Gus Dur: Sosok Ulama Pejuang Kemanusiaan

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah kasus egoiesme beragama dan kelompok, penulis teringat dengan sosok yang sangat disegani oleh dunia. Dialah Gus Dur, siapa yang tidak mengenal sosok Gus Dur, yang memiliki nama kecilnya Abdurrahman Ad Dakhil. Saat besar nama itu menjadi Abdurrahman Wahid. Menjadi bapak pejuang kemanusiaan dalam masanya, sehingga siapapun yang datang untuk ziarah kubur di Jombang akan menemukan tulisan di atas nisannya “Di sini berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan”. Tidak hanya orang muslim saja, namun berbagai pemeluk agama dan aliran ziarah kubur di makam Gus Dur.
Kenapa Gus Dur bisa disanjung oleh banyak orang bahkan oleh orang yang berbeda agama sekalipun? Tidak lain dan tidak bukan karena perilaku dimilikinya. Kelembutan dan keterbukaan yang dimilikinya mampu mengkomunikasikan kepentingan rakyat dan pemerintah sampai-sampai istana presiden menjadi istana rakyat. Istana negara tempat yang sakral menjadi tempat seperti pesantren. Siapapun yang ingin bertemu presiden disilahkan. Oleh karenanya, kalangan santri dan kyai menemui presiden setelah Subuh dengan mengenakan sarung dan sandal.
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Tidak ada kemewahan yang pantas dibanggakan, tidak ada kedudukan yang dibela mati-matian, itulah Gus Dur. Gus Dur tidak mengharapkan lebih dari sisi duniawi, karena tujuan akhir adalah akhirat. Disaat ratusan ribu orang dari Jawa Timur ingin berangkat ke Jakarta untuk membela Gus Dur ketika dilengserkan. Tenaga, pikiran bahkan nyawa siap dipertaruhkan. Namun, dengan ketawadhuan seorang Gus Dur berkata “tidak ada kekuasaan yang dipertahankan mati-matian. Jangan ke Jakarta, saya tidak ingin pertumpahan sesama anak bangsa keluar darah karena saya”. Akhirnya ratusan ribu orang tidak berangkat ke Jakarta.
Gus Dur ingin menempatkan sisi kemanusiaan di atas segala-segalanya. Kasus Inul Daratista dibela, kesesatan Ahmadiyah di bela, pembelaan terhadap Dorce, pembelaan terhadap minoritas, pembelaan terhadap para buruh, dan pembelaan lainnya. Yang ingin diperjuangan bukan karena membela kesesatannya, namun sisi kemanusiannya. Lihat bagaimana Gus Dur memperlakukan terhadap orang Tionghoa, warga Tionghoa dapat mengekpresikan perayaan imlek di muka umum. Dengan kejadian ini Gus Dur di cap sebagai Pahlawan Imlek Indonesia. Lagi-lagi Gus Dur ingin menonjolkan rasa kemanusiaan yang sama di mata Tuhan dan hukum untuk satu tujuan yaitu hidupan dengam damai.
Dari berbagai banyak kisah dan pemikirannya, sikap Gus Dur yang pantas di angkat saat momen sekarang ini adalah sikap nasionalisnya. Gaya politiknya tidak ingin menguasai, disaat kelompok orang ingin menggulingkannya. Bahkan Gus Dur berucap, lihat saja nanti orang-orang itu akan menjadi politik gelandangan. Dan terbukti saat ini bagi mereka yang melengserkan Gus Dur.
Dalam tulisannya Frans Magnis Suseno, Gus Dur: Bangsa mana di dunia mempunyai Presiden Seperti Kita. Gus Dur seorang nasionalis Indonesia Sejati. Hatinya merah putih. Dalam segala macam manuvernya, Abdurrahman Wahid tak pernah tidak melihat kepentingan nasional yang lebih besar dan lebih luas. Dengan melihat segala kelemahan bangsanya sendiri ia bangga atas kebangsaannya, atas bangsa Indonesia, ia amat ingin agar bangsa ini maju, menjadi bangsa besar. Dalam artian yang sebenarnya sebagai bangsa yang bebas, sejahtera, bersatu, penuh kemanusiaan, cerdas, adil.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Frans yang juga rohaniawan katolik dan budayawan Indonesia menceritakan, jika zaman kemerdekaan, dikatakan pahlawan adalah orang yang melawan penjajah. Namun sekarang, pahlawan adalah yang mampu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman radikalisme. Saat itu Gus Dur mampu mengendalikan negara dalam ancaman radikalisme. Dan kini dibutuhkan pahlawan-pahlawan banyak untuk menjaga NKRI dari tangan radikalisme. Pahlawan yang tidak menggebu-gebu dalam berdakwah, pahlawan yang tidak membedakan satu sama lain. Gus Dur sadar ia merupakan cucu dari pendiri bangsa dengan konsepnya resolusi Jihad dan pendiri Nahdlatul Ulama. Oleh karenanya, menjaga rumah Indonesia dibutuhkan semangat humanism yang memanusiakan manusia.
Sebagai penerus bangsa, patutnya mencontoh perilaku-perilaku Gus Dur yang telah memperjuangkan kemanusiaan di atas segala-galanya. Membela tanpa mengenal agama, membela tanpa mengenal etnis, mengambil perkatan Gus Dur “Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan yang terbaik buat semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu.” Semua rakyat Indonesia disatukan dalam satu ikatan yaitu ukhuwah insaniyah (saudara sesama manusia) dan ukhuwah wathaniyah (saudara dalam artian sebangsa walaupun berbeda agama dan suku).
Menonjolkan ukhuwah insaniyah, tidak akan terjadi pembunuhan dan anarkisme. Menampilkan ukhuwah wathaniyah tidak akan terjadi pemberontakan dan melawan kepada pemerintah. Lebih mulia menciptakan perdamaian antar sesama daripada menghasut dan mengejek satu sama lain. Walaupun fisik Gus Dur sudah tidak membersamai kita, perjuangan dan semangat menjunjung tinggi kemanusiaan terus kita suarakan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Yoyok Amirudin, Dosen FAI Universitas Islam Malang dan Mahasiswa S3 National Pingtung University Taiwan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |