindakan yang sewenang-wenang. Dimensi perlindungan atau protektifnya lebih diutamakan demi terpenuhinya kepentingan asasi rakyat.

Itu sejatinya mengingatkan, bahwa ketika negara sedang menjalankan (melakukan sosialisasi) norma yuridis seperti UU Cipta Kerja, aparat yang menjadi pemangku amanatnya ini tidak boleh sampai terjerumus dalam otoritarianisme. Yang jadi obyek pemberlakuan norma adalah rakyat, sementara  yang dibutuhkan dalam ranah asasi bagi rakyat sangatlah banyak, sehingga membuat mereka bisa mematuhi norma juga membutuhkan dukungan pemenuhan kepentingan asasinya yang lain.

Komunitas pemangku profesi hukum itu  memang pemegang marwah produk hukum, akan tetapi produk yuridis ini haruslah disenyawakan atau “dibahasakan” dengan benar, humanistik, dan berkeadilan di saat rakyat membutuhkan proteksi asasinya. Rakyat sangat sah-sah saja kaget kalua dalam hidupnya aka nada perubahna besar dengan instrument hukum, yang kondisi ini menjadi tugas negara untuk mengubah atau mengarahkannya dengan benar dan manusiawi, bukan dengan jalan kekerasan.

Mereka itu memang oleh negara sudah dipercaya mengenakan baju hukum, menjadi generator  dan eksekutor pembumian produk hukum seperti UU Cipta Kerja, yang tentu saja harus berupaya membuat hidup norma idealitas “di atas kertas” menjadi berlabuh dalam realitas. Namun demikian,  realitas ini tetap harus ditempuh dengan jalan mewujudkan nilai-nilai humanitas, dan bukan barbarianitas atau penghalalan segala bentuk kekerasan untuk memaksakan berlakunya.

Kalau sudah begitu, maka pemangku profesi kepentingan terlarang keras menggunakan produk yuridis sebagai instrumen mengejar target formalitas dan subyektifitas kepentingan-kepentingan eksklusif, apalagi sekedar pragmatisme dan materialisme, pasalnya jika ini sampai dilakukannya akan identic dengan enyebarkan virus yang potensial melumpuhkan dan merapuhkan ketahanan konstruksi negara hukum, atau membuat produk hukum terpuruk dalam, meminjam istilah Kazuo Shimogagi ”nihilisme total”.

Dalam ranah ”nihilisme total” itu, apa yang semula sebagai norma yang sepatutnya dijadikan pondasi berperilaku atau panduan  kehidupan masyarakat beradab, akhirnya sekedar dikenal dan dibaca sebagai kompilasi ide-ide atau kumpulan cita-cita masyarakat dan bangsa, yang bisa ditemukan dalam buku, piagam, sketsa ideologi bangsa, dan kitab-kitab suci, dan tidak bisa lagi ditemukan dalam kehidupan masyarakat akibat dilindas oleh perilaku segelintir elis negara yang tersesat mengumbar otoritanisme. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Ilmu Hukun Universitas Islam Malang (UNISMA) dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES