
TIMESINDONESIA, BANTEN – Tempe dan tahu adalah makan asli Indonesia dan identik dengan makanan kaum marjinal. Stigma ini timbul, karena ada teori bahwa tempe adalah salah jenis makanan yang memiliki kandungan protein tinggi selain daging, sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia. Menurut ahli gizi, tempe bisa menjadi pengganti daging untuk memenuhi kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.
Teori bahwa tempe memiliki kandungan protein yang baik sudah merasuk ke dalam jiwa dan pemikiran masyarakat Indonesia secara turun menurun. Bahkan ada pemikiran dari sebagian masyarakat kita bahwa dengan mengonsumsi tempe dan tahu secara rutin anak keturunan mereka bisa menjadi generasi yang pinter dan sehat.
Advertisement
Fakta di lapangan sebagian besar masyarakat kita mengonsumsi tempe, sebenarnya lebih karena faktor murah dibandingkan faktor gizi. Padahal tempe bila dikonsumsi secara konsisten dengan proses memasak yang baik dan benar, maka mengkonsumsi tempe secara terartur bisa mengendalikan kolesterol jahat (LDL), karena tempe mengandung omega-3 dan omega-6.
Mungkin diantara kita sering membeli gorengan dipinggir jalan, salah satu pilihannya jatuh pada tempe goreng yang selama ini dikonsumsi untuk mengganjal perut atau sekedar sebagai camilan dalam perjalanan.
Khusus masyarakat yang tinggal di daerah Solo–Jogja tempe selalu menjadi pendamping setia ketika masyarakat makan soto di warung. Bahkan sebagian hotel di Jawa Tengah menyajikan tempe mendoan atau orek tempe sebagai pelengkap sarapan pagi bagi tamu hotel.
Ketika tempe sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok masyarakat maka ketergantungan terhadap bahan baku (kedelai) akan semakin tinggi. Hal ini terbukti hampir setiap tahun terjadi kekurangan pasokan kedelai, kalaupun ada, harga yang diperoleh pengrajin tempe tidak sesuai dengan anggaran produksi mereka. Akhirnya berhenti sementara produksi, karena tidak tega untuk menaikan harga jual. Mereka memahami, bahwa pasar produk mereka adalah masyarakat kelas bawah. Walaupun faktanya tempe juga dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke atas.
Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi jika tidak diimbangi dengan dengan pasokan kebutuhan pangan yang tepat dalam jangka panjang, bisa berdampak negatif dan menimbulkan permasalahan sosial di negara kita.
Semua rakyat Indonesia mengerti tempe dan tahu banyak dikonsumsi oleh masyarakat, namun banyak masyarakat yang tidak mengerti bahan baku tempe dan tahu masih didatangkan dari luar negeri. Jangan– jangan peminpin kita ini mengenal tempe dan tahu tapi tidak memahami kalau kedelainya masih di impor.
Kita harus menyadari bahwa kebutuhan pangan tiga puluh kedepan dengan pertambahan jumlah penduduk yang tinggi, akan berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan pangan di dalam negeri. Presiden Jokowi sudah memulai dengan konsep food estate di provinsi Kalimantan Tengah, namun dengan sisa pemerintahan yang tinggal tiga tahun lagi kemungkinan besar belum bisa memberikan hasil dan perkembangan yang signifikan.
Pandemi covid-19 menjadi salah satu penyebab mundurnya percepatan realisasi food estate yang digagas oleh presiden. Banyak anggaran yang direlokasi untuk kepentingan penguatan ekonomi nasional selama masa pandemi Covid-19, sehingga banyak menguras keuangan negara dan menambah defisit APBN semakin melebar.
Kita patut banggga masih ada petani kedelai di daerah Jawa Timur yang sangat kreatif dengan memanfatkan lahan bekas galian tambang C sebagai lahan pertanian kedelai dengan pendampingan yang baik dari pemerintah daerah setempat. Sehingga petani bisa menikmati harga yang baik, ketika negara eksportir kedelai mengalami permasalahan panen.
Kita harus tetap optimistis walaupun permasalahan bangsa ini sangat komplek. Dengan arah dan kebijakan yang benar dalam memetakan kebutuhan pangan dengan konsep food estate sebagai pusat cadangan kebutuhuan pangan dalam jangka panjang maka kekuatan bangsa dalam memenuhi kebutuhan pangan dari dalam negeri bisa terpenuhi.
Jangan sampai tahu bulat, tahu gejrot, tempe mendoan,dan orek tempe yang saat ini bisa kita nikmati dengan mudah suatu saat harus didatangkan dari luar negeri. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi, namun bisa terjadi jika para pemimpin bangsa ini hanya berfikir dan melihat kepentingan jangka pendek. (*)
***
*) Oleh : Sugiyarto.,S.E.,M.M.; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
***
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |