
TIMESINDONESIA, PAMULANG – Bagi mahasiswa atau anak kost, warteg menjadi bagian cerita dalam perjalanan hidup mereka dan akan menjadi kenangan ketika penikmat warung tegal ini sukses dalam karir dan perjalanan hidup yang bersangkutan.
Bagi pekerja kantoran warteg sebagai pilihan yang tepat pada akhir bulan ketika isi dompet mulai menipis, bahkan tidak sedikit pada pertengahan bulan mereka sudah makan gratis alias ngebon.
Advertisement
Pemilik warteg adalah pelaku usaha yang mengerti dan memahami kondisi pasar . Selain menjual makanan dengan harga terjangkau, cita rasa masakannya juga memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan rumah makan yang ada di pusat perbelanjaan.
Warteg adalah rumah makan asli Indonesia dengan citra rasa nusantara, semua jenis masakan yang dijual bisa di nikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Di sana kita bisa menemukan semur jengkkol, ikan teri, orek tempe, ikan asin, telur dadar, terong balado, sayur toge, cah kangkung versi warteg juga bisa kita nikmati dengan harga yang yang ramah di kantong.
Bagi masyarakat yang terbiasa makan masakan rumahan, masakan yang ada di warteg lebih variatif sehingga masyarakat memiliki lebih banyak pilihan. Yang tidak kalah penting suasana ketika makan, dimana kita akan mendapatkan banyak pelajaran tentang kehidupan masyarakat dengan latar belakang dengan status sosial yang berbeda melebur dan menyatu kedalam budaya makan di warteg. Inilah salah satu budaya kuliner asli Indonesia yang bisa mempersatukan masyarakat dari Sabang samapai Merauke.
Kalau kita berbicara dengan karyawan yang ada di warteg dan bertanya siapa pemiliknya, ternyata tidak semua pemilik warung tegal adalah orang Tegal. Mereka berasal dari berbagai macam daerah, walaupun mayoritas pelaku usaha itu sendiri adalah orang Tegal dan sekitarnya.
Dampak pendemi covid-19 luar biasa berat bagi sektor usaha termasuk warteg . Warung makan yang identik dengan tempat makan kaum marginal ini juga ikut merasakan dampaknya.
Warteg yang fokus melayani segmen pasar kelas bawah ini, sebagian besar udah mulai menutup sebagian dari usaha mereka selama pandemic covid-19. Menurut penuturan seorang pemilik usaha warteg bahwa penurunan omset mencapai 80 persen semenjak pandemi covid-19.
Dalam kondisi normal rata–rata omzet warteg mencapai Rp3 juta sampai Rp5 juta per hari. Jika di Jabodetabek ada 34.725 warteg, maka terjadi perputaran bisnis kuliner sejenis warteg ini bisa mencapai Rp102.4 milyar sampai Rp173.6 milyar per hari. Dalam satu bulan potensi ekonmi dari perputaran bisnis warteg ini bisa mencapai 3,1 trilyun sampai 5,2 trilyun.
Tingkat perputaran ekonomi yang luar biasa besar namun masih di anggap sepele oleh sebagian masyarakat. Dengan tingkat perputaran ekonomi yang mencapai nilai trilyunan rupiah ini tentu peran mereka dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional khususnya dari sisi konsumsi harus menjadi perhatian pemerintah.
Multiplier efek dari usaha warteg ini mampu memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi khususnya daerah Jadebotabek. Walaupun kontribusi mereka secara formal belum di akui oleh pemerintah.
Tidak sedikit artis dan publik figur mulai melirik untuk bisnis warteg dengan konsep modern yang di sesuaikan dengan selera kaum milenial. Mereka mencari lokasi dan menjual makanan rumahan model warteg dengan fasilitas modern serta berpendingan udara agar pelanggan merasa lebih nyaman, dengan konsep self service dengan sistem pembayaran digital di kasir.
Melihat persaingan semakin ketat, para pelaku usaha warteg konvensional mulai banyak berbenah dengan melakukan perbaikan layanan seperti menyediakan ruang berpendingin udara dan sistem pembayaran dengan platform digital. Bahkan beberapa warteg secara khusus memberikan potongan harga kepada diver ojek online dalam jangkan panjang dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, seperti layaknya rumah makan modern.
Banyak warteg yang sudah melakukan kerjasama dengan platform digital seperti go food dan grab food. Kondisi pendemi covid-19 telah membuat peta persaingan bisnis kuliner semakin ketat. Di samping daya beli masyarakat menurun, dengan pembatasan kapasitas rumah makan dan jam operasional, akan semakin menambah beban yang harus di tanggung oleh para pelaku usaha.(*)
***
*)Oleh: Sugiyarto.S.E.,M.M, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Rizal Dani |