Jebakan Lagu Promosikan Penyimpangan Perilaku Seksual, Orang Tua Harus Kuasai Bahasa Asing

TIMESINDONESIA, MALANG – Pagi di awal bulan November seperti biasa saya mengecek notifikasi media sosial. Ada satu konten di sebuah akun humor recehan yang menarik perhatian saya.
Sebuah konten video TikTok yang menampilkan satu remaja laki-laki dan dua remaja perempuan asing beraksi lipsync lagu Barat kekinian yang menjadi backsound-nya. Lagu yang dipilih cukup enak didengar, ringan dan iramanya groovy. Lumayan bisa jadi moodbooster bagi pendengarnya. Sekilas, saya pun sempat kepincut dengan lagu itu.
Advertisement
Akan tetapi, saya jadi meradang saat mendengarkan liriknya. Berulangkali istighfar rasanya batin ini mau pecah. Jemari sigap mencari tahu judul lagu tersebut di situs pencarian Google. Saya ketikkan lirik yang saya dengar, lalu Google menemukan judulnya.
Alangkah terkejutnya saya mengetahui judul lagu itu disamarkan menjadi suatu kode unsolved problem dalam ilmu komputer yang mana melibatkan algoritma untuk memecahkannya. Judul lagunya ialah 3SUM (baca : gabungkan ejaan three dan some, saya tidak bisa mengucapkan gamblang di sini sebab akan melanggar kode etik komunitas yang ditentukan). Canggih bukan? Menyamarkan kata asusila menjadi sebuah English Slang. Saya membaca seluruh lirik lagu yang dinyanyikan oleh Mark Dohner tersebut.
Ternyata lagu itu viral di TikTok menjadi challenge anak muda Barat yang mempromosikan seks bebas. Memang sudah familiar bila sebagian besar lagu Barat berisi muatan budaya liberal yang memasukkan unsur perilaku asusila. Akan tetapi, 3SUM agak berbeda sebab bukan hanya mempromosikan seks bebas melainkan juga penyimpangan perilaku seksual. Penyimpangan perilaku seksual yang dilandasi oleh fantasi manusia untuk bereksperimen tak wajar meski melawan nilai dan norma kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.
Sekilas muatan lirik lagu 3SUM bercerita tentang seorang laki-laki yang bertemu dengan seorang perempuan di luar bar. Ia 'jatuh cinta' dengan si perempuan di taksi selama perjalanan menuju tempat tinggal perempuan. Saat tiba di tempat si perempuan, mereka melakukan hubungan seksual di luar nikah, kemudian, ketahuan oleh teman yang tinggal bersama perempuan itu. Si pria tertarik juga dengan teman perempuannya, dan menawarkan untuk melakukan hubungan seksual bertiga. Adegan seperti itu biasanya disajikan menjadi salah satu menu situs video porno. Bahkan, sempat terjadi kasus serupa di Indonesia beberapa waktu yang lalu dengan komposisi peran gender yang berbeda.
Mungkin bagi orang awam yang tidak tahu maknanya akan berpikir lagu itu asik-asik saja. Tetapi tidak dengan anak muda jaman sekarang. Sebagian besar mereka paham dengan makna lagu tersebut. Sayangnya, mereka menikmati saja selama enak didengar.
Yang menjadi tanda bahaya bila lagu tersebut diputar terus menerus oleh anak remaja. Sampai-sampai bila anak kecil ikut mendengar dan menyanyikannya secara disengaja maupun tidak. Kenapa? Karena, lagu itu berdampak negatif bagi otak dan psikologis anak, bisa terjadi kerusakan otak dan kondisi psikologis menjadi labil.
Lagu dengan iringan nada dan liriknya akan masuk ke pikiran bawah sadar anak. Alhasil, akan termanifestasi melalui perilaku, kebiasaan keseharian, bahkan membentuk karakter anak kelak.
Seorang pakar hypnoparenting dan manajemen stres, Kirdi Putra, pernah mengungkapkan bahwa terdapat lima faktor eksternal yang mempengaruhi alam bawah sadar anak yang terdiri dari keluarga, pendidikan, pemahaman agama, lingkungan sosial, dan media. Kelima faktor tersebut menentukan banyak hal memasuki pikiran bawah sadar anak yang akan membentuk karakter anak, perilaku sehari-hari serta habit anak kedepannya. Bahkan, Dr. Susanto, MA, ketua komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah mengungkapkan bahayanya lagu-lagu bermuatan konotasi amoral terhadap psikologis dan perkembangan perilaku anak.
Baik kanak-kanak mapun remaja yang sering terpapar lagu-lagu bermuatan perilaku asusila dan merendahkan salah satu jenis kelamin rentan mengalami gejolak psikologis yang labil khususnya pandangan diri terhadap perilaku asusila/amoral.
Hal itu ditandai dengan adanya perubahan pola pikir yang permisif terhadap perilaku asusila, penjiwaan akan lirik lagu dapat mengganggu perkembangan karakter yang positif pada anak. Apalagi jika dinyanyikan berulang-ulang akan menjadi kata-kata afirmasi bagi anak yang melibatkan perasaan anak. Isi lagu menjadi cerminan keteladanan anak yang menstimulus imajinasi dan membentuk mood anak.
Era globalisasi yang diiringi Industry Revolution 4.0 jelang Revolusi Industri 5.0 ini jelas menembus batas negara disegala lini kehidupan termasuk tembok rumah-rumah atas nama keluarga sampai menyentuh ke ranah personal.
Tak pelak, kita harus sadari gencaran pengaruh budaya yang mendobrak tatanan nilai dan norma kepatutan semakin kencang mengancam generasi milenial, generasi Z hingga generasi A (Alfa). Selalu saja ada pihak-pihak mengkampanyekan perilaku menyimpang agar dapat diterima sebagai hal yang normal.
Pergeseran budaya yang mulai mengamini perilaku menyimpang pun turut melirik anak-anak. Tentu tugas orangtua melindungi anak untuk membendung pengaruh budaya luar yang negatif menjadi semakin berat. Orangtua musti semakin cerdas dan bijak menyaring segala informasi yang diakses oleh anak.
Selain terus menanamkan nilai dan norma baik agama dan lainnya, membatasi penggunaan gadget dan media sosial serta menggunakan pola asuh dialogis pada anak, agar tidak kecolongan maka, ada salah satu cara orangtua mengawasi apa saja konten lagu atau video yang dikonsumsi oleh anak.
Idealnya, orangtua harus menguasai setidaknya satu bahasa asing selain bahasa ibu dan nasional misal bahasa Inggris. Jadi yang perlu belajar berbahasa asing bukan hanya anak saja, melainkan juga orangtua. Sehingga, ketika anak memutar lagu atau video berbahasa asing, orangtua akan langsung memahami konten apa yang sedang disaksikan anaknya.
Selain itu, orangtua atau sanak saudara perlu konsisten membiasakan anak mendengarkan lagu-lagu religius dan afirmasi positif diimbangi murottal atau nyanyian pujian sejak dini dengan setiap hari memutarkan lagu di rumah. Disitulah letak kontrol yang bisa dilakukan oleh orangtua tanpa memaksa anak. Tiada kata terlambat untuk belajar bahasa asing demi generasi agar terhindar dari paparan pengaruh budaya yang negatif. Sebaiknya orangtua bekerjasama dengan para guru di sekolah untuk sama-sama mengawasi anak dari akses konten video dan lagu bermuatan negatif.
Sedangkan, pemerintah melalui kebijakan agar lebih perhatian terhadap masa depan anak bangsa dengan gencar menyaring lagu mana saja yang boleh dikonsumsi oleh anak bangsa dan mana yang harus dicekal karena mengandung muatan pornografi atau perilaku asusila.
Kemudian, kita bisa lakukan mulai dari diri sendiri seperti bila kita mengetahui lagu-lagu bermuatan negatif, sebaiknya kita memberi respon tidak suka atau melaporkannya pada situs terkait yang mengunggah konten tersebut. Semoga Allah melindungi generasi kita dari segala paparan budaya yang melampaui batas. Aamiin.
***
*)Oleh : Endahing N.I. Pustakasari, Penggiat dan praktisi kesehatan mental. Lulusan S1 Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini aktif mengkampanyekan mental health awareness melalui literasi dan aktivitas psikoedukasi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sholihin Nur |