
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Mengenai sistem hukum, Lawrence M Friedman dalam pandanganya, bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni stuktur hukum (stuktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture).
Stuktur hukum menyangkut aparat penegakan hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law ) yang dianut dalam suatu masyarakat. Teori tersebut merupakan gambaran bagaimana suatu hukum dapat tegak dan menyejahterakan. Apalagi ketiganya dapat berjalan dengan beriringan.
Advertisement
Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, teori Fridman ini menjadi rujukan dalam upaya penegakan hukum yang dapat memberikan solusi agar penegakkan hukum dapat berjalan sesuai dengan porsinya. Namun dalam praktiknya masih banyak penegak hukum (stuktur hukum) yang tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan peraturan perundanga-perundangan yang berlaku.
Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh kekuatan dari luar maupun dari dalam suatu sistem yang menyebabkan lingkaran ‘’setan” terbentuk. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor dari dalam diantaranya ialah sistem status quo yang sudah terbentuk, sehingga cenderung memberikan dampak negatif terhadap seorang penegak hukum yang sekalipun berlatar belakang baik, sebab ia akan dibenturkan dengan status jabatan yang ia miliki. Alhasil, apabila tindakannya tidak mengikuti sistem yang ada maka jabatan menjadi taruhannya.
Pengaruh dari luar tentu disebabkan dengan iming-iming yang menggiurkan dari pihak yang memiliki kepentingan hukum, dalam hal ini pihak penyuap yakni tersangka maupun terpidana yang menginkan mendapatkan keringanan atau dibebaskan dari tuntutan hukum.
Di sinilah letak akar permasalahannya sehingga membuat penegakan hukum di Indonesia baik di kepolisian, kejaksaan, hakim dan bahkan advokat sekalipun rentan dengan korupsi. Dibutuhkan semacam seperangkat kekuatan untuk memerangi hal tersebut.
Meminjam bahasa Satjipto Rahajo, dibutuhkan kekuatan hukum progresif guna mematahkan kekuatan statu quo. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian peraturan dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan. Manusia masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada.
Pemberantasan Mafia Hukum
Akhir-akhir ini penegakkan hukum di Indonesia mendapat musibah besar akibat pelarian seorang Djoko Tjandra yang merupakan terpidana perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Musibah besar itu ialah penyuapan yang melibatkan oknum kejaksaan, polri dan advokat.
Dari kasus tersebut ada oknum institusi Polri yang terlibat dalam proses pelarian terpidana Djoko Chandra, dengan menyalagunakan wewenangan dengan mengeluarkan surat jalan. Tidak sampai disitu saja, keterlibatan oknum advokat yang ditengarai ikut serta dalam proses lobi-lobi untuk meloloskan upaya hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali atas kasus terpidana Djoko Chandara.
Uniknya perkenalan antara advokat dengan klien didapat dengan hasil rekomendasi dari seorang oknum Jaksa. Disinilah awal mulai babak baru kasus Djoko Chandra yang melebar kemana-mana, sehingga menyeret berbagai okmun penegak hukum.
Bila dilihat dari kronologis pristiwa hukum yang melibatkan para oknum penegak hukum, rasanya sangat memilukan. Sehingga jangan salahkan rakyat jika rakyat sudah tidak berempati kepada penegak hukum di republik ini. Hukum hanya dijadikan lawakan oleh para mafia hukum, mengambil kesempatan di tengah pandemi Covid-19. Pandemi dijadikan suatu momentum untuk meloloskan kasus yang melibatkan buronan kelas kakap yang sudah memberikan stigma buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Tentu ini menjadi tugas berat pemerintah untuk memberantas mafia hukum di republik ini sampai ke akar-akarnya. Menkopolhukam, Mahfud MD, dengan ketegasannya selalu memberikan statement yang menggelora untuk meyakinakan kepada publik, bahwa pemerintahan berkomitmen untuk memberantas para mafia hukum yang ada di dalam kejaksaan maupun di kepolisian.
Salah satunya dengan membubarkan lembaga Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan (TP4) yang merupakan produk dari Kejaksaan. Tim ini dinilai kurang efektif dalam pengawalan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah. Justru berpotensi menjadi tempat baru para mafia-mafia hukum.
Senada dengan hal itu, Artijo Alkostar mantan Hakim Agung RI, dalam pandangannya menilai bahwa penanggulangan korupsi senantiasa berkorelasi dengan variable ideologi penegakan hukum (polisi, advokat, jaksa, dan hakim). Dalam penegakan hukum atas koruptor, para penegak hukum selalu dihadapkan pilihan nilai kebenaran hukum dan keadilan. Dari sini bisa dipahami bahwa potensi korupsi bisa menjerat empat sekaligus penegak hukum (polisi, advokat, jaksa, dan hakim) sebab keempatnya saling berkorelasi.
Tidak berlebihan bila ada asumsi yang berkembang bahwa kebakaran yang melanda gedung Kejaksaan Agung ditangarai untuk menutupi kaus-kasus besar yang sedang ditangani institusi tersebut.
Apabila didalami, tentu penyuapan yang melibatkan tiga sekaligus penegak hukum rasa-rasanya ada pihak lain yang ikut andil dalam suksesi penyuapan yang melibatkan oknum di kejaksaan dan kepolisian.
Yang masih belum terendus apakah ada mafia lain di lembaga peradilan, sebab sepeti yang pahami Artijo bahwa penanggulangan korupsi berkorelasi dengan variabel penegakkan hukum (polisi,advokat,jaksa dan hakim).
Apabila dari kempat penegak hukum tersebut benar-benar terindikasi ada oknum yang terlibat korupsi, maka komisi pemberantasan korupsi (KPK) yang idealnya mengambil alih dalam penanganan tersebut, bukan lembaga dari oknum penegak hukum yang jelas-jelas terlibat dalam pusaran korupsi, sebab hal itu akan mengurangi independensi dari penegakan hukum sehingga hal tersebut berpotensi menghambat apa yang diharapkan pemerintah untuk memberantas mafia hukum di Republik ini.
Reformasi Sumber Daya Manusia
Sejatinya mereformasi penegakan hukum bukan sebatas mereformasi sistem yang buruk menjadi baik. Lebih dari itu, mereformasi hukum harus disertai dengan mereformasi sumber daya manusia yang ada di dalam sistem tersebut. Karena keduanya saling berkaitan, percuma bila sistem baik namun penegakannya buruk.
Semenjak runtuhnya orde baru, banyak lembaga-lembaga baru yang diciptakan untuk mengontrol keberadaan lembaga negara seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar senatiasa berjalan susuai koridor yang semestinya.
Nyatanya hal tersebut belum mampu menjawab persoalan yang fundametal dalam penegakan hukum di indonesia. Lembaga-lembaga baru yang diciptakan mulai perlahan-perlahan kehilangan “independensinya’’. Bukan tanpa alasan, hal tersebut bisa dilihat bagaimana pengaruh dari pemerintah baik eksekutif dan legislatif dengan tanpa sadar mulai mengamputasi lembaga-lembaga yang notabene merupakan cita-cita luhur dari reformasi untuk penegakan hukum yang mandiri dan bebas dari tekanan apapun.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pelan namun pasti, penegakan hukum mengalami pergesaran pradigma, justru keluar dari semangat reformasi itu sendiri. Sebagian yang sangat kental ialah disahkannya UU lembaga KPK yag secara materi cacat prosedural, yang sangat tidak memperhatikan aspirasi rakyat dengan melakukan perubahan UU KPK tersebut, itu artinya pemerintah dalam hal ini eksekutif dan legislatif tidak mampu menjiwai hakikat dalam bereformasi dengan dalil menguatkan justru melemahkan.
Sudah duapuluh dua tahun Republik Indonesia memasuki fase babak baru dalam hal penegakkan hukum. Sudah waktunya penegakan hukum di Indonesia benar-benar dapat menyejahterakan rakyat Indonesia, menempatkan manusia-manusia yang berintegritas tinggi disetiap pos-pos strategis di setiap lembaga penegakan hukum.
Tindakan yang kongkrit untuk melakukan perubahan progresif di dalam penegakkan hukum di Indonesia dengan menggunakan instrumen pemberian rekomendasi dari eksekutif dan diseleksi secara ketat oleh legislatif. Dan yang paling sangat penting tidak memiliki riwayat karir politik di partai politik secara stuktural merupakan modal yang cukup mendasar dalam pelaksanaan penempatan pos yang dimaksud.
Namul hal itu tidak mudah apabila kekuatatan politik lebih dominan dari pada hukum, sehingga menjadi tidak masuk akal apabila berkeinginan kuat mengubah penegakan hukum yang lebih baik, tapi nyatanya para elit yang memiliki kekuatan politik berkompromi dengan sistem yang sudah amat tidak progresif ini, sehingga apa yang dicita-citakan Menkopolhukam untuk membasmi “mafia hukum” di Republik sampai ke akar-akarnya yang pada akhirnya bertujuan untuk menyejahterakan rakyat menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang sangat berat. Dibutuhkan kerjasama dan komitmen yang tinggi antar semua pihak penegak hukum di Indonesia (Jaksa, Kepolisian, Advokat dan Hakim). Memang tidak mudah, namun harus diperjuangkan.
***
*)Oleh : Abdul Hamid, S.H, Advokad/ Presiden Mahasiswa Uiversitas Islam Malang 2015-2016; Sedang Melanjutkan Study Magister Hukum di Universitas Pancasila Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |