
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Selama masa pandemi Covid-19, kasus jumlah penderita Covid-19 di perkotaan jauh lebih tinggi daripada pedesaan. Hal ini dapat dipahami karena kawasan perkotaan memiliki kepadatan penduduk yang besar menyebabkan lahirnya persentase yang tertular juga lebih banyak. Disisi lain mobilitas manusia di perkotaan yang tinggi juga menyebabkan volume kecepatan penularan Covid-19 menjadi sangat pesat berkembang.
Jika meninjau dari hubungan kausalitas antara kesehatan dan tempat tinggal. Kota dan kesehatan faktanya memegang peranan penting terhadap ruang pemulihan kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Fenomena kota ditengah pandemi Covid-19 telah menciptakan sudut pandang baru untuk melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman penataan kota supaya selalu sehat dan berkualitas.
Advertisement
Berangkat pengalaman pandemi Covid-19, pembangunan kota harus memasukkan protokol kesehatan dalam desain pengembangan infrastruktur kesehatan masyarakatnya. Pelibatan ahli kesehatan menjadi penting dalam tahapan perencanaan dan perancangan kota - kota sehat di Indonesia. Karenanya tantangan kota selama masa pandemi Covid-19 ini adalah menyediakan fasilitas dan akses kesehatan yang relevan bagi seluruh masyarakat kota.
Pengalaman Sejarah
Kehadiran wabah Covid-19 jelas merupakan ancaman nyata terhadap kota. Dalam situasional ini, kota harus memiliki strategi yang tepat untuk bertahan kala wabah. Kota juga dituntut membangun infrastruktur kesehatan masyarakat yang layak dan berkualitas. Secara lebih khusus, kota harus mempertahankan kelangsungan hidup yang luas untuk menghadapi semua kemungkinan risiko wabah atau kebencanaan lainnya.
Meninjau masifnya dampak Covid-19 di perkotaan selama ini maka dapat kita simpulkan bahwa persebaran penularan virus Covid-19 terjadi bersamaan dengan mobilitas manusia. Konsekuensi itu pun memunculkan kebijaksanaan untuk mengubah sebagian besar ruang publik perkotaan dimana manusia harus saling berjarak supaya penularan virus dapat dikendalikan.
Dalam sejarah penataan kota dimasa lalu, Batavia sebagai ibukota Hindia Belanda pernah punya masalah kesehatan dan lingkungan yang parah pada abad ke-18. Sanitasi dan sistem drainasenya buruk menyebabkan masifnya persebaran penyakit mematikan seperti penyakit malaria, disentri, dan kolera. Besarnya angka kematian masyarakat kota pun terus meningkat. Hal ini membuat Batavia mendapatkan julukan sebagai “Ratu dari Timur” yang kerap diplesetkan oleh masyarakat pribumi sebagai “Kuburan dari Timur”.
Buruknya kondisi kesehatan Kota Lama Batavia itu pula yang mendorong Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) pernah memindahkan pusat pemerintahan dan militer ke daerah Weltevreden atau daerah Gambir dan sekitarnya. Namun, situasi di wilayah ini pun beranjak memburuk. Kondisi yang tak sehat itu menarik perhatian Hendrik Freerk Tillema—ahli kesehatan lingkungan yang berdinas di Semarang untuk menulis studi komprehensif tentang buruknya kondisi kesehatan kota-kota di pesisir utara Jawa, termasuk Batavia pada tahun 1913.
Sejak merebaknya beragam wabah pandemi awal abad ke-20 perhatian pemerintah Belanda terhadap penataan kota terus meningkat terutama dalam mengontrol penyakit epidemik seperti kolera dan pes yang merebak di Batavia sampai tahun 1920-an. Untuk menanganinya Hindia Belanda berhasil memerintahkan Burgerlijke Geneeskundigde Dienst (Dinas Kesehatan Publik) untuk membentuk sistem pemberantasan pes. Dalam menata kota, pemerintah Hindia Belanda pada akhirnya mulai mengintensifkan kegiatannya dalam bidang kesehatan umum dan higienitas kota.
Tak jauh berbeda dengan realitas yang terjadi di ibukota, di wilayah Borneo Barat (West Afdeling van Borneo) yang berkedudukan di Pontianak dan Borneo Selatan-Timur (Zuider en Oosterafdeling van Borneo yang berkedudukan di Banjarmasin juga merespon cepat situasi merebaknya beragam wabah pandemi pada tahun 1900-an, sebuah evaluasi tata kota mulai diupayakan demi meminimalisir terjadinya korban pandemi seperti Pes dan Flu Spanyol.
Tercatat ada perubahan besar dalam konsep penataan kantor dan dimensi jalur ekonomi di beberapa wilayah seperti Sampit dan Sanggau. Dalam laporan koran Sin Po 13 Desember 1918, masifnya dampak Flu Spanyol di wilayah Sampit Kalimantan membuat banyak perkantoran tutup yang membuat pegawai kantor mulai merencanakan sebuah skematis perkantoran di dekat wilayah pelabuhan yang menjadi kawasan distribusi obat.
Sejak adanya wabah Flu Spanyol sentral ekonomi di Kalimantan juga sudah mulai mempertimbangkan adanya penataan irigasi kecil yang memberi jarak antara pedagang satu dengan lainnya dan mulai menerapkan sistem upah kebersihan pasar. Di beberapa wilayah Pasar Banjarmasin tahun 1919 akhir para pemimpin pasar sudah mulai berani mengambil langkah inisiatif untuk mempekerjakan para petugas kebersihan pasar. (Neratja, 11 Januari 1919). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya wabah pandemi telah memberi kesadaran baru bagi evaluasi penataan kota berbasis kesehatan.
Kebijakan Taktis
Strategi mengubah ruang perkotaan merupakan hal mutlak yang dimajukan dalam konstelasi pembangunan masyarakat sehat. Inilah yang membuat banyak kebijakan taktis dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah banyak bentuk struktur tata kotanya. Kala Hindia Belanda diserang wabah mematikan, Pemerintah Hindia Belanda selain melakukan perbaikan perumahan, secara nasional juga berupaya menerapkan kebijakan program kampong verbetering atau perbaikan kampung.
Saat Batavia diserang wabah Pes, seluruh hunian masyarakat kota diperbaiki secara total, baik rumah-rumahnya, akses jalan, maupun saluran pembuangan airnya. Tak hanya soal kelola penataan dan kebersihan rumah, masyarakat kota Hindia Belanda mulai popular untuk memberi jarak yang pas antara rumah dengan pekarangan atau taman. Banyak pemukiman hunian masyarakat kota Hindia Belanda yang mulai sadar menanam tumbuhan hijau dimuka rumah.
Sampai tahun 1930-an, secara nasional tata kota Hindia Belanda didesain dengan satu pendekatan sinergis. Banyak kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu mulai mengarahkan kebijakan kotanya dengan sasaran kesejahteraan masyarakat sekaligus, misalnya mengenai proyek pembangunan irigasi yang mempunyai dampak positif baik bagi sektor pertanian maupun kesehatan masyarakat. Selain meningkatkan produksi pertanian kebijakan ini sekaligus dapat mengendalikan adanya pengembangbiakan nyamuk dan tikus dibanyak sudut kota.
Catatan peneliti Boomgaard dalam tulisannya The development of colonial health care in Java (1993) menjelaskan bagaimana krisis kesehatan yang melanda banyak kota di Jawa akibat wabah membuat lahirnya peningkatan kesadaran untuk memberikan banyak fasilitas dan prasarana kesehatan ditengah kota. Disetiap alun – alun kota diberikan ruang oleh pemerintah kolonial dengan berbagai fasilitas kesehatan masyarakat umum. Semua cara itu diupayakan pemerintah kolonial demi perbaikan kualitas lingkungan dan kesehatan pada banyak kehidupan kota.
Berangkat dari perubahan konsep penataan kota Hindia Belanda saat dilanda krisis kesehatan akibat wabah maka dalam konteks hari ini ditengah situasi pelik akibat wabah pandemi Covid-19, idealnya kita juga perlu untuk mendesain kembali konsep penataan kota di Indonesia.
Dalam kontekstual hari ini, Pemerintah Indonesia dapat saja memulai penataan kota dengan memberikan fasilitas klinik kesehatan,rumah sakit, apotek, laboratorium vaksin hingga layanan asuransi kesehatan yang tersedia pada berbagai sudut kota. Dengan adanya penambahan fasilitas dan layanan kesehatan publik ditengah kota secara tak langsung hal ini juga berdampak positif bagi kemajuan psikis masyarakat kota untuk selalu mawas diri terhadap perubahan lingkungan dan pola kehidupan yang sehat. Semoga saja.
***
*)Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA; Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |