
TIMESINDONESIA, MALANG – Tahun 2021 bakal dikenang sebagai sebuah upaya untuk lepas dari apa yang disebut Ratu Elizabeth II sebagai annus horribilis: tahun yang mengerikan.
Betapa tidak, pada tahun sebelumnya, John Hopkins University mencatat sekitar 84 juta populasi dunia telah tertular virus Covid-19. Hampir 2 juta diantaranya meninggal dunia hanya dalam tempo setahun. Sebagian besar negara di belahan dunia mengambil langkah yang diperlukan untuk mengisolasi penyebaran virus, termasuk pembatasan aktivitas ekonomi sekalipun. Pembatasan aktivitas ekonomi ini telah mengirim berbagai negara ke dalam krisis ekonomi global terparah sejak Depresi Besar.
Advertisement
Mungkinkah annus mirabilis mencuat pada 2021 sebagai antitesa annus horribilis?
Sayangnya, jawaban yang tidak menggembirakan datang dari hasil penelitian yang dipaparkan oleh John Rogers pada pertemuan tahunan Asosiasi Ekonom Amerika.
Belajar dari pengalaman enam krisis kesehatan terdahulu (Flu Hongkong 1968, SARS 2003, H1N1 2009, MERS 2012, Ebola 2014, dan Zika 2016), Rogers mengungkap dibutuhkan lebih dari lima tahun untuk mencapai pendapatan (output) yang sama persis dengan kondisi sebelum krisis kesehatan.
Dalam paparan berjudul Modern Pandemics: Recession and Recovery yang ditulis bersama Chang Ma dan Sili Zhou, Rogers menggarisbawahi, selama proses pemulihan ekonomi, celakanya kelompok rentan seperti pekerja perempuan dan pekerja berketrampilan rendah-lah yang paling dirugikan.
Meninjau ongkos pandemi yang cukup mahal pada level global, 2021 tampaknya lebih dekat dengan predikat annus horribilis tinimbang annus mirabilis.
Lebih jauh, bagaimana dengan prospek pemulihan ekonomi Indonesia? Untuk membedahnya, analisis ekonomi regional berguna untuk menemukenali karakteristik eksisting ekonomi Indonesia.
Perlu dicatat, hampir setengah dari aktivitas ekonomi Indonesia hanya bersumber dari tiga provinsi yaitu: DKI Jakarta (17,67% dari total PDB nasional), Jawa Timur (14,63% dari total PDB nasional), dan Jawa Barat (13,22% dari total PDB nasional) (BPS, 2019). Dengan kata lain, dapat dipastikan pemulihan ekonomi Indonesia ke depan sangat tergantung pada perkembangan yang terjadi pada ketiga daerah tersebut.
Ketiga provinsi seluruhnya mengandalkan sektor modern sebagai motor penggerak akitivitas ekonomi. Sebagai contoh, sektor ekonomi yang paling dominan di DKI Jakarta ialah sektor perdagangan besar dan eceran. Sementara itu, Jawa Timur dan Jawa Barat masing-masing mengandalkan sektor industri makanan minuman (mamin) dan sektor industri barang elektronik sebagai sektor unggulan.
Meskipun mengandalkan sektor modern, sebagian besar aktivitas ekonomi di Indonesia masih sangat mengandalkan pertemuan secara fisik. Dalam rentang 2007 sampai dengan 2014, sektor perdagangan memang mampu menekan pekerjaan rutin yang membutuhkan kehadiran fisik sampai dengan 0,2%, namun demikian sektor industri yang bergelut dengan kegiatan produksi dan operasional justru mengalami peningkatan dalam intensitas pekerjaan rutin mencapai 0,3% (IFLS 4 & 5).
Tidak mengherankan, jika studi McKinsey (2020) mengkonfirmasi bahwa sektor perdagangan dapat pulih seperti sebelum krisis kesehatan minimal pada tahun 2023, sedangkan sektor industri pengolahan membutuhkan waktu yang relatif lama paling lambat 2025. Bahkan, saat Indonesia gagal menangani pandemi Covid-19 secara optimal, timeframe pemulihan ekonomi dapat bergeser lebih lama dari perkiraan.
Untuk menghindari perkiraan tersebut, sederet agenda pemulihan ekonomi perlu ditata kembali. Setidaknya ada dua rute pemulihan ekonomi yang bisa ditempuh.
Rute pertama bisa dimulai dengan menekan penyebaran virus Covid-19 dibarengi dengan penguatan program bantuan sosial. Rute ini penting mengingat insidensi kumulatif kasus notabene didominasi oleh daerah pusat pertumbuhan ekonomi yaitu DKI Jakarta sebesar (24,8%), Jawa Barat (11,6%), dan Jawa Timur (11,2%). Selama rute ini ditempuh, peningkatan cakupan dan nilai manfaat program bantuan sosial tidak hanya dititikberatkan di Jabodetabek tetapi juga perlu diperluas di Surabaya Raya untuk memperkuat ketahanan hidup kelompok paling rentan.
Setelah merampungkan rute pertama, selanjutnya rute kedua ditujukan untuk memperkuat fondasi pemulihan ekonomi. Rute ini ditempuh dengan meningkatkan kapasitas tenaga kerja yang semula bertumpu pada pekerjaan rutin yang membutuhkan kehadiran manusia secara fisik menjadi pekerja non-rutin yang bersifat interpersonal berbasis teknologi. Rute ini juga perlu dilengkapi dengan peningkatan keterkaitan antara daerah pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah pendukung.
Pada akhirnya, meskipun 2021 lebih dekat dengan annus horribilis, setidaknya kita sebagai sebuah bangsa telah mencoba merengkuh ”garis batas” dalam ”perlombaan maraton” pemulihan ekonomi dunia yang melelahkan.
***
*) Oleh: Hidsal Jamil, Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) Universitas Brawijaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sholihin Nur |