Kopi TIMES

Monumen Parigirante: Jejak Brutal Penjajah

Rabu, 10 Maret 2021 - 19:04 | 99.64k
Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.
Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANDA NEIRA – Di samping Hotel Cilu Bintang Estate yang dikelola Abah Rizal Bahalwan, terdapat Monumen Parigirante. Parigi artinya sumur. Rante artinya rantai. Sesuai dengan namanya, ada sumur tua yang dikelilingi rantai dan diapit dua meriam jumbo warisan VOC.

Di dalam lokasi Parigirante terdapat prasasti yang tertulis nama-nama "Orangkaya" yang dibantai VOC pada 8 Mei 1621. Orangkaya adalah sebutan bagi orang berpengaruh di Banda Neira masa lalu. Mereka dibantai dan tubuhnya dimutilasi para ronin Jepang yang disewa VOC. Lantas potongan kepalanya ditaruh di atas tiang pancang yang dipertontonkan kepada rakyat Banda Neira. Potongan tubuh 44 Orangkaya ini ditanam di sebuah sumur di samping Benteng Nassau. Teror yang mengerikan!

Advertisement

Setelah 3 bulan, barulah keluarga korban mengevakuasi potongan tubuh jenazah, lantas memandikannya di sumur yang saat ini diabadikan sebagai bagian dari Monumen Parigirante.

Di prasasti monumen tersebut, tertera nama-nama Orangkaya yang dieksekusi, berikut jumlah korban genosida yang dilakukan atas perintah Gubernur Jenderal Jan Piertzoon Coen (1587-1629) terhadap rakyat. Total, berdasarkan catatan prasasti, selama VOC melakukan aksi brutalnya pada 1602-1621, ada 6.000 rakyat yang gugur, 789 dibuang ke Batavia, 2.000 penduduk lainnya melarikan diri ke Banda Eli dan Pulau Seram.

Coen memang sangat bengis. Hampir seluruh penduduk di Kepulauan Banda dimusnahkan dengan sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Demikian tulis R.Z. Leirissa & Djuariah Latuconsina, dalam "Sejarah Kebudayaan Maluku" (1999:111).

Rijal-Mumazziq-Zionis-2.jpgPenulis berada di sumur tua yang telah ditutup. Dulu, potongan jenazah Orangkaya Banda Neira dimasukkan ke sumur ini.

Mengapa Coen melakukan pembantaian itu? Ada dua penyebab. Pertama, Coen adalah saksi mata ketika pada 1609, Laksamana Pieterszoon Verhoeven, pimpinannya, disergap dan dibunuh oleh beberapa Orangkaya Banda dalam sebuah sengketa. Dia lari terbirit-birit, hingga memutuskan bersama pasukan yang tersisa kembali ke pangkalan VOC di Sunda Kelapa.

Kelak, tatkala dia diangkat sebagai Gubernur Jenderal, balas dendam dilancarkan. Armada VOC kali ini berkekuatan cukup besar dengan memberangkatkan 13 kapal angkut ditambah beberapa kapal pengintai, yang membawa ribuan penumpang.

Tidak kurang dari 1.600 orang tentara, 300 orang narapidana dari Jawa, 100 orang samurai bayaran dari Jepang (ronin), hingga 286 budak belian, ditambah 40 awak kapal, disertakan dalam pelayaran panjang dari Batavia itu. Demikian tulis Des Alwi dalam "Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon" (2005:105).

Dengan kekuatan armadanya, dia membumihanguskan rumah penduduk, masjid, pasar, dan bangunan lain. 

"Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons" adalah slogan kebengisan Coen. Jangan berputus asa, jangan kasihani musuhmu, karena Tuhan bersama kita. Motto brutal yang tertera di bawah patung Coen di Batavia sebelum dirobohkan serdadu Jepang, 7 Maret 1943. Prinsip ini yang tampaknya terwariskan secara turun temurun bagi penguasa Belanda di Nusantara.

Dalam catatan Muhammad Farid, sejarawan Banda Neira, akibat brutalisme Coen dan pasukannya, dari 15.000 jumlah penduduk Banda Neira, yang tersisa tidak kurang hanya 10%-nya. 

Monumen.jpgMonumen Parigirante dan nama-nama tahanan politik yang dibuang di Banda Neira

Selain berdampak pada menyusutnya jumlah penduduk, bahasa asli Banda Neira perlahan mulai punah karena minimnya penutur. Pulau juga mulai kosong tanpa penduduk. Akhirnya, untuk mengurusi kebun pala yang telah dikuasai sepenuhnya, VOC mendatangkan budak dari Jawa, Sumatera, Buton, dan kawasan lain di Nusantara. 

Faktor kedua, Coen ingin menguasai sepenuhnya kepulauan yang terdiri dari Banda Besar (Lonthor), Banda Neira, Ai, Pisang, Rezengain, dan Rhun. Pulau-pulau inilah yang dianggap sebagai penghasil pala kualitas super dengan harga mahal di pasaran Eropa.

"Coen ini tipikalnya orang rakus tapi pengecut. Ketika pembantaian rakyat Banda terjadi, dia sebenarnya tidak pernah turun ke darat. Coen hanya mengkomando pasukannya di atas kapal. Tujuannya, jika terdesak, dia bisa segera melarikan diri." kata lanjut Farid, yang merupakan Ketua STKIP Hatta-Sjahrir Banda Neira.

***

Di samping prasasti berisi nama-nama korban genosida di atas, ada juga nama para tokoh politik, ulama serta bangsawan yang diasingkan di Banda Neira di awal Abad ke-20 sampai tahun 1942, saat pulau elok ini dikuasai Jepang. Selain para pendiri negara seperti Hatta, Sjahrir, Dokter Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri, ada juga beberapa menak dari Pontianak dan Aceh yang dibuang di sini.

Selain itu terdapat pula nama beberapa ulama yang diasingkan di Banda Neira. Antara lain, sebagaimana tercatat di prasasti: KH. Muhammad Hasib Royani dan KH. Munif, keduanya dari Banten; KH. Abu Hasan dan KH. Abdul Qadir, keduanya dari Semarang; dan tiga ulama yang menjadi prioritas penelusuran Tim Ekspedisi Banda Neira, yaitu KH. Mohammad Bukhori, KH. Shofwan, dan KH. Abdullah Faqih, ketiganya dari Blitar, Jawa Timur.

Lalu, mengapa ketiga ulama Blitar ini diasingkan? Ikuti ulasan saya besok.

 

(Bersambung)

*) Penulis Rijal Mumazziq Zionis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember dan pecinta buku.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES