Kopi TIMES

Kiai Ma'shum dan Jejak Perjuangan

Senin, 11 Januari 2021 - 12:04 | 167.52k
Kiai Haji Ma’shum Zainullah.
Kiai Haji Ma’shum Zainullah.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Bondowoso kembali berduka. Salah satu tokoh terbaiknya, Kiai Haji Ma’shum Zainullah wafat setalah berjaung melawan sakitnya. Sebelumnya, Kiai Haji Yazid Amin, pengasuh PP Nurul Hidayah, Wringin, mendahului pulang.  

Sejatinya, bukan hanya Bondowoso yang berduka. Alam turut berduka. Saat seorang ulama’ meninggal dunia.

Advertisement

Bukankah, wafatnya ulama’ memunculkan lobang (tsulmah) menganga. Lobang yang tidak mungkin kembali seperti semula.

Bagi warga Bondowoso, pilu mungkin tampak lebih terasa. Karena di tempat inilah, laku perjuangan Kiai Ma’shum memancurkan manfaat yang dirasakan langsung oleh mereka. Mereka bukan hanya para santri langsung beliau. Tetapi setiap orang yang merasakan dan melihat langsung konsistensi dakwah serta perjuangan beliau melayani mereka.

Sejarah hidup Kiai Ma’shum menampilkan potret perjuangan. Perjuangan yang termanifestasikan melalui pengabdian di bidang pendidikan dan dakwah kemasyarakatan.

Dua aras pengabdian ini menjadi sekian di antara faktor yang menguatkan figur beliau sebagai kiai yang banyak dijadikan panutan. Dalam perspektif sosiologis, kedua level pengabdian itulah yang menciptakan otoritas karimatik (charismatic authority) Kiai Ma’shum sehinga dihormati pelbagai kalangan.

Pejuang Pendidikan

Kiai Ma’shum lahir pada tahun 1951. Demikian salah satu sumber menyebutnya. Namun, dalam salah satu kesempatan tahun 2018 silam, Kiai Ma’shum sempat menyebut langsung kepada penulis, bahwa usia beliau saat itu justru sudah menginjak tujuh puluh tahun.

Kekiaian beliau lahir dari perjuangan nyata melayani kepentingan banyak orang. Terutama melalui jalur pendidikan dan dakwah keagamaan. Tentu di atas semua itu, secara transendental, Allah jua yang telah menetapkan garis ketentuan.

Pondok Pesantren Nurut Taqwa adalah legacy beliau di dunia pendidikan. Pesantren yang berdiri tahun 1976 silam ini telah banyak melahirkan sumber daya manusia yang memiliki kiprah beragam. Eksistensi pesantren ini menjadi ladang jariyah Kiai Ma'shum yang insyaallah akan senantiasa mengalirkan manfaat agam.

Pesantren ini juga menjadi sebentuk arkeologi perjuangan yang akan senantiasa meriwayatkan jejak komitmen dan ketulusan Kiai Ma’shum melayani kepentingan banyak orang. Banyak hal dikorbankan. Tidak hanya materi, tetapi juga tenaga dan pikiran.

Pesantren Nurut Taqwa adalah buah dari jihad Kiai Ma'shum sepanjang gerak kehidupan. Ada banyak rintangan yang membentang di sepanjang jalan perjuangan mendirikan pesantren. Dan semua itu dihadapinya dengan penuh kesabaran dan keistiqamahan.

Kiai Ma'shum bukanlah putra kiai. Bukan juga menantu seorang kiai. Karena itu beliau tidak memiliki, meminjam sosiolog Piere Boudieu, modal sosial (social capital) besar sebagaimana yang umumnya dimiliki oleh keturunan kiai saat awal merintis perjuangan.

Padahal, seorang kiai atau keturunan kiai yang jelas memiliki modal sosial besar, masih acapkali menghadapi resistensi dari sebagian kalangan. Tentu tantangan yang membancang di hadapan Kiai Ma'shum lebih akbar.

Ayahanda beliau seorang petani bernama Sunarmo. Seperti petani kebanyakan, sang ayah terbilang awam dalam dunia keagamaan. Maka kita bisa membayangkan, betapa besarnya rintangan yang dihadapi Kiai Ma'shum sebagai keturunan 'orang biasa' saat pertama kali merintis pesantren.

Dalam salah satu kesempatan, Kiai Ma'shum pernah bercerita mengenai pahit getir mendirikan pesantren. Aneka gangguan pernah dirasakan. Termasuk gangguan fisik dari pihak-pihak yang tidak senang dengan apa yang beliau perjuangkan.

Hingga suatu ketika, terjadi serangan fisik dari orang tak dikenal. Penyerangan itu terjadi di kala subuh, saat suasana masih lengang. Setelah sebelumnya lebih memilih diam, kali ini Kiai Ma'shum berpikir saatnya melawan.

Disampaikannya hal itu kepada almarhum Kiai Haji Ahmad Sufyan Miftahul Arifin, salah satu guru yang banyak memberi warna dalam sejarah kehidupan beliau. Mendengar maksud Kiai Ma'shum untuk melawan, Kiai Sufyan lantas berkata “Minyyan dhika gheniko tak room. Mun parlo dhika nyare marde male room” (Kemenyan kamu itu tidak harum. Kalau perlu, kamu mencari bara, biar harum).

Pesan ini adalah perintah bagi Kiai Ma'shum untuk menerima apa yang dialaminya sebagai cara Allah membuatnya semakin besar. Karena itulah, semua harus dijalaninya dengan sabar. Pasabhher (sabar), begitu pesan Kiai Sufyan yang membuatnya tegar menghadapi aral.

Berkat kegigihan beliau, disertai doa orang tua dan guru-guru yang senantiasa memberi bimbingan, Kiai Ma'shum berhasil membawa pesantren yang didirikannya itu menjadi besar seperti sekarang. From zero to hero.

Seperti kata Kiai Sufyan, nama Kiai Ma'shum kemudian mulai dikenal luas, seperti kemenyan yang wanginya semakin semerbak setelah mengalami aneka tempaan. Banyak orang yang semakin tertarik memondokkan putra putrinya untuk menjadi santri beliau. Pun halnya semakin sering beliau diminta mengisi dakwah keagamaan.

Hingga kini, ribuan santri telah lahir dari pesantren ini. Mereka semua adalah bukti dari eksistensi, khidmah dan perjuangan beliau. Tentu di pundak para santri ini terpikul tanggungjawab, meneruskan khidmah dan perjuangan beliau.

Dakwah Kemasyarakatan

Kiai Ma'shum bukan hanya kiai pendidik yang tinggal menepi di manara gading pesantren. Beliau tidak menjauh dari keramaian.

Beliau menyadari, bahwa masyarakat awam justru lebih membutuhkan pendampingan. Terutama di bidang keagamaan.

Karena itulah, santri beliau bukan hanya mereka yang secara formal tercatat sebagai santri dan tinggal di pesantren. Santri beliau adalah masyarakat luas yang sejatinya lebih memerlukan bimbingan.

Dakwah kemasyarakatan ini melengkapi peran Kiai Ma'shum sebagai kiai untuk semua kalangan. Khususnya kalangan masyarakat awam yang tinggal di perkampungan.

Kiai Ma'shum adalah, meminjam ungkapan Gus Dur, kiai kampung yang bersentuhan langsung dengan masyarakat di sudut-sudut perkampungan. Tidak hanya didatangi, Kiai Ma'shum juga rajin mendatangi mereka, baik untuk dakwah kemasyarakatan, maupun sekadar mengikat hubungan persaudaraan.

Saat kondisi beliau semakin melemah seiring usia yang semakin sepuh, serta sakit yang mulai menyerang, aktivitas dakwahnya di tengah-tengah masyarakat seolah tak turut padam. Mungkin karena beliau sadar, bahwa semua adalah panggilan perjuangan. Karena itu beliau tidak mau kalah dan menyerah dengan rasa sakit yang datang.

Beliau menghayati betul pesan perjuangan dari para guru beliau. Seperti Kiai Haji Zaini Mun'im, Kiai Haji Ahmad Sufyan dan Kiai Haji Hasan Abdul Wafi. Dari para guru inilah, makna perjuangan dan melayani kepentingan banyak orang beliau dapatkan.

Apa yang sudah beliau perjuangkan, insyaallah tidak akan lekang. “Adapun buih akan sirna sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya. Sementara sesuatu yang berguna bagi manusia, akan kukuh di bumi” demikian firman Allah dalam Surat Arra’du ayat 17.

Tentu beliau berharap apa yang sudah diperjuangkan terus melahirkan kemaslahatan. Karena itulah, dari pada larut dalam ratapan, keturunan dan para santri beliau saatnya meneguhkan niat melanjutkan apa yang beliau cita-citakan. Pada akhirnya, semoga Allah Swt.menempatkan Kiai Ma’shum fi a'lal jinan. Amin. (*)

 

*) Penulis: Dodik Harnadi, Dosen Universitas Nurul Jadid dan pengurus PC Lakpesdam NU Bondowoso

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES